Satu Tradisi


NYADRAN TANGGUL ANGIN

IMG_0438Nyadran konon kata berasal dari istilah Sansekerta sradha. Sradha dapat diartikan sebagai suatu prosesi penghormatan terhadap roh nenek moyang. Kitab Negara Kertagama pertama kali mengisahkan pelaksanaan upacara sradha oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, raja ke tiga Majapahit, untuk memberikan penghormatan kepada arwah Ramanda Diah Sanggramawijaya dan ketiga ibu prameswari.

Setelah era Islam Demak, para wali mengadopsi istilah sradha menjadi nyradha dalam konteks birul walidain, mendoakan arwah para leluhur yang telah meninggal. Maka nyradha kemudian dibumikan dalam bahasa Jawa menjadi nyadran, dan pelaksanaannya dipaskan dengan bulan Arwah atau Ruwah. Bulan Ruwah, atau dalam bahasa Arab disebut Sya’ban, merupakan bulan persiapan untuk memasuki rangkaian ibadah Ramadhan.

Diriwayatkan oleh Kanjeng Nabi bahwasanya salah satu amalan yang tidak akan terputus pahalanya meskipun seseorang sudah meninggal adalah doa anak yang sholeh kepada orang tuanya. Dengan demikian dalam rangka pengamalan sunnah tersebut, upacara nyadran menjadi bermakna ritual. Deso mowo cara, negara mowo tata. Begitu pula halnya dengan nyadran, dari desa ke dusun muncul berbagai corak dan ragam pelaksanaan nyadran.


Tanggul Angin bukan berarti benteng tinggi untuk menghalau angin, karena jelas anginpun tak dapat dijaring. Tanggul Angin jelas juga bukan tolak angin pengusir masuk angin. Pun Tanggul Angin juga bukan Saepi Angin, ajian pamungkasnya si Kethek Putih Hanuman. Tanggul Angin adalah sebuah dusun terpencil di wilayah sudut Kecamatan Secang Magelang.

Berada di tengah alam yang perawan dan asri menjadikan Tanggul Angin memiliki tradisi dengan mowo coronya sendiri. Nilai kearifan lokal sebagai pusaka warisan para sesepuh masih diuri-uri, dijaga kelestariannya. Dan salah satu nilai itu adalah tradisi nyadran.

Nyadran di Desa Tanggul Angin untuk tahun ini dilaksanakan bertepatan dengan Ahad  Legi, 25 Sya’ban 1430 H. Sebagaimana adat kebiasaan yang telah berlangsung, acara diadakan di jalan masuk makam trah Tanggul Angin.

Mulai terbit fajar telah datang merayap, para peziarah dengan bawaan bakul dan tenong(rantang) yang berisi daharan  sak ubo rampe-nya. Nasi, sayur, ayam ingkung, bakmi, sayur kentang atau krecek merupakan menu yang telah dipersiapkan sejak jago kluruk pertama terdengar dini hari.

Kebanyakan diantara para hadirin terdiri atas kaum laki-laki. Beberapa kaum ibu memang datang, namun bisa dihitung dengan jari. Adapun anak-anak, baik laki maupun perempuan ada yang sengaja diajak orang tuanya untuk memperkenalkan tradisi leluhur. Tidak kurang dari seratusan orang memadati sepanjang jalan makam.

Setelah dirasa segenap warga hadir,  acara inti diawali dengan tahlilan bersama yang dipimpin oleh Mbah KH Abdulqodir.

Selepas pembacaan tahlil, acara dilanjutkan dengan kembul bujono dengan alas daun pisang utuh yang telah disediakan di tengah kalangan. Nasi putih segera dicecer di tepian daun pisang. Ayam ingkung segera dicuwel, satu per satu dibagi rata. Sayur krecek dan bakmi segera tertebar menyelimuti nasi putih. Kemudian hadirinpun dipersilakan makan bersama. Makan dengan cara demikian merupakan perwujudan semangat kebersamaan, rasa gotong royong dan keguuyuban diantara sesama warga. Inilah harta karun paling berharga yang diwariskan para pendahulu bangsa kepada anak cucunya. Mangan ora mangan sing penting kumpul.

Ndalem Peniten, 16 Agustus 2009


9 tanggapan untuk “Satu Tradisi”

  1. Wis tak bedek mesti mas nanang sg posting.masalahx bahasax wis tingkat tinggi ngene
    Q melu terus lha le nyadran dina minggu kok

  2. pokoke ngertine nyiapke makanan+gulo-teh gawe sing meh mangkat nyadran. mbuh ng kono pdo ngopo., ngerti2 bapakku kondur nggowo berkat. he3 😆

  3. 🙄

    misi, punten nggih sakderengipun,
    langsung nggo basa indonesia, masalahe boso jawa ku rada2

    keluargaku juga masih mengikuti ritual nyadran. ngomong2 agak mlenceng dari masalah adat dan budaya, hukum nyadran menurut agama tuh gimana?
    kalo unuk bersenang2 dan ritual biasa mah aku juga setuju aja. tapi begitu aku tahu yang namanya bid’ah, aku jadi berpikir beda je. gimana dunk? ada yang mau ngasih pencerahan?

    maturnuwun, 🙂

  4. Assalamu’alaikum wr wb… nek kulo malah dipekso-pekso bapake kulo ken tumut acara nyadran teng kuburan, tp kulo mboten purun soale menurut kulo acara niki kedah ditinggalke amargi bertentangan dengan syariat Islam.

    Berikut adalah dokumen yang bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah Walisongo HET BOOK VAN BONANG, buku ini ada di perpustakaan Heiden Belanda , yang menjadi salah satu dokumen langka dari jaman Walisongo .Kalau tidak dibawa Belanda , mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap .

    Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran- ajaran Islam . Dalam naskah kuno itu diantara nya menceritakan tentang Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan . ” Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk BIDA’H.”

    Sunan Kalijogo menjawab : “ Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya hindu itu.”