Ngarep Ndeso – Mburi Ndeso


Para simbah dan para sesepuh jauh di masa lalu telah membuat sebuah rumusan “desa mawa cara, negara mawa tata”. Ungkapan itu senada dengan pepatah “lain ladang, lain belalang dan lain lubuk, lain pula ikannya”. Maknanya secara luas dapat diartikan bahwa setiap bangsa, suku bangsa, kelompok masyarakat, bahkan setiap kepala memiliki cara pandang, kebiasaan, atau tradisi serta adat istiadat yang berbeda-beda dalam mejalani sebuah episode kehidupan. Realitas inipun berimbas kepada cara, sudut, serta jarak pandang seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu yang berbeda satu sama lain terhadap suatu permasalahan. Inilah akar pangkal realitas pluralitas kehidupan di dunia.

Krg1 Krg2

Satu contoh realitas pluralitas yang ingin saya kemukakan di sini adalah pandangan suatu kelompok masyarakat di pedusunan seputar lereng gunung Merapi tentang lingkungan desanya. Masyarakat di daerah ini mengenal istilah “ngarep desa dan mburi desa” untuk mengacu keberadaan suatu tempat dari posisi sebuah desa. Mungkin konsep ini juga banyak dianut pada sistem pedukuhan di wilayah pulau Jawa lainnya.

Apakah benar bahwa suatu dusun memiliki muka, sehingga ia bisa menghadap ke suatu arah tertentu dan berakibat wilayah pada arah tertentu berada di sisi depan (muka; ngarep), serta wilayah lain kemudian berada di posisi belakang, alias mburi?

Krg3 Krg5

Memang pola pikir masyarakat dusun yang sering mengungkapkan “ngarep desa-mburi desa” ini tidaklah berdasarkan sebuah pandangan fisik dari sebuah wilayah padusunan, setidaknya berdasarkan realitas saat ini. Penerapan “ngarep desa-mburi desa” lebih sebagai sebuah kesepakatan dan kesepahaman turun-temurun dalam rangka memudahkan saling pengertian untuk menunjuk suatu tempat dalam sebuah konteks pembicaraan. Namun demikian, di masa lalu (hingga akhir tahun 80-an), di berbagai wilayah pedusunan yang ada di seputaran tepi Merapi masih banyak tersisa bangunan rumah tua yang masih berstruktur tradisional (limasan dan joglo) yang kompak menghadap ke arah tertentu dan membelakangi posisi gunung Merapi. Dan jika merunut dongeng serta penuturan para simbah dan sesepuh dusun, di masa lalu memang semua rumah menghadap ke arah yang sama. Semuanya membelakangi gunung Merapi.

Kondisi keseragaman semua rumah yang menghadap ke arah yang sama inilah awal mula timbulnya penunjukan arah “ngarep desa, dan mburi desa”. Semua wilayah tempat yang berada di posisi depan rumah warga dianggap berada di ngarep desa. Sebaliknya semua wilayah yang berada pada posisi belakang rumah tentu saja dianggap berada di belakang desa. Apakah keseragaman arah rumah itu terjadi karena sebuah instruksi atau paksaan adat, atau bahkan sebuah rekayasa sosial tertentu?

Krg6  Krg7

Sama sekali tidak sedulur-sedulurku! Keseragaman arah rumah yang terjadi di masa lalu itu saya yakini sama sekali tanpa paksaan, instruksi, ataupun rekayasa sosial. Lha terus larah-larahe crita, asal muasal kisahnya seperti apa? Masyarakat kita adalah masyarakat yang senantiasa guyub dan mengutamakan kebersamaan. Di masa lalu mayoritas penduduk di sebuah dusun ya terdiri dari masyarakat kebanyakan yang memiliki pekerjaan, tingkat pendidikan, perekonomian, serta status sosial yang relatif sama. Memang ada satu dua warga yang berstatus lebih “priyayi”, baik karena keturunan maupun karena status pendidikan, pekerjaan, serta perekonomian yang di atas rata-rata. Akan tetapi dalam hal kehidupan kemasyarakatan, sedikit perbedaan itu justru dilebur dalam kebersamaan dan kesamaan, termasuk dalam penentuan arah bangunan rumah. Dengan demikian kekompakan rumah membelakangi posisi gunung Merapi di masa lalu itupun jelas sebagai hasil kesepakatan sosial dan kemudian menjadi nilai kearifan lokal yang dijunjung tinggi oleh setiap anggota atau warga sebuah dusun.

Krg8 Krg9

Lalu mungkin timbul pertanyaan, kenapa arah rumah harus membelakangi posisi gunung Merapi? Sebenarnya saya sendiri yakin bahwa tidak ada pertimbangan khusus terkait gugon tuhon maupun sisi mistik perklenikan. Hanya saja keberadaan struktur permukaan tanah di selingkaran lereng gunung Merapi memiliki kontur tanah miring. Rekayasa pemikiran dan sarana teknologi pada saat itu tentu saja masih sangat sederhana. Hanya dengan bantuan peralatan sederhana, seperti pacul dan linggis, masyarakat membuat sistem terasiring berundak dengan perataan tanah. Dalam dataran-dataran berundak itulah kemudian dibangun pelataran dan rumah-rumah penduduk.

www.richard-seaman.com

Pada kondisi demikian, akan lebih aman (terutama dari kemungkinan terjadinya longsoran tanah) jika posisi bangunan rumah lebih mepet ke bagian tebing (tentu dengan rentang jarak aman tertentu) dan menempatkan halaman rumah di sisi depan bangunan. Tentu saja arah rumah yang paling ideal adalah membelakangi gunung Merapi. Dengan semikian apabila terjadi longsoran atau jugrukan tanah, maka yang mengalami longsoran hanyalah bagian tanah halaman atau pelataran di muka rumah. Adapun tanah longsor yang ambrol ke bawah (karena adanya jarak aman rumah di bawahnya) tidak akan sampai menimbun atau mempengaruhi kondisi rumah yang ada di bawahnya.

Di samping pertimbangan sebagaimana telah diuraikan di atas, arah membelakangi gunung Merapi (arah utara-selatan menurut persepsi masyarakat setempat) juga berpotongan tegak lurus dengan arah perjalanan matahari yang terbit di timur dan tenggelam di sisi barat. Arah sinar matahari senantiasa diarahkan pada posisi samping rumah, bukan sisi depan ataupun belakang rumah. Kondisi ini membuat rumah senantiasa sejuk dan terhindar dari sengatan langsung matahari di pagi dan sore hari. Konsep ini bahkan dirujuk oleh banyak ahli bangunan dan arsitektur dalam perencanaan bangunan rumah yang sederhana dengan penerapan rekayasa teknologi yang minimalis.

Krg10Duren-duren, roti-roti! Mbiyen-mbiyen, saiki yo saiki! Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang! Roda jaman memang terus berputar, segala hal menjalani dinamika perubahan. Termasuk dalam pemilihan tipe rumah dan arah bangunannya. Keterbatasan lahan serta kebutuhunan, menjadikan pola pikir manusia tidak bisa lagi mengikuti kaidah kearifan lokal dalam penentuan arah rumah. Di desa, terlebih di kota, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat menjadikan rumah menjadi berimpit-impitan. Arah rumah lebih mempertimbangkan kepraktisan akses keluar masuk yang bisa dicapai. Toh perihal keterbatasan-keterbasatan yang menurunkan tingkat kenyamanan bisa diatasi dengan teknologi. Di samping itu, bisa jadi karena indikator pengutamaan kepentingan kebersamaan dan keguyuban di masyarakat kita juga sudah semakin menurun.

Ngarep desa – mburi desa, sebagai sebuah warisan kearifan lokal masyarakat di wilayah pedusunan masih dipahami dan dipergunakan secara turun-temurun hingga saati ini. Tidak hanya generasi tua, generasi muda dan anak-anakpun masih sangat paham dengan ngarep desa – mburi desa ini. Memang konsep ini menjadi tinggal warisan yang lebih tersisa dalam konsep pikir tentang arah, namun sudah sangat jauh dari penerapan fisik sebagaimana penentuan arah bangunan rumah yang telah diuraikan panjang lebar di atas. Namun sebagai sebuah wacana pemikiran, tidak ada salahnya jika kita sebagai generasi muda turut memahami dan mewariskannya kepada anak cucu kita kelak di kemudian hari.

Ngsisor Blimbing, 3 November 2012


4 tanggapan untuk “Ngarep Ndeso – Mburi Ndeso”

  1. kalau di daerah saya selain ngarep deso buri deso biasanya orang juga menyebutkan letak/posisi dengan menggunakan 4 arah mata angin yaitu timur, selatan, barat serta utara dengan menggunakan desa sebagai pusatnya.

  2. Peran tradisional ini kembali dimunculkan ketika Indonesia mengajukan konsep pembentukan ASEAN Security Community (ASC). Fakta bahwa proposal ASC datang dari Indonesia memperlihatkan bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan refleksi atas perubahan politik dalam negeri menuju kearah yang lebih demokratis. Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang selalu menempatkan penyelesaian konflik dengan cara damai sebagai pilihan utama.

    • puncak dari modernitas kemungkinan merupakan titik balik kembalinya manusia kepada nilai kearifan lokal berlandaskan keselarasan manusia dan alam, back to nature