Renungan Komunitas


PERJALANAN PENDEKAR DI TEPI SUNYI

Ingatkah dengan kisah drama Brama Kumbara atau Tutur Tinular di era 80-an? Dunia merupakan rimba persilatan yang dikembarai oleh berbagai tokoh persilatan. Ada dua golongan besar aliran yang dianut oleh para pendekar tersebut. Golongan putih adalah pendekar yang suka menolong sesama dan menebarkan kedamaian serta persahabatan. Sebaliknya ada pula golongan hitam yang terdiri dari para tokoh jahat yang suka berbuat onar dan mengganggu perdamaian dunia.

Dalam rimba persilatanpun banyak ajian dan jurus silat andalan. Ada ajian Serat Jiwa, Kelelawar Sakti, Kincir Metu, Empat Arah Pembeda Gerak, Macan Kembar, Banyu Cakra Buana, Semedi Dewa Gila, Lampah Lumpuh, hingga Lembu Sekilan, serta Tendangan Mawut. Demikian halnya para pendekar tersebut juga tak jarang memiliki senjata pusaka yang sangat ampuh. Sebut saja ada Pasopati, Pedang Setan, Gada Rujak Polo, Kujang Cakra Buana, Nagasasra Sabuk Inten, hingga tombak Kyai Pleret dan keris Joko Piturun.

Lain dulu memang lain sekarang. Duren-duren, roti-roti! Mbiyen-mbiyen, saiki-saiki. Era memang telah berubah, jamanpun mengalami dinamika perubahan. Satu hal yang pasti abadi adanya, itulah perubahan!

Namun jiwa kependekaran seakan tetap mekar tak pernah tenggelam ditelan jaman. Di era modernpun masih banyak manusia hebat dan perkasa pembela keadilan dan kebenaran. Era globalisasi diujung-tombaki dengan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin modern dan canggih. Demikian halnya, seorang pendekar di era saat ini tidak lagi mengandalkan ilmu kanuragan dan ajian kasekten, serta pusaka konvensional seperti dulu. Ajian dan kanuragan pendekar masa kini adalah tombak peradaban yang disebut sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan salah satu teknologi itu disebut sebagai internet!


Maka kemudian tidaklah terlalu berlebihan bila sekumpulan pandemen internet dalam ranah blogger di Bumi Tidar mengibarkan diri sebagai Pendekar Tidar. Spirit utama yang ingin selalu diusung oleh komunitas pendekar ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah menegakkan prinsip-prinsip kehidupan manusia yang harmonis dengan sesamanya, dengan lingkungan hidup, terlebih lagi tentunya dengan Tuhan Penguasa Alam.

Dengan didominasi oleh kalangan kaum remaja dan muda, nampaknya pendekar yang satu ini memiliki konsep pemikiran yang bisa jadi sangat melampaui batasan usia mereka. Pemikiran yang terkadang terkesan amat serius, yang semestinya menjadi mindset golongan yang lebih tua, justru muncul di benak kawula muda.

Ambil satu contoh, konsep mengenai hamemayu hayuning bawono Magelang. Mereka ini, tunas anak bangsa pemegang estafet kejayaan Nusantara di masa depan, telah berpikir, berdiskusi dan berusaha melakukan tindakan serta aksi nyata untuk turut serta secara aktif dan partisipatif memajukan Magelang. Tentu saja dalam konteks dunia blogger, dengan cara membuat berbagai postingan mengenai potensi daerahnya sebagai salah satu promosi mengenalkan daerah kepada dunia yang lebih luas.


Apakah ini suatu kebetulan, ataukah sebuah keanehan, bahkan mungkin keajaiban? Namanya anak muda sewajarnya fase usia yang masih inkonsisten untuk melakukan sebuah konsistensi. Masa muda sering dipandang sebagai masa bersenang-senang untuk selanjutnya menjadi kaya raya di usia tua, serta masuk surga di kala meninggal. Lha kok enak banget yo?

Tentu saja konteks keseriusan Bala Tidar untuk belajar memahami hidup melalui serangkaian proses kontemplasi yang mendalam dan aksi nyata di lapangan tidak lepas dari konteks psikologi pendekar yang mereka sandang. Pendekar adalah manusia yang lulus lewat berbagai ujian dan proses pendewasaan hidup sehingga memiliki keunggulan-keunggulan dan “kasekten”. Pendekar senantiasa menggembleng diri dengan laku puasa dan bertapa. Mereka menenggelamkan diri dari hiruk pikuk arus utama dunia yang semakin materialistis dan segalanya hanya sebatas nilai uang, uang dan uang lagi, uang lagi! Arus umum manusia modern adalah bagaimana menjadi orang kaya, sekaya rayanya!

Adapun para pendekar di Bumi Tidar ini, jangankan berpikir memperkaya diri sendiri, bahkan mereka pernah merelakan uang saku di kantongnya yang jelas tipis untuk menghelat sebuah pagelaran seminar yang dipersembahkan kepada sang pahwalan tanpa tanda jasa. Bukan sebagai wujud ingin sok menjadi pahlawan, bahkan pahlawan kesiangan, mereka benar-benar tulus dan yang lebih luar biasa nothing to lose! Anak muda sudah berpikir demikian? Namanya juga pendekar Bung!

Bahkan seorang pejabat agung di jajaran pamong pangembating projo yang semestinya sangat-sangat mendukung kegiatan tersebut di awal perkenalan, secara retorik menyampaikan agar kegiatan tersebut jangan sampai dikomersialisasikan. Namun pada perjalanan selanjutnya malah meminta jatah upeti untuk sekedar memberikan kata sambutan dan membuka puncak acara! Jaman memang sudah gendheng dan terbalik-balik! Sekali lagi ini pasti masalah mindset tentang uang dan hanya uang, dewa yang disembah-sembah dan dipertuhankan oleh sebagian manusia yang katanya beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semoga saja pejabat yang saya maksudkan hanyalah seorang saja yang menjadi hamba uang. Sangat sulit dibayangkan bila hamba uang dijadikan prinsip hidup oleh setiap pejabat kita! Pasti negeri ini akan hancur dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Lalu bila demikian mainstream atau arus utama peradaban jaman, tentu saja Bala Tidar yang kere namun masih sempat punya pikiran positif untuk berbagi kepada sesamanya itu, bukankah hanya sebuah arus kecil yang menentang jamannya? Mereka hanyalah kaum minoritas yang berjalan di kesunyian jaman. Mereka berjalan di jalan yang tidak umum dilewati orang umum. Mereka adalah para pejalan di jalan sunyi pada sebuah penggal tepian jaman. Entah karena memang mereka terpinggirkan, atau sengaja memilih jalan pinggiran sebagai jalan yang diyakini untuk ditempuh. Inilah barangkali manifestasi keyakinan akan sebuah pebelajaran di universitas kehidupan.

Dan karena tidak umum tersebut, bisa jadi mereka adalah orang yang khusus. Bahkan bisa sangat dimungkinkan merekalah manusia-manusia yang menyandang derajat istimewa di mata Tuhannya! Manusia sejati yang berusaha belajar untuk menjadi manusia sejati.

Cisitu, 21 Mei 2010


10 tanggapan untuk “Renungan Komunitas”

  1. Istilah kesunyian jaman pernah dipandang sebagai semakin individualis dan egois dari kebanyakan insan manusia. perlawanan dari kedua sifat itu adalah dengan pergerakan komunitas dan aktifitas jamaah. Bagaimana? Mau terus beraktifitas dan berkumpul?