Wacana Magelang Kota Sejuta Bunga


Bandung lebih dari 101 tahun dikenal sebagai kota kembang. Konon katanya julukan ini muncul, ketika pada 1896 para ndoro pengusaha gula di Hindia Belanda menggelar pertemuan dengan mendatangkan para noni Indo untuk berdansa-dansi. Kecantikan para noni inilah yang diperumpamakan bagaikan bunga mekar di tengah taman. Dari sanalah muncul julukan kota kembang. Memang Bandung dalam perjalanan sejarahnya tidak pernah memiliki taman-taman bunga yang mengesankannya sebagai kota kembang.

Berbeda dengan Bandung, Pemerintah Hindia Belanda menjuluki Magelang sebagai “tuin van Java”, yang berarti tamannya pulau Jawa. Saat ini Pemerintah Kota Magelang telah giat-giatnya melakukan penataan berbagai fasilitas ruang publik terbuka, termasuk taman-taman kota. Sebuah tulisan di sebuah media massa pernah berkisah tentang jargon pemerintah kota untuk menjadikan Magelang sebagai kota sejuta bunga. Dengan dana tidak kurang dari 3 (tiga) miliar rupiah bantuan dari provinsi, katanya Magelang ingin meniru penataan taman di Malang dan Surabaya. Nah pertanyaan bagi saya sebagai rakyat awam, sebenarnya proyek ini ingin melekatkan predikat sebagai kota sejuta bunga atau sebenarnya hanya program tamanisasi?

Kalau memang niatnya ingin membangun ikon Magelang sebagai kota sejuta bunga, maksudnya untuk apa? Kenapa ikon yang dipilih kota sejuta bunga? Bukankah Bandung terlebih dahulu, bahkan sudah melebihi satu abad, disebut sebagai kota kembang! Kalau melihat langsung ke taman-taman kota yang tersisa di kota Bandung, sangat jarang dijumpai adanya tanaman bunga-bungaan. Nampaknya sebuah ikon tidak selalu memerlukan sebuah kenyataan fisik sebagaimana simbolisasi ikonnya sendiri. Sebuah ikon hanya tergantung kepada sebuah pengakuan yang diakui atau dibenarkan oleh banyak pihak lain.

Jikalau memang sebuah ikon yang ingin diciptakan untuk kota Magelang, kenapa yang diangkat justru bunga dan bukan hal yang lainnya? Magelang memiliki gunung Tidar yang sudah diakui dalam jagad spiritualisme, bahkan mistisisme, sebagai pakuning tanah Jawa. Kenapa tidak berangkat dari sana untuk kemudian membangkitkan inovasi dan kreativitas rakyat untuk menggali jati dirinya sendiri. Sebuah jati diri yang tergali dari akar tradisi dan keyakinan yang hidup di akar rumput justru akan menjadi sebuah kekuatan ikon yang alamiah dan tidak dibuat-buat.

Nilai kearifan lokal akan tumbuh dan berkembang menjadi sebuah pendorong bagi setiap program-program pembangunan karena aspirasi rakyat dan program pemerintah bersinergi, bersatu padu dalam arah yang sama. Energi positif ini merupakan modal pembangunan yang tiada ternilai. Jika ikon yang digagas mendapat dukungan luas dari segenap warga kota, maka setiap program pembangunan akan mencapai tujuan secara optimal, cepat dan tepat sasaran. Inilah kekuatan jati diri dan kepercayaan diri sebuah komunitas masyarakat kota.

Dengan jati dirinya yang kuat Yogyakarta dan Surakarta dikenal sebagai kota budaya, menjadi panjer punjering budaya Jawa. Yogyakarta bahkan memiliki sekian julukan, mulai dari kota pelajar, kota gudeg, kota budaya, dan kota seni, karena Jogja memang istimewa. Slogan Yogyakarta Berhati Nyaman-pun digali dari akar rumput dan mendapatkan dukungan penuh dari segenap warga kota, sehingga tidak hanya menjadi sekedar jargon namun benar-benar menjadi ruh spirit warga dalam membangun wilayahnya masing-masing. Dan untuk tampil mendunia, Jogja Never Ending Asia menjadi energi untuk menembus gelombang globalisasi jaman.

Demikian halnya Surakarta dengan Spirit of Java-nya, Aceh sebagai Serambi Mekah, Riau Tanah Lancang Kuning, Palembang Bhumi Sriwijaya, Bandung Kota Kembang ataupun Paris van Java, semua julukan itu tergali dari akar sejarah yang panjang. Jogja Never Ending Asia dan Spirit of Java, masing-masing julukan untuk Yogyakarta dan Surakarta yang relatif masih sangat baru itupun tergali dan lahir dari proses rembug panjang oleh segala kalangan pemangku kepentingan. Sejarawan, budayawan, akademisi, kaum birokrat, para teknokrat, para pamong, bahkan tukang becak diberikan ruang diskusi yang memadai. Sedari proses penggalian konsep hingga penetapan ikon oleh pemerintah kota berlangsung secara transparan dan dikomunikasikan melalui berbagai cara sosialisasi yang sangat baik. Dengan demikian sebuah ikon menjadi milik bersama.

Pertanyaan selanjutnya, jika memang ikon kota sejuta bunga yang ingin diwujudkan, apakah mungkin wilayah kota Magelang yang hanya 18,12 km2 mampu ditanami tanaman hias dan menghasilkan sejuta bunga-bungaan? Jika tidak bisa mewujudkan sejuta bunga secara fisik benar-benar ada dan nyata, apakah kemudian pemerintah hanya bertindak ngoyo woro saja? Menjadi kota sejuta bunga jelas tidak berangkat dari akar kesejarahan yang kuat! Memang sah-sah saja menggali ikon baru, namun bila akar asal-usul dan konsepnya tidak kuat pasti ikon itupun hanya akan berumur sesaat dan tidak memiliki arti sebagai sebuah spirit dan pemersatu pembangunan, apalagi menjadi sebuah daya tarik bagi sebuah kota yang dinamis. Di sinilah pentingnya sebuah strategi bagaimana mengelola keterbatasan lahan yang dimiliki.

Andaikanpun pemerintah dengan dukungan penuh warganya berhasil secara fisik mewujudkan sejuta bunga, apakah bunga tersebut hanya diperuntukkan untuk memperindah kota dengan sejuta warna-warninya, ataukah pemerintah ingin mendorong Magelang menjadi kota penghasil bunga sebagaimana kota Tomohon di Sulawesi Utara? Jika hal ini bisa diwujudkan dengan strategi promosi yang baik, bukan tidak mungkin ikon itu akan mengarahkan kepada tergeraknya sektor ekonomi riil. Magelang bukan tidak mungkin dapat menjadi daerah penghasil bunga mengingat iklimnya yang segar. Ditambah dengan letaknya yang strategis di jalur pusat Jawa Tengah, Magelang bisa memasok bunga ke Semarang, Jogja, dan Solo.

Bukan saja terhenti menjadi daerah penghasil bunga, ikon tersebut juga berpeluang untuk menarik kunjungan wisata datang ke Magelang. Tradisi festival atau karnaval bunga sebagaimana agenda tahunan di Pasadena, California, akan menjadi daya tarik bagi kumbang-kumbang wisatawan dari segenap penjuru dunia. Hal yang sama juga telah diterapkan oleh kota Tomohon sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Secara pribadi, saya berharap bahwa konsep dan pemikiran pemerintah kota Magelang harus visioner untuk mengusung ikon Magelang sebagai kota sejuta bunga, tidak terhenti pada jargon dan omongan gula-gula pemanis bibir semata. Jangan sampai wacana itu hanya sebagai alat untuk memuluskan sebuah program tamanisasi dan penataan ruang publik yang hanya bersifat jangka pendek demi mengejar penghabisan anggaran di akhir tahun.

Satu catatan penting dari kabar program kota Magelang menuju kota sejuta bunga adalah bahwa sebagus dan sebaik apapun program pembangunan yang diusung oleh pemerintah untuk memajukan wilayahnya, tidak boleh tidak maka sosialisasi dan komunikasi publik harus dilakukan dengan baik dan intensif. Dengan sosialisasi dan komunikasi dua arah terhadap publik, publik akan memahami dan mendapatkan ruang penyaluran aspirasi yang memadai. Apabila sebuah program digali, digagas, dan dikonsep sebagai sebuah kebersamaan antara pemerintah dan rakyat, maka akan terlahir sebuah program yang dimiliki segenap komponen masyarakat dan pemerintah. Apabila rakyat sudah turut memiliki program pemerintah, sudah pasti rakyat akan memberikan dukungan penuh bagi keberhasilan program yang dimaksud.

Jadi sebelum menimbulkan sejuta tanda tanya dan kesangsian publik, sebaiknya pemerintah kota Magelang melakukan sosialisasi tentang konsep Magelang sebagai kota sejuta bunga. Setiap kebijakan yang baik dan pro rakyat pasti akan didukung secara luas!

Ngisor Blimbing, 13 November 2011

Foto-foto dari sini


7 tanggapan untuk “Wacana Magelang Kota Sejuta Bunga”

  1. Oh kui to programe pemerintah Magelang.. kalau tidak ada sosialisai memang kita sebgai masyrakat tidak tahu bahkan menilainya berbeda-beda alesan kenapa dibangun. dan seinget saya alun-alun itu pernah reno juga belum begitu lama.

  2. Sepertinya walikota Magelang terlalu idealis tapi biar saja toh akan membuat Kota Gethuk ini tambah asri dan sejuk.