Sugeng Kondur Guru Filsafat Sejati


Innalillahi wa inna ilaihi rojiu’un.

Siang hari itu udara memang terasa begitu teriknya. Suasana panas dan gerah masih ditambahi dengan teriakan, hentakan, dan juga hardikan para senior yang berbaju almamater hijau semi coklat lumut dengan berbagai warna pita terbelit di lengannya masing-masing. Sebagai angkatan mahasiswa baru di kampus biru, minggu tersebut memang kami sedang menjalani kegiatan ospek universitas yang cukup menguras tenaga, mental dan juga perasaaan.

Saya dan beberapa rekan seangkatan konon cukup beruntung bergabung di Gugus Arboretrum dalam ospek universitas di masa akhir orde baru kala itu. Ada salah seorang senior yang masih sanya ingat hingga kini karena kegondrongan rambutnya. Ia kala itu biasa dipanggil sebagai Gatot. Entahlah soal nama aslinya. Namun sosok Gatot yang gondes alias gondrong ndeso tersebut seringkali bersikap sebagai seorang pelucu daripada penggonjlok mental junior baru.

Di antara berbagai aktivitas ospek yang melelahkan dan seringkali menegangkan, sebenarnya ada satu sesi ceramah umum yang tidak pernah saya lupakan hingga saat ini. Di tengah siang yang gerah tersebut, segenap mahasiswa baru dikumpulkan di Aula Arboretrum. Dalam kesempatan tersebut salah seorang dosen senior berkesempatan memberikan materi pembekalan.

Sosok dengan rambut yang sudah mabluk dengan uban putih tersebut memang berperawakan kurus. Akan tetapi pada saat ia mulai angkat bicara suaranya terkesan mantap dan penuh rasa percaya diri. Baru awal bicara ia langsung melemparkan sebuah pertanyaan filosofis yang langsung dijawabnya sendiri, ” Siapakah saya? Damardjati itu saya, tetapi saya bukan Damardjati!” Dia kemudian menjelaskan filosofi pertanyaan dan pernyataan tersebut secara panjang lebar. Tahu dengan sosok yang saya maksudkan? Dialah Dr. Damardjati Supadjar, dosen dari Fakultas Filsafat UGM yang sangat terkenal menguasai filsafat Jawa.

Pak Fajar, demikian biasanya lingkaran para akademisi UGM memanggil beliau. Semenjak sekolah menengah, sebenarnya saya sedikit banyak telah bersinggungan dengan filsafat beliau. Diantaranya melalui acara talkshow yang digelar Radio UNISI setiap Kamis malam Jum’at selepas jam 21.00. Melalui acara tersebut saya perlahan-lahan menjadi tertarik dengan bidang filsafat, terutama karena Pak Fajar senantiasa melandaskan pemikiran-pemikirannya kepada filsafat budaya Jawa.

Bukan sebuah kebetulan, jika kemudian sayapun mengetahui bahwa beliau adalah putera asli Magelang sebagaimana kampung halaman saya di Tepi Merapi. Berkaitan dengan kepercayaan bahwa gunung Tidar di pusat wilayah sekawan keblat gangsal pancernya Magelang yang dianggap sebagai pakuning tanah Jawa, beliau pernah memberikan tafsir yang menurut saya sangat luar biasa. Sebagaimana turun-temurun disampaikan para tetua, pulau Jawa bahkan seluruh wilayah Nusantara, akan stabil jika pakuning tanah Jawa tidak bergeser.

Dari riwayat gunung Tidar yang membawa nama Syekh Subakir dengan tombak Kiai Sepanjangnya memang dikisahkan cara orang sakti tersebut dalam mengalahkan para jin prayangan yang menyebabkan pulau Jawa terombang-ambing didorong ombak lautan luas ke berbagai arah tanpa kendali. Pulau yang terguncang-guncang tersebut konon menjadi tenang setelah Syekh Subakir menancapkan tombak Kiai Sepanjang tepat di atas puncak gunung Tidar. Semenjak itu gunung Tidar dipercaya sebagai pakuning Tanah Jawa yang menstabilkan pulau Jawa.

Dalam konstelasi pemerintahan Orde Baru, Pak Fajar mengkaitkan kestabilan Tanah Jawa, bahkan bumi Nusantara, dengan keadaan sosial politik pemerintahan. Menurutnya pemerintahan Indonesia bisa stabil juga ditentukan oleh faktor Gunung Tidar. Siapa yang mengelak jika ters pimpinan nasional kala itu, dari lapis menteri, gubernur, hingga para bupati didominasi tokoh-tokoh yang berasal dari kalangan militer yang notabene pernah menimba pengetahuan di AKMIL yang berbasis di lembah Gunung Tidar? Susunan pemerintahan yang didominasi tokoh militeristik sentralistik inilah yang menjadi pilar kestabilan orde baru kala itu.

Pada saat transisi masa orde baru ke orde reformasi, Damardjati pernah turut menggagas format masyarakat madani yang senafas dengan ajaran Islam. Bertolak belakang dengan pemerintahan Amerika Serikat yang ditopang oleh peranan kekuatan militer yang bermarkas di Pentagon, Damardjati justru menggagas masyarakat dengan format heksagon. Tidak segi lima, tetapi segi enam.

Masyarakat madani menurut pandangan dia, harusnya mirip dengan bangunan komunitas masyarakat lebah. Bukankah rumah atau sarang lebah berstruktur segi enam simetris? Dari segi kekuatan dan kestabilan struktur bangunan, tidak bisa diragukan lagi kekuatan struktur heksagon dibandingkan pentagon. Di samping itu, perilaku dan sifat lebah sangat dekat dengan sifat ideal seorang muslim sejati. Lebah makan dari sari pati bunga dan mengeluarkan madu. Muslim makan dengan makanan yang halal untuk menghasilkan kemanfaatan dan kegunaan pikiran, ucapan dan tenaganya. Lebah hadir dan hinggap di tangkai dan daun bunga tetapi tanpa pernah membuat kerusakan. Diibaratkan seorang muslim, dimanapun ia berada pantang membuat kerusuhan dan keonaran. Namun demikian, jangan pernah coba-coba menganggu seekor lebah. Jika ia diganggu hak, harga diri, derajat dan martabatnya, maka lebah akan menggugat, memburu dan jika perlu menyerang para pengganggunya. Masyarakat madani berstruktur heksagon terdiri atas pilar pemerintah (birokrat), militer (tentara), rohaniawan (agamawan), ilmuwan (teknokrat), budayawan (pewaris tradisi), dan para pemuda.

Masih banyak gagasan dan pemikiran cerdas khas Damardjati Supadjar yang berakar dari nilai luhur kearifan lokal. Filosofi perempuan, “per-empuk-an”, satrio piningit dan lain sebagainya. Upaya beliau menggali filsafat yang berlandaskan nilai kearifan lokal merupakan sudut pandang filsafat kenusantaraan yang masih sangat langka digagas oleh filusuf di negara kita. Kebanyakan diantara mereka lebih gencar berpikir kefilsafatan dengan merujuk tokoh-tokoh dan pemikiran dari era Romawi, Yunani, Perancis dan budaya barat yang lainnya.

Kabar mengenai kepergian Damardjati Supadjar ke alam kesejatian beberapa hari lalu tentu saja sempat mengejutkan saya. Dalam beberapa kesempatan terakhir saya sempat menyaksikan beliau medhar sabda dalam keheningan malam Jumat di salah satu televisi lokal Jogja. Tokoh yang juga merupakan penasehat spiritual Ngarso Dalem Ingkang Sinuwun Hamengku Buwono X tersebut menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 17 Februari 2014 di kediamannya yang terletak di wilayah Nganglik. Jenazah telah dimakamkan di pemakaman keluarga di Losari, Grabag, Magelang. Sugeng kondur ing kasejadan jati untuk Pak Damardjati Supadjar. Semoga jalan terang senantiasa menyertai panjenengan.

Lor Kedhaton, 20 Februari 2014

Gambar dipinjam dari sini dan sini.


3 tanggapan untuk “Sugeng Kondur Guru Filsafat Sejati”

  1. Beliau juga sangat berarti di hati saya. Gaya bicara beliau dan pemikiran filsafat khususnya basis jawa, mewarnai pandangan hidup saya. Mudah-mudahan Allah mengampuni seluruh kesalahannya, dan memberikan kedudukan yang terbaik di sisi Nya. Amin.