Puasa Makan atau Kuasa Makan?


Bulan Ramadhan telah datang. Sebulan penuh ummat Islam diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa. Puasa, secara sederhana, adalah menahan makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa dari fajar hingga matahari terbenam. Yang paling inti adalah tidak makan! Memang jam sarapan pagi digeser ke waktu sahur, jam makan malam relatif tetap atau bahkan dimajukan sehabis Maghrib. Jam makan siang? Maaf, sementara waktu harus ditinggalkan. Jadi menurut logika, konsumsi makan kita berkurang dong? Dari tiga kali, menjadi dua kali. Dari tiga piring, menjadi dua piring. Berarti lebih irit dong?

Dengan pola konsumsi makan, minum, merokok, bahkan ngemil camilan yang berkurang, berarti kuantitas konsumsi kita juga berkurang. Konsumsi berkurang, maka anggaran belanja kita, maupun rumah tangga kita juga akan berkurang. Dengan anggaran yang berkurang, maka uang yang dibelanjakanpun tentu saja berkurang. Artinya dengan pelaksanaan ibadah puasa, manusia diajarkan untuk irit alias hemat. Hemat makan, minum, ngemil, hemat anggaran, hingga hemat uang! Namun benarkah demikian yang menjadi realitas di tengah masyarakat muslim kita?

Belum memasuki bulan Puasa, bahkan masih beberapa hari menjelang Ramadhan, berita di berbagai media cetak maupun eletronik mengabarkan tentang kenaikan harga berbagai sembako alias sembilan bahan pokok kebutuhan kita. Harga beras naik, minyak goring naik, telur naik. Demikian halnya dengan gula, daging, susu, sayur dan buah juga naik. Intinya semua kebutuhan manusia sehari-hari harganya melambung tinggi dibandingkan hari-hari biasanya.

Usut punya usut, selidik demi selidik, bahkan analisis dari para pakar mengatakan bahwa kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari itu terjadi karena kelangkaan pasokan barang di pasaran. Kenapa bisa terjadi kelangkaan barang? Jawaban yang didapatkan, karena konsumen memborong banyak barang untuk persediaan menyambut bulan Puasa.Dan sesuai dengan hukum ekonomi, jika permintaan barang bertambah, sementara ketersediaan atau penawaran barang tersebut berkurang di pasaran, maka harga barang yang bersangkutan tentu saja akan naik.

Apakah tidak aneh jika kedatangan bulan Puasa, bulan dimana ummat muslim mengurangi konsumsi makan dan minumnya sehingga menjadi bulan hemat, justru disambut dengan menumpuk sembako? Berdasarkan teori bahwa puasa mengurangi konsumsi kita terhadap makanan ataupun minuman, karena kita hanya makan minum di waktu sahur dan buka puasa saja, maka kedatangan bulan Puasa yang diiringi dengan kenaikan penumpukan sembako jelas menjadi tidak sesuai alias tidak logis. Setidaknya dari analisis sebab akibat, tentu saja ada ketidaksesuaian logika pikir! Lalu ada anomali apakah gerangan?

Inti dari ajaran puasa adalah imsak, artinya menahan. Ya menahan lapar, dahaga, dan yang lebih inti adalah menahan hawa nafsu. Puasa mengajarkan mengurangi makan, minum, dan segala kenikmatan ragawi yang selalu dipuja-puji oleh manusia. Memang pada waktu siang hari, dari waktu fajar hingga matahari tenggelam, kita mengosongkan perut, kita menahan lapar, menahan rasa haus dan dahaga, tetapi bagaimana setelah bedug Maghrib ditabuh?

Ibarat di siang hari kita menginjak pedal rem dalam-dalam dengan sekuat tenaga, maka bagaimana setelah adzan Maghrib dikumandangkan? Diantara kita mungkin ada yang berbuka hanya ala kadarnya, sekedar membasahi kerongkongan dengan kesejukan air putih ataupun sekecap rasa manis dari sebutir buah kurma. Namun bisa jadi lebih banyak diantara kita yang langsung mengembat semua hidangan di atas meja. Sirup ditenggak, escendol masuk, kolak, es buah, kolang kaling langsung diminum. Kue apem, lemper, pisang goreng, bakwan, tahu isi, langsung dilahap. Tidak terhenti sampai di situ, nasi sebakul plus lauk-pauk, ayam gulai, opor, ikan bakar, sayur soup, semua amblas ke dalam perut dalam waktu sekejap. Selepas mengerem sedalam-dalamnya semua keinginan badaniyah di siang hari, namun setelah waktu buka kita injak pedas gas makan-minum kita sedalam-dalamnya! Jika di wakt siang kita menahan keinginan dan nafsu seketat-ketatnya, maka di malam hari kita lepas sebebas-bebasnya keinginan dan nafsu tersebut.

Sangat umum di kalangan ibu rumah tangga yang berpandangan bahwa puasa adalah bulan istimewa. Karena di siang hari kita berlapar dan berhaus ria, maka apa salahnya setelah waktu buka kita tuntaskan rasa lapar dan haus kita. Jika di siang hari badan lemas tanpa tenaga, banyak yang khawatir bahwa asupan gizi, vitamin, segala mineral kebutuhan tubuh kita menjadi tidak terpenuhi, dan takutnya dengan puasa malah menjadikan datangnya penyakit. Maka untuk mengimbangi konsumsi yang minimalis di siang hari, ya malam harinya harus ditebus dengan makan “sebanyak-banyaknya”.

Karena keinginan makan dan minum yang serba lebih, ya lebih banyak, ya lebih enak, bahkan lebih mahal, maka anggaran belanjapun harus menyesuaikan, alias dinaikkan. Maka tidak mengherankan bila banyak ibu rumah tangga mengakui bahwa selama bulan Puasa, justru anggaran belanja rumah tangga nombok dan membengkak. Dengan demikian Ramadhan tidak lagi menjadi bulan yang irit, bulan yang hemat dengan segala pengeluaran dan dana dalam soal konsumsi makan dan minum.

Beginikah ajaran puasa yang diajarkan Rasulullah Muhammad? Bagaimana dengan puasa kita akan belajar untuk merasakan lapar dan dahaganya si fakir, bagaimana kita bisa berempati dengan penderitaan si miskin yang dalam kesehariannya, tidak siang, tidak malam, mengalami kelaparan dan kedahagaan “abadi”. Bagaimana puasa yang kita amalkan mampu membentuk manusia berakhlakul karimah dan bertaqwa sebagaimana tujuan utama dari ibadah puasa? Dalam skala yang jauh lebih luas, jika amalan puasa yang kita jalankan masih “sekelas” demikian, bagaimana mungkin puasa dapat memperbaiki akhlak dan moralitas bangsa yang kini kian terpuruk? Apakah kita akan terus terjebak sekedar mengerjakan ritual puasa tanpa mampu memetik hikmahnya?

Semoga kita mampu untuk berpikir jernih dan meredefinisikan kembali makna puasa kita. Hanya dengan hidayah dan bimbingan Allah-lah kita dapat menjalankan puasa dengan sebaik-baiknya dan mencapai tujuan jiwa yang suci, jiwa yang sungguh-sungguh bertaqwa dengan landasan rasa iman yang semurni-murninya. Dengan demikian puasa kita tidak hanya sekedar puasa makan dan minum, tetapi merupakan puasa yang sebenar-benarnya sebagaimana diajarkan melalui Rasul-Nya. Mari kita merenung dan gembirakanlah datangnya puasa. Marhaban ya Ramadhan!

Ngisor Blimbing, 17 Juli 2012


4 tanggapan untuk “Puasa Makan atau Kuasa Makan?”

  1. betul sekali mas intinya puasa kan supaya kita empati kepada mereka yang kekurangan bukan malah sebaliknya.

    Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan 🙂

  2. mengasah empati bagi rakyat jelata terkadang menjadi berempati pada diri sendiri, karena hari-hari biasa juga selalu puasa, jd semakin terasah ketika puasa tiba..

    puasa itu selalu nikmat