Nomawa Noghosa


REPORTASE KENDURI CINTA NOVEMBER 2009

Mengalir, Menderas!

plomponghonda

Sepanjang senja hingga malam hujan tak jua reda mengguyur langit Jakarta dan sekitarnya. Gerimis yang masih setengah deras ternyata tak mampu menghalau hasrat jamaah untuk berkenduri-cinta. Akhirnya setelah sekian lama menunggu dan menunggu ketidakpastian berhentinya hujan, selepas pukul 22.00 langitpun berhenti mencurahkan air hujannya. Pelan namun pasti arena kenduri dipenuhi jamaah yang datang mbayu mili seperti biasanya, tanpa berkurang meski cuaca dingin-dingin nggak empuk.

Sedikit aneh membaca tema Kenduri Cinta kali ini, Nomawa Noghosa:Mengalir, menderas. Usut punya usut, kata tersebut rupanya berasal dari bahasa Muna, satu wilayah di Sulawesi Tenggara yang mewarisi kebesaran tradisi kerajaan Luwu Timur. Adalah Mas Ais Paseba, sang ksatria dari timur, mengawali acara dengan lantunan lagu kidungan Nomawa Noghosa.

Adalah tradisi pelantikan raja maupun pejabat di Muna yang diambil sumpahnya dengan menyatakan biarlah hancur badan laksana kapur, asal kepentingan rakyat dinomor-satukan. Biarlah runtuh pemerintahan, asalkan jangan runtuh hukum. Biarlah runtuh negara, asalkan jangan runtuh agama. Nomawa Noghosa merupakan artikulasi nilai kearifan lokal yang menyatakan bahwasanya suatu kebaikan adalah hasil dari benih kebaikan yang disemai pada tanah yang baik dan dengan proses pemeliharaan yang baik pula. Dicontohkan bahwa di Sulawesi terdapat jenis tanaman jati terbaik di dunia yang hanya bisa tumbuh pada jenis tanah yang ada pada wilayah tersebut.

dikdoankMas Iwan kemudian menyarikan nilai dialektika kearifan, suatu proses sebagaimana sering Cak Nun paparkan bahwa kita harus senantiasa belajar berbagai hal yang berhubungan dengan sesuatu hal dengan merunut ke asal mula sumber yang melatarbelakanginya untuk memetik suatu hikmah filosofi transendensi. Satu contoh, ketika kita memakai baju, jangan pernah hanya berhenti di pakaian. Pakaian tersusun dari benang. Benang dipintal dari kapas. Kapas berasal dari tanaman kapas atau wit randu. Wit randu tumbuh dari jenis benih tertentu, pada macam tanah tertentu, dan dengan cara pengelolaan tertentu sehingga menghasilkan kualitas hasil terbaik.

Ketika melihat air mengalir, jangan hanya berhenti pada alirannya saja. Cobalah tengok darimana air tersebut mengalir, sebening apakah sumber utama mata air aliran air tersebut. Apakah dalam perjalanan alur air terjadi pencemaran? Akan selalu ada sebab yang menghasilkan akibat. Sebagaimana kemacetan yang terjadi sehari-hari di ibukota, masalah gonjang-ganjing kekisruhan hukum di antara sesama institusi penegak hukum, semua dapat ditelusuri dengan bijak bagaimana proses terjadinya, dan apakah penyebab dasarnya. Apakah masalah lemahnya penegakan hukum terjadi karena lemahnya sistem, oknum aparat yang melanggar, ataukah pada level aturan perundang-undangannya, atau barangkali memang konstitusinya yang bermasalah. Banyak hal menjadi sangat relevan untuk senantiasa dipertanyakan kembali.

Diskusi memang kian mengalir dan menderas, dan suasana bertambah meriah ketika diselingi dengan penampilan tembang latin dari Persusi, Persatuan Sulih Suara Indonesia yang kebetulan juga tengah menggelar acara 100 hari meninggalnya WS Rendra dengan pembacaan puisi 125 jam non stop. Keriangan bertambah hangat saat seorang misterius yang mengaku bernama Plompong pengamen dari Klaten, naik pentas dengan menggotong kotak musik ajaib yang ternyata bersenar bilahan bambu. “Gitar bambu”, bisa dibilang nama alat musik Lik Plompong tersebut. Dengan kepercayaan tinggi mengalunlah lagu hits Sengsong Lingling Seng, Jempol dikenyot-kenyot nyot, dan Cintaku cukup sekian.

ponari

Diskusi berlanjut dengan uraian Mas Yusron Aminullah, adik kandung Cak Nun. Ia mengemukakan peran energi positif dalam pencapaian kebahagiaan hidup. Seorang muslim yang sangat taat beribadah, kemudian mengalami nasib apes berulangkali, padahal ia senantiasa berdoa dan berdoa. Bisa jadi frekuensi si taat ibadah ini tidak nyambung atau mencapai titik harmonis dengan kehendak-Nya. Sebagaimana radio yang frekuensinya tidak nyambung, maka yang akan dihasilkan hanyalah suara kemresek, dan rupanya Tuhan tidak mendengar suara kemresek tersebut.

Masyarakat kita di setiap saat hembusan nafasnya, banyak dicekoki dengan energi negatif dari berbagai media. Gosip, kabar burung, sinetron tidak mendidik, kekrisuhan cicak vs buaya dan lain sebagainya. Bukannya akan menemukan solusi permasalahan, hembusan energi negatif justru akan semakin mengeruhkan masalah. Maka seyogyanya harus lebih dikembangkan kata, kalimat, dan nada-nada positif dalam komunikasi kita sehari-hari. Hal ini sudah terbukti sebanding dengan kedewasaan dan tingkat kestabilan emosi yang telah banyak dijadikan ukuran di negara-negara maju untuk meraih kehidupan peradaban yang lebih maju.

Forum dilanjutkan dengan pemaparan Mas Agung sang geolog yang menekuni arkeologi. Ia memperlihatkan banyaknya nama tempat di berbagai negara belahan dunia yang menggunakan bahasa Sansekerta dengan arti yang sama persis sebagaimana yang kita kenal. Misalkan kota Astana di Rusia, astana berarti tempat yang sangat luas.

nomasa

Mas Agung juga memperlihatkan relief di candi Penataran yang mengisahkan penakhlukan benua Amerika. Ada pula kisah penakhlukan bangsa Sumeria di candi Cetho. Relief-relief tersebut menerbitkan pertanyaan, apakah konstruksi sejarah yang dibangun para arkeolog dewasa ini sudah benar. Ataukah perlu dipertanyakan lagi untuk kemudian diteliti kembali mana kisah sejarah yang paling benar. Tujuan daripada penelusuran arkeologi yang dilakukan Mas Agung adalah untuk mengungkap bahwa sesungguhnya, berdasarkan fakta sejarah, bangsa kita adalah bengsa dengan peradaban yang maju dan paling awal, serta mampu menguasai wilayah di berbagai belahan dunia. Dengan merekonstruksi sejarah yang benar, diharapkan akan muncul lagi kebanggaan dan bangkitnya rasa nasionalisme, dan satu hal yang pasti rasa percaya diri, bahwa bila nenek moyang di masa lalu telah mampu menakhlukkan dunia, kitapun di masa yang akan datang akan menjadi bangsa yang besar asalkan kita mau segera bangkit dari tidur panjang kejumudan jaman.

Selepas kajian mengenai rekonstruksi peradaban bangsa, Dik Doank tampil menyampaikan konsep Kenduri Cinta di tahun 2010. Ia mengawali uraian dengan mengungkap harapan dan pesan ketidakhadiran Cak Nun kali ini, bahwa Cak Nun senantiasa berharap KC tidak Cak Nun centries, dan tidak ada pendewaan apalagi pengkultusan atas diri Cak Nun dalam komunitas KC. Oleh karena itu semua jamaah harus berbenah untuk melakukan proses regenerasi ide, gagasan, dan karya nyata.

Bulan Rajab di 2010 adalah tonggak 10 tahun keberadaan KC. Dalam momen tersebut diharapkan setiap jamaah merapatkan barisan, mengambil momentum sejarah untuk mewujudkan karya besar yang fenonemal guna menggugah rasa kemanusiaan segenap komponen bangsa. Bulan Rajab adalah bulannya Allah. Bulan tersebut adalah bulan penyemaian benih kebaikan. Sya’ban adalah bulan Nabi dimana benih yang telah tumbuh memerlukan perawatan dan pemeliharaan dengan baik. Adapun Ramadhan adalah bulan ummat. Ramadhan adalah masa panen kebaikan.

Namun kenapa ummat di masa sekarang maunya hanya menuai dan mengambil, tanpa menanam dan memelihara. Manusia terjebak menjadi makhluk ekonomi yang hanya mengenal mengambil dan mendapatkan sesuatu. Padahal jika ditilik dari cabang-cabang iman, memberi senyum, menyingkirkan duri, bersedekah, dan lain sebagainaya, semua bercerita tentang memberi, give and give. Itulah makna ketulusan cinta sejati, memberi dan tak harap kembali. Maka bulan Rajab 2010 menjadi momen untuk pembuktian rasa cinta sejati tersebut.

kiaibudiMajlis KC diakhiri dengan uraian Kiai Budi tentang hakikat konsep cinta, give and give. Rakyat laksana lautan luas nan dalam terbentang. Adapun para penguasa dan pejabat hanyalah nelayan yang hanya kenal mengambil, dan mengambil hasil laut. Rakyatlah sesungguhnya pemangku kesejatian cinta. Rakyat yang digosok, dioyak dan diterjang paparan gelombang, kemudian setelah mengelami pengendapan spiritualistik terkristal menjadi mutiara kehidupan. Maka terjelmalah Begawan Ismaya mangejawantah di muka bumi menjadi manusia sejati, kalifatullah fil ardzi.

Tak terasa waktu mengantar kepada batas fajar. Meskipun tanpa kehadiran Cak Nun, jamaah tetap antusias menikmati ranumnya kelezatan maiyyah. Ini barangkali sebagai satu pembuktian bahwa KC akan terus bergulir menapaki cakra manggilingan sang waktu bagi suatu proses pencerahan peradaban manusia secara luas.

Kampung Kosong, 14 November 2009


2 tanggapan untuk “Nomawa Noghosa”