Tiji Tibeh


PUNCAK ASA ATAUKAH PUTUS ASA?

Kebenaran akan senantiasa berperang melawan kebatilan selama bumi masih berputar. Dunia memang ajang perbenturan antara manusia dan setan. Setan senantiasa berupaya menghasut manusia agar melampiaskan segala nafsu dan ambisinya. Dan ketika jaman sudah menjadi semakin edan, setan tak perlu repot-repot bertaktik menjerumuskan manusia. Manusia dengan sukarela, bahkan sukacita, akan menceburkan diri kepada penghambaam nafsu. Inilah titik nadir kehinaan manusia. Manusia merebut peran setan, setanpun berpangku tangan dalam pengangguran.

Akan tetapi di dalam gelapnya kemelut jaman, masih akan senantiasa ada manusia yang eling lawan waspodo, ingat dan berhati-hati, akan pesan dan perintah dari Tuhannya. Merekalah segolongan manusia yang beruntung. Mereka pulalah manusia yang mengibarkan panji-panji perang terhadap kebatilan dan keangkara-murkaan di muka bumi. Dalam bahasa yang lebih khusus, mereka senantiasa berpegang kepada tali kasih Tuhannya dengan melaksanakan ijtihad, jihad, serta mujahadah. Merekalah para penegak peradaban manusia.

Menengok sejurus ke belakang sejarah bangsa kita. Adalah Kompeni Belanda yang bertindak sewenang-wenang dengan menjajah, merampas, menindas, merampok, memeras, bahkan membunuh dan memperkosa hak-hak asasi manusia Nusantara di masa silam. Atas dorongan luhur untuk membebaskan wong cilik dari belenggu penderitaan akibat ulah kaum penjajah itulah, Raden Said lengser dari istana untuk membaur dan memimpin perjuangan di luar tembok istana. Bersama dengan Sunan Kuning digecak-nya keraton Kartosuro hingga porak-poranda. Bahkan Sunan Pakubuwono II yang berkomplot dengan Belanda harus melarikan diri hingga ke pesisir Ponorogo.

Kehebatan laskar Raden Said sangat ditakuti musuh. Spirit perjuangan dengan landasan jihad melawan bangsa kafir Kompeni menjadi bara api semangat yang menyala berkobar-kobar di setiap dada pasukan pejuang. Dalam meneguhkan kebersamaan dan semangat manunggaling tekad kawula lan gusti-nya, Raden Said meneriakkan semboyan tiji tibeh. Mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh! Inilah energi maha dahsyat sebagai perpaduan antara pemimpin dan rakyat. Perwujudan persatuan, kebersamaan, perasaan senasib sepenanggungan, bahkan soliditas dan solidaritas! Dan hasilnya memang ngedapedapi alias sangat mengagumkan. Dalam lebih dari 250 pertempuran, laskar Raden Said selalu unggul dan menggilas lawannya dengan jumlah korban yang sangat banyak. Itulah sebabnya Kompeni menjuluki Sang Pangeran sebagai Pangeran ”Sambernyowo”. Dialah malaikat maut bagi setiap serdadu Kompeni maupun prajurit keraton antek kaum penjajah.

Lain dulu, lain kini. Bila tiji tibeh di masa dulu, setidaknya dari kisah perjuangan Sambernyowo tadi, adalah semboyan untuk penguatan tekad perjuangan melawan keangkara-murkaan maka kini banyak pihak yang menggunakan semboyan itu secara salah kaprah dan merusak tatanan serta paugeran kehidupan. Lihat saja ulah para koruptor dan kleptokrat maling rakyat itu!

Maling uang rakyat alias korupsi di masa kini sudah dilakukan secara berjamaah dan massal. Para birokrat dan kaum teknokrat sama-sama berselingkuh untuk membengkok dan membelokkan segala aturan untuk kepentingan perut masing-masing. Melalui media dan televisi mereka teriakkan perang terhadap korupsi, tetapi di balik layar mereka bersekongkol untuk mencuri. Rakyat bagi mereka hanyalah tumpeng untuk dibancaki, bahkan dirayah rame-rame. Rakyat adalah makanan para penguasa! Dalam benak antar mereka para penjarah harus tiji tibeh, mukti siji mukti kabeh!

Penguasa berkhotbah tentang pemberantasan korupsi? Ahh……sudah tidak menarik lagi! Para pemimpin teriak berantas mafia hukum? Rakyat sudah tidak percaya! Hiruk pikuk berita di media, tentang perselingkuhan politik, tentang pelacuran hukum, tentang mafia peradilan, tentang perampasan hak asasi, tentang perampokan martabat manusia, tentang segala macam penghancuran tata nilai dan peradaban manusia. Hmmmm…..dunia memang di ambang kiamat!

Kemudian bila ada satu-dua oknum pelaku korupsi terkena nasib apes dan sial, kepergok saat saling suap antar aparat ataupun keceplosan kejepret kamera wartawan, apakah kita masih percaya bahwa ia akan benar-benar ditindak menurut ketentuan hukum yang berkeadilan? Hmmmm….rasanya sangat-sangat tidak mungkin bin mustahil!

Bila seorang makmum dari jamaah koruptor ketangkap tangan, apakah mungkin imam dan jamaah yang lainnya akan diam saja? Ataukah mereka akan merasa saling terancam posisi korupsinya, sehingga dengan segala cara akan menghapus jejak secara berjamaah pula? Bila situasi dan kondisi masih mengizinkan mereka lega menarik nafas, sudah pasti dengan jalan politik ataupun uang mereka akan membeli kebenaran dan keadilan hukum untuk lolos dari jerat pidana. Bila diantara jaringan jamaah koruptor itu masih solid dan kompak, mereka tentu memilih mukti siji mukti kabeh, mulia satu mulia semua!

Namun bila cerita kemudian menyangkut pencitraan birokrat yang belum terkena giliran sial, alias belum ketahuan belangnya, maka sangat mungkin harus dibuat skenario cerita untuk menetralisir kondisi. Rakyat jangan terlalu telanjang melihat tidak tegaknya hukum. Rakyat harus ditipu dengan permainan tingkat tinggi nan cantik agar mereka tidak berteriak lantang. Satu-dua jamaah mesti dikorbankan! Dijadikan tumbal ”perjuangan”. Demi nama baik, demi pencitraan, dan demi keamanan jaringan jamaah secara keseluruhan.

Dan bila kemudian yang merasa ditumbalkan itu tidak terima, maka ia akan ngamuk dan membabi-buta. Dengan segala kartu truff-nya ia akan membongkar semua pihak yang telah mengkhianatinya. Jika ia harus terjerumus dan dijebloskan ke dalam jeruji sel, maka ia akan menyeret kawan jamaah yang lain sebanyak-banyaknya. Inilah taktik pembumihangusan! Inilah tiji tibeh, mati siji mati kabeh! (hmmmm……..saya jadi ingat Nazaruddin dan tokoh-tokoh lainnya). Nuwun sewu!

Ilustrasi Gambar diambil dari sini.

 

Gajah Mada, 13 Juli 2011


13 tanggapan untuk “Tiji Tibeh”

  1. semangat tiji tibeh sekarang sudah jelas berbeda penafsiran. kalau korupsi mau berjamaah, tapi ketika kesandung masalah hukum, mereka ndak mau ikut2an bertanggung jawab.

  2. pak, memang gek jamane edan nek ora edan kan mengko do ra keduman, yo keduman seneng ro keduman susah neng penjara pun yo bareng2 to ngono.