Pendekar Tidar#14


PENGGERAK ANAK-ANAK TLATAH BOCAH

Senja itu sekian puluhan remaja tengah asyik ngabuburit di seantero luasan Alun-alun Kota Magelang. Suasana petang itu memang nampak sumringah dan hingar bingar oleh para remaja bercanda ria di bawah tower “kompor” alun-alun. Saat itu memang baru awal bulan Ramadhan, sehingga suasana menunggu bedug Maghrib masih terasa nglangut untuk ditunggu-tunggu. Rasanya lamaaaaa sekali. Kebetulan sekelompok anak remaja baru gede sedang menghelat acara buka bersama di alam terbuka alun-alun. Dan Tuhan menakdirkan saya dan beberapa Bala Tidar tersesat di tengah kerumunan ABG tersebut.

Singkat cerita beberapa kenalan barupun sempat tersalami. Satu dua remaja saling me-mringis-kan muka ketika berjabatan tangan. Setelah saling mringis itu, lha kok masing-masing bergerombol menurut fraksinya masing-masing. Walhasil, kami yang mungkin menurut kelompok itu sudah sangat out of date untuk disebut remaja, hanya bengong kilang-kilong tak tahu harus gabung ke golongan siapa. Tetapi ternyata kami tidak sendirian! Ada seorang setengah baya yang duduk tersudut tanpa seorangpun yang menemaninya.

Sejurus kemudian kamipun menghampiri sosok lelaki itu. Penampilannya sangat sederhana. Sosoknya sepertinya pendiam. Mungkin karena terhanyut keterpencilan dari kesunyian yang tercipta, atau mungkin ia memang sedang ngemat untuk mendengarkan desauan lembut angin senja yang menyapa daun-daun beringin di tengah alun-alun. Ketika kami mengulurkan tangan untuk tetepungan, ia menyambutnya dengan sangat antusias. Dialah kemudian sosok yang kita kenal sebagai Pak Gun alias Gunawan Juliyanto.


Dari obrolan pengiring senja terungkaplah sedikit rahasia jejak langkah Tlatah Bocah. Menurut danyang bocah lereng Merapi itu, Tlatah Bocah berawal dari keprihatinan sekelompok anak muda terhadap nasib anak-anak di pengungsian Tanjung kala Merapi meningkat aktivitasnya di tahun 2006 silam. Kehidupan di pengungsian yang diluar format kebiasaan dan adat dusun para bocah itu di lereng Merapi, sedikit banyak menimbulkan tekanan psikologis tersendiri. Kondisi yang khusus inilah yang diyakini membutuhkan satu pendampingan yang khusus pula. Akhirnya para relawan itu berbagi dongeng dan segala hal tentang dunia anak.

Berlanjut dari barak pengungsian itulah digagas untuk tetap melakukan pendampingan anak-anak selepas mereka pulang ke dusun mereka di lereng Merapi. Anak adalah aset masa depan bangsa yang kelak di kemudian hari akan nglintir tongkat kepemimpinan. Maka anak haruslah diberikan kesempatan untuk menjalani masa bocahnya secara alamiah tanpa intervensi pemaksaan oleh orang dewasa dan lingkungan di sekitarnya yang tidak ramah anak. Dari sanalah digelar Festival Tlatah Bocah secara rutin setiap tahunnya bertepatan dengan liburan kenaikan kelas.


Beberapa Tlatah Bocah yang telah digelar mengambil tema Ngunduh Wuh Ngangsu Kawruh, Bocah Dudu Dolanan Bocah Kudu Dolanan, Tutur Tinular:Tuturing Ati Tinularing Pekerti, dan kini yang tengah dihelat Wayah Gumregah. Harapannya adalah pasca erupsi Merapi akhir tahun kemarin yang begitu dahsyat, tiba masanya bagi segenap warga seputaran gunung Merapi untuk bangkit kembali menata kehidupan dan masa depan yang lebih baik.

Seorang Gunawan Juliyanto biasa disapa Mas Gun, Pak Gun, bahkan selentingan ada yang menyebutknya “Gareng”(untuk yang satu ini saya tidak tahu menahu). Sosok lelaki setengah baya ini sangat andhap asor dan prasojo. Hidup baginya tidak perlu ruwet-ruwet dan dibikin repot. Hidup ya mengalir saja, mbanyu mili dan sakmadya dengan irama alam. Alam baginya adalah satu aspek kehidupan yang sangat mendasar dan tidak terpisahkan dari kamanungsan-nya menungso. Maka jangan heran bila pikiran, kata-kata, perbuatan, dan tindak-tanduk seorang Gunawan sangat-sangat humanis. Untuk yang satu ini mengingatkan saya pada sosok Gunawan Wibisono di kisah pewayangan Ramayana yang masyur itu.


Gunawan memang seolah senantiasa menutupi latar belakang masa lalunya. Bukan karena masa lalu yang kelam, tetapi saya yakin terdorong karena sifat andhap asor-nya dan tidak ingin menonjolkan dirinya sebagai sosok yang teramat penting. Konon katanya ia dulu-dulunya sempat meneguk pendidikan di sekolah Patnamaba, bahkan berlanjut di Pakultas Ngekonomi Ngunipersitas Nggajah Modo di mBulak Sumur itu. Ia bagaikan manusia pasca modern sebagaimana sering digambarkan oleh Romo Mangun Wijaya swargi.

Kehidupan Gunawan adalah kehidupan bocah-bocah Merapi yang diasuhnya. Hari demi hari dihabiskannya untuk jajah deso milangkori di sekeliling Ngargomulyo, Sumber, Sengi, Stabelan, Tutup Ngisor dan nduwur, Kadirojo dan masih banyak yang lainnya. Wadag-nya seakan tiada lelah untuk ngangklang menyapa bocah-bocah dusun dan para warganya. Ia pernah berseloroh bahwa dengan modal bensin satu liter ia bisa menyambung hidup paling kurang dalam kurun seminggu. Maksudnya gimana nggih?

Begini sudulur, Pak Gun yang penggawean-nya berkelana ini, kesehariannya pindah gonta-ganti dari satu dusun ke dusun yang lain. Bila ia datang di suatu dusun, menyapa dan menyatu dengan kehidupan mereka, seringkali ia menginap bergiliran diantara warga dusun yang dikunjunginya. Adalah adat masyarakat pedukuhan yang masih taat pada unggah-ungguh dan aturan syara’, bahwa sudah menjadi jejibahan alias kuwajiban tuan rumah untuk ngiguhke tamunya dengan sebaik-baiknya. Soal makan, minum dan segala hajat hidupnya menjadi tanggungan sang tuan rumah. Di sinilah konsep tentang tamu sebagai raja. Dan nampaknya seorang Gunawan Juliyanto telah mangejawantah sebagai seorang raja, paling tidak di tahta kalbu para warga yang bocah-bocahnya menjadi asuhannya.

Meski nampak sering termenung dan dengan sangat tiba-tiba meluncurkan candaan yang menohok, sosok seorang Gunawan sangat lihai merangkul teman dan sahabat. Kemajuan dunia komunikasi dimanfaatkan betul-betul dengan asas manfaat yang sangat dihayatinya di bangku cantrik-nya. Facebook, apalagi twitter seolah menjadi sebagian roh hidupnya. Dari sanalah ia mewartakan setiap ide dan gagasan uniknya ke seantero Nuswantara. Dengan cara itulah ia menebar jala dan menabur benih persahabatan dan kesetiakawanan. Maka jangan terlampau heran bila setiap agenda Tlatah Bocah yang digelar selalu tergaung luas dan mendapat dukungan yang luar biasa. Saat ini bahkan tidak kurang dari 25 komunitas telah aktif mendukung Tlatah Bocah.

Gunawan Juliyanto adalah sosok langka di negeri ini. Sosok yang senantiasa mengedepankan kepentingan orang lain jauh di atas kepentinganya sendiri. Baginya sudah menjadi kewajiban manusia untuk menebar kebajikan. Soal imbalan, soal pujian dan sanjungan, soal ketenaran, soal penghasilan, baginya bukanlah persoalan. Karya, karya, dan karya jauh lebih utama daripada klaim kebaikan atas nama diri sendiri. Ialah pengamal sejati warisan leluhur untuk selalu sepi ing pamrih rame ing gawe.

Selamat berjuang Pak Gun! Anak-anak adalah generasi sejarah yang harus terselamatkan sebagai benih kemanusiaan di masa depan. Pada pundak merekalah harapan tentang generasi manusia yang manusiawi kita sandangkan. Teruslah berkarya untuk para bocah! Bocah Merapi, bocah Merbabu, bocah Menoreh, Sumbing, Andong dan seantero alam semesta. Tlatah Bocah, sebuah ladang pengabdian nilai kemanusiaan. Matur suwun.

Ngisor Blimbing, 19 Juni 2011


7 tanggapan untuk “Pendekar Tidar#14”

  1. Eh iya, itu ketemunya pas dibawah kompor, dilanjutkan dengan “ngangkring” di samping jaran kepang-nya Diponegoro bersamaan dengan kemunculan Cikal Bakal Magelang Express…

    • makane jangan kalah semangat dengan yang lebih berumur Bro!
      tulung mobilisasi juga untuk turut mendokumentasikan event Laku lampah dan pentas senia anak yang tanggal 9-10 Juli ya!

  2. prok prok prok…. salut dah buat Pak Gun…

    tetap semangat dan jangan sampai bosan Pak, merapi padamu…. 😀