NGANGKLANG


SAHUR…SAHUR….SAHUR!!!!

ngangklangDatangnya bulan suci Ramadhan senantiasa disambut dengan suka cita oleh umat Islam. Tua-muda, laki-perempuan, bahkan tidak ketinggalan para remaja dan anak-anak selalu antusias untuk mengisinya dengan berbagai amalan ibadah. Ramadhan lebih dikenal sebagai bulan puasa, atau sasi pasa menurut orang Jawa. Hal ini tidak lain karena dalam waktu sebulan penuh memang kaum mukminin diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa. Puasa merupakan ibadah yang dilakukan dengan tidak makan, minum, dan perbuatan lain yang membatalkannya mulai saat fajar hingga waktu matahari terbenam.

Untuk sudut sebuah pelosok dusun, suasana bulan suci nampak sangat marak dan membangkitkan suatu nuansa romantika tersendiri. Suasana malam hari senantiasa nampak lebih hidup dengan berbagai amalan Ramadhan, dimulai kegiatan takjilan di senja hari,  sholat tarawih beserta witirnya yang dilanjutkan nderes atau tadarus Qur’an, hingga saat persiapan sahur.

Tidak seperti di bulan yang lain, pada bulan ini kegiatan perondaan diaktifkan kembali. Hal ini tidak saja dimaksudkan untuk meningkatkan keamanan lingkungan agar warga masyarakat dapat menjalankan ibadah dengan lebih tenang, namun lebih dari itu, adanya regu peronda juga mempunyai tugas utama untuk melakukan ngangklang. Apakah yang dimaksud ngangklang?

Ngangklang yang merupakan salah satu khasanah bahasa Jawa, mempunyai arti suatu kegiatan berkeliling lingkungan dalam rangka menjaga keamanan. Jadi bisa juga dibilang kegiatan patroli yang dilaksanakan oleh petugas keamanan, mulai jogoboyo, para peronda, polisi, hingga pasukan garnisun. Namun dalam bulan Ramadhan, kata ngangklang di dusun kami mempunyai makna khusus. Ngangklang merupakan kegiatan berkeliling lingkungan yang bertujuan membangunkan warga masyarakat guna mempersiapkan santap sahur.

Ngangklang dilaksanakan oleh regu peronda yang telah dijadwalkan, dan seringkali disertai oleh anak-anak, dan para remaja. Bedug, bendhe, kenthongan, saron, angklung, tong bekas, hingga gallon air minum merupakan alat bunyi yang dipakai sebagai pengiring ngangklang. Nyanyian mulai dari sauuuur…..saaur, sayuuuur…saayur, hingga kasuuur…kaasur merupakan lagu wajib yang dinyanyikan. Selebihnya banyak kreasi anak-anak dengan berbagai gubahan lagu yang lain.

Ngangklang biasa dimulai pada jam dua dini hari. Hal itu dimaksudkan guna memberikan kesempatan kepada kaum ibu untuk bangun tidur dan memulai memasak hidangan sahur. Meski memang jaman telah semakin “mengkota”, namun kebanyakan dari warga dusun kami masih memasak dengan kayu bakar, dan kebanyakan warga belumlah mengenal alat pemanas nasi atau sayur semacam magic jar. Dengan demikian setiap bangun untuk sahur, ya mau tidak mau harus tetap cuthik geni dan ngliwet.

ngangklang2Ngangklang merupakan suatu kemewahan pengalaman tersendiri bagi anak-anak. Mereka seringkali dengan antusias bangun lebih awal sebelum pasukan ngangklang bergerak, bahkan banyak dari anak-anak itu yang sengaja tidur di beranda masjid. Anak-anak selalu memegang satu alat bunyi dan ikut beraksi selama ngangklang. Berjalan beriringan di saat dini hari merupakan pengalaman yang membanggakan, sekaligus ajang pembuktian nyali mereka. Dan memang setiap anak ingin menunjukkan eksistensinya sebagai anak pemberani. Gendruwo, wewe gombel, kuntilanak, peri dan jin prayangan mereka yakini tidak akan mengganggu kegembiraan mereka karena kata Pak Kiai para setan dan iblis dibelenggu pada bulan suci ini.

Sedikit bonus bagi anak-anak adalah saat musim buah-buahan. Mereka dengan suka cita seringkali sengaja melewati sudut-sudut kebun yang gelap gulita untuk ngundhuh rambutan, salak atau sekalian ngerok pohon jambu. Apakah mereka nyolong? Yaah namanya juga anak-anak, salak yang baru mengkalpun diembat juga, dan memang kebiasaan “menyalak” ini dulu begitu menggoda karena masih jarang orang yang menanam pohon salak pondoh.  Anak-anak itu memang makan buah-buahan tanpa seizin pemilik kebun, namun yang seringkali terjadi juga mereka meminta izin dengan berteriak lantang kepada pemilik kebun, “mbaaaaahhh nyuwun jambune!”. Meski sang empunya tidak mendengar, hal demikian sudah dianggap syah. Namun bila si empunya mendengar, kebanyakan juga tidak berkeberatan dengan hal demikian.

Tidak selalu niat baik disambut dengan sikap yang baik pula. Demikian halnya dengan niatan para pasukan pengangklang untuk membangunkan warga. Terkadang memang ada saja satu dua orang galak, yang merasa terganggu tidurnya dengan keriuhan bebunyian. Dengan mencak-mencak si galak sering memarahi anak-anak dan mengusir mereka. Anak-anakpun dengan kepolosannya segera lari sipat kuping, tentu saja dengan ngedumel dan meledek lirih.

Pernah suatu ketika karena merasa dimarahi si galak, anak-anak kemudian mogok untuk melakukan ngangklang pada malam-malam selanjutnya. Dan apa yang terjadi? Sekian ibu-ibu dan janda-janda sepuh kesiangan bangun untuk memasak hidangan saur. Dan hal ini berakibat beberapa keluarga memang terlambat dalam bersantap sahur, bahkan beberapa diantaranya tidak sempat sahur. Nah kalau demikian apa yang mau dikata?

Pasukan ngangklang bergerak ibarat alarm bagi masyarakat. Bunyi titir kenthongan yang khas adalah irama yang manjur untuk menyapa manusia lepas dari alam mimpinya. Tangan-tangan mungil nan lugu dengan kompak mengaransir komposisi alunan bebunyian dari kenthongan, bendhe, saron, bedug dan sekedar tong bekas. Dalam keremangan sudut dusun yang dingin ditetesi sang embun pagi, pasukan ini akan terus melakukan tugasnya entah sampai kapan. Pernahkah sampeyan ikut ngangklang?

Kampung Kosong, 5 September 2008


2 tanggapan untuk “NGANGKLANG”