Spirit Pengorbanan, Esensi Kepahlawanan


Idhul Adha dikenal juga sebagai Idhul Kurban, karena memang pada hari raya itu masyarakat muslim melaksanakan penyembelihan hewan kurban. Dalam satu kesempatan Kiai Mbeling Ainun Nadjib pernah mbabar makna kurban. Menurutnya, kurban berasal dari bahasa Arab dari akar huruf kata, terdiri atas huruf qaf, ra’, dan ba’. Senada dengan kata qurban, diantaranya qarub, taqarub, karib, kemudian akrab yang bermakna upaya pendekatan diri. Secara sederhana tujuan berkurban adalah untuk pendekatan diri kepada Tuhan, sekaligus saling mendekatkan diantara sesama anak manusia. Oleh sebab itu daging sembelihan hewan kurban dibagi-bagikan kepada sesama muslim, terutama kaum dhuafa.
Kenapa upaya pengakraban diri dilakukan dengan pengorbanan? Pengorbanan merupakan sebuah bukti nyata dari rasa cinta, kasih, dan sayang. Cinta manusia kepada anak, istri atau suami, terhadap sesama hidupnya, terhadap alam raya, kemudian cinta kepada Tuhan tidak akan bermakna dan teruji, tanpa dengan pengorbanan. Cinta tidak hanya penuntutan kenikmatan dan kesenangan dari pihak yang kita cintai. Cinta berisi kesepahaman dan saling menerima, saling memberi. Pengorbanan merupakan wujud dari interaksi saling menerima dan saling memberi tersebut.
Pengorbanan dengan perasaan sadar dan ikhlas, dengan dilandasi rasa cinta, kasih, sayang, bahkan ketaatan, akan berujung kepada munculnya kepercayaan penuh dari pihak lain. Kepercayaan dan rasa saling percaya menjadi bumbu utama sebuah hubungan yang akrab dan karib. Dengan demikian sebuah pengorbanan tidak hanya akan berhenti kepada seseorang yang berkorban ”kehilangan” sesuatu yang telah dikurbankannya, tetapi justru pengorbanan merupakan titik awal dan pintu gerbang bagi terbukanya pintu kasih sayang yang lebih luas dan mendalam. Dan pintu kasih sayang dari segala penjuru bumi, dari segala arah langit itu menjadi jalan dan wasilah datangnya rejeki melalui cara dan arah yang tidak terduga sama sekali, minkhaysu layah taasib.
Momentum Idhul Adha tahun ini menjadi begitu istimewa karena diiringi oleh Hari Pahlawan. Pahlawan merupakan orang yang ”berpahala” besar, karena pengorbanannya terhadap kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan pribadi. Pahlawan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Mereka rela mengorbankan harta benda, bahkan jiwa dan raganya untuk sebuah cita-cita kemaslakhatan kehidupan bersama yang lebih baik. Pengorbanan adalah inti dari sikap kepahlawanan.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sifat rela berkorban dan semangat kepahlawanan merupakan modal dasar bagi sebuah tegaknya sendi kehidupan. Penjajahan, penindasan, keangkara-murkaan, ketidakadilan, dan segala bentuk kesewenang-wenangan tidak dapat melawan seseorang atau sekelompok orang yang memiliki sifat kepahlawanan dengan bara jiwa pengorbanan. Spirit inilah yang menjadikan Majapahit bisa menjadi besar mempersatukan Nusantara. Semangat inilah yang membebaskan bangsa kita dari belenggu penjajahan dan meraih kegemilangan kemerdekaan. Hanya spirit dan semangat ini jugalah yang sebenarnya dapat menghantarkan bangsa ini untuk meraih cita-citanya mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pahlawan di masa revolusi kemerdekaan, tentu saja mereka yang mengangkat senjata untuk mengusir kaum penjajah dari bumi pertiwi. Jihad di masa perang adalah terjun bertempur di medan perang untuk membela kebenaran dan mengenyahkan kebatilan. Bila di masa lalu, sumber keterbelakangan negara besar ini disebabkan oleh faktor penjajahan oleh bangsa lain, maka setelah kemerdekaan berhasil kita raih sumber keterpurukan negeri ini adalah soal kebodohan, kemiskinan, pengangguran, dan segala hal yang menjadi penghalang bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur di bawah Pancasila dan UUD ’45.
Negeri ini memang kaya raya dengan sumber daya alam. Berbagai jenis tanaman pangan, sayur-mayur, dan buah-buahan dapat tumbuh dengan subur di sini. Hutan raya kita merupakan simpanan kekayaan dan keanekaragaman hayati yang tidak ada duanya di dunia. Iklim tropis yang sejuk, curah hujan yang cukup merupakan anugerah alam mendukung dunia pertanian, perkebunan, hingga kehutanan kita. Bumi yang kita pijakpun menyimpan kekayaan tambang dan bahan galian yang melimpah ruah. Minyak bumi, batubara, nikel, tembaga, timah, pasir besi, hingga uranium lengkap kita miliki.
Negeri inipun merupakan negeri kepulauan terbesar di dunia. Dengan luas lautan yang mencapai dua per tiga luasan daratan menjadikan peluang negeri ini bisa menjadi negari penghasil ikan laut terbesar di dunia. Nenek moyang bangsa besar ini, semenjak di masa lalu telah tenar sebagai para pelaut ulung yang menjelajah hingga tujuh samudra. Negeri ini bisa menguasai sisi kemaritiman dunia!
Namun sayang seribu sayang, negeri yang kaya raya bagai tanah surga ini, negeri yang dikatakan sebagai pewaris peradaban Atlantis yang adi luhung dan dipercaya sebagai tetesan surga ini kini senantiasa berduka. Negeri surga tetapi rakyatnya bagaikan hidup di neraka. Negeri lumbung padi, tetapi para rakyat mati di tengah pesta pora para penguasa dan golongan kaya raya. Rakyat, sekali lagi hanya menjadi korban, atau bahkan dikorbankan, atas nama kesenangan segelintir orang.
Korupsi, kolusi, nepotisme, penggelapan pajak, pembabatan hutan, penggalian tambang yang semena-mena telah melukai rasa keadilan, bahkan secara ekonomi telah membunuh rakyat kecil. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara telah dikapitalisasi sedemikian sehingga semakin tidak terjangkau oleh si miskin. Kesehatan hanya menjadi miliki yang punya uang saja, karena biaya pemeliharaan kesehatan semakin melambung tinggi ke awan. Negeri yang semestinya menjadi negeri besar ini telah tenggelam dengan segala permasalahannya yang sangat kompleks dan seakan sangat sulit untuk diurai.
Andaikan semangat pengorbanan sebagaimana telah dicontohkan oleh para pahlawan yang telah gugur itu masih hidup di negeri ini sampai kini, pasti yang namanya korupsi, kolusi, nepotisme, kebodohan, kelaparan, kemiskinan dan segala ketidakadilan itu tidak akan pernah mendapatkan nafas hidup di bumi Nusantara. Setiap orang menjunjung kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Setiap orang taat dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Hukum ditegakkan secara adil kepada setiap warga negara. Semua komponen bangsa berlomba, berlomba, dan berlomba untuk mendarma-baktikan dirinya kepada kepentingan negara.
Alangkah mulianya ungkapan sang Presiden Negeri Paman Sam yang berucap, ”Tanyakan kepada dirimu, apa yang telah engkau berikan kepada tanah airmu, dan jangan pernah engkau tanyakan apa yang telah diberikan tanah airmu untuk dirimu!” Ungkapan ini merupakan semangat pengorbanan yang luar biasa dari seorang warga negara yang memiliki jiwa dan patriotisme tinggi untuk menempatkan segala kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongannya. Nampaknya figur seperti ini sudah sangat langka untuk tidak mengatakannya telah punah. Kini, semua bertindak demi uang dan seakan menjadikan uang sebagai tuhan. Akankah kita menginginkan negeri ini bangkit? Berkorbanlah sesuai dengan posisi dan kesanggupan masing-masing! Isya Allah setiap pengorbanan tidak akan sia-sia, dan kelak Tuhan akan menjawab setiap harapan kita. Setiap detik, setiap waktu dan setiap saat adalah kesempatan bagi setiap kita untuk terus menggelorakan semangat juang kepahlawanan demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia! Merdeka! Salam anak negeri!

Lor Kedhaton, 11 November 2011


3 tanggapan untuk “Spirit Pengorbanan, Esensi Kepahlawanan”

  1. Orang yang masih waraslah yang sepantasnya jadi pahlawan… Siapa tahu nanti pak presiden menetapkan diri jadi pahlawan nasional karena sudah rela membuatkan lirik lagu pembukaan SEA Games.

    • kalimat tanya saja sudah kontradiktif, kalau sudut pandangnya benar-benar ikhlas muamalah dan uluhiyah, kepentingan diri sendiri pasti dinomor sekiankan Kang! Kalau belum begitu belum benar-benar utk muamalah dan uluhiyah, tetapi mungkin sekedar kemunafikan!