Muntilan dalam Layar Lebar


Muntilan sebuah kota kecamatan di tengah jalur Jogja – Borobudur. Meskipun hanya berstatus sebagai ibukota sebuah kecamatan, Muntilan adalah kota terbesar dan teramai di Magelang. Muntilan menjadi pusat perkembangan pembangunan yang sangat pesat di wilayah Kabupaten Magelang. Dari sektor ekonomi, pendidikan, wisata, hingga hiburan, Muntilan menyediakan fasilitas yang cukup lengkap. Muntilan menempati posisi yang sangat strategis di jalur utama pulau Jawa yang menghubungkan Semarang dan Jogjakarta.

Muntilan masuk televise? Akh, tentu sudah sering dan tidak luar biasa. Lihat saja pada saat terjadi erupsi gunung Merapi yang terbesar di sepanjang sejarah republik ini pada 2010 lalu, hampir setiap hari muncul pemberitaan yang berkaitan dengan Muntilan dan sekitarnya. Nah, kalau wilayah di sekitar Muntilan diangkat ke layar lebar, menjadi sebuah film yang ditayangkan di bioskop-bioskop seluruh penjuru negeri, pernah mendengar atau melihatnya?

Beberapa kali, beberapa film layar lebar memang pernah mengangkat setting lokasi di sekitar wilayah Muntilan. Akan tetapi dari segi jumlah produk sinema yang ada bisa dibilang masih sangat sedikit kalau mau mencari yang berkaitan dengan kota Muntilan. Film terakhir yang mengkaitkan kota Muntilan diantaranya film “Soegiyopranoto” yang mengisahkan awal mula masa pendidikan sosok yang kemudian didaulat oleh Vatikan untuk menjadi Uskup Agung yang ternama di tanah air. Bagaimana dengan film yang berkisah dan mengangkat cerita seputar dunia bocah? Film yang dibintangi Joshua kecil sekitar sepuluh tahun yang lalu sepertinya menjadi film yang bisa dikenang berkaitan dengan Muntilan.

 

Namun beberapa waktu telah diluncurkan film yang banyak mengekspose keindahan alam di sekitar Muntilan yang masih asri, ijo royo-royo dengan tanaman padi yang sedang sumilir itu. Film tersebut berjudul “Cita-cita Setinggi Tanah”, disutradarai oleh Eugene Panji yang sebelumnya lebih dikenal sebagai penggarap video musik. Dilihat dari judul filmnya, seperti ada yang aneh, janggal, alias tidak umum. Bukankah ungkapan yang umum kita kenal selama ini adalah “menggantungkan cita-cita setinggi langit”, lha kok ini cita-citanya hanya setinggi tanah! Penasaran? Justru rasa penasaran itulah yang sengaja ingin digunakan oleh penulis cerita film ini untuk memancing minat penonton.

Dengan mengambil judul ungkapan yang melawan arus, film ini bertujuan untuk membuka kesadaran semua penontonya bahwa sebuah cita-cita sebenarnya menjadi bermakna dan berharga bukan dari ketinggiannya, tetapi justru bagaimana cita-cita itu bisa memotivasi, menginspirasi, menjadi daya dan energy bagi seseorang untuk mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan. Bukan sekedar kata-kata indah, muluk, mengawang-awang, namun berujung hanya kepada sebuah khayalan. Inti dari sebuah cita-cita adalah daya juang pemiliknya untuk mewujudkannya. Sebuah cita-cita yang menjadi panduan dan penunjuk jalan hidup. Cita-cita yang membumi!

Dikisahkan beberapa bocah sekawan-sekarib yang masih duduk di bangku sebuah sekolah pinggiran. Mereka adalah Agus (M Syihab Imam Mutaqqin), Sri (Dewi Wulandari Cahyaningrum), Jono (Rizqullah Maulana Daffa), dan Puji (Iqbal Zuhda Irsyad).   Suatu hari sang ibu guru menugaskan mereka untuk menuliskan sebuah esai tentang cita-citanya masing-masing.

Maka meluncurlah angan dan imajinasi anak-anak kampung tersebut tentang gambaran cita-cita yang ingin diraihnya. Si Sri kelak setelah besar ingin menjadi seorang artis ternama, bahkan dalam pergaulan sehari-hari ia merasa minder menggunakan nama Sri dan selalu ingin dipanggil dengan panggilan Mey oleh teman-temanya. Jono lain lagi. Ia bercita-cita ingin menjadi tentara. Semenjak di kelas satu, ia selalu menjadi ketua kelas, ingin menjadi menjadi pemimpin bagi teman-temannya yang lain.  Sedangkan Puji yang hobi ngupil bercita-cita bisa membahagiakan orang lain, sebuah cita-cita yang masih sangat abtrak dan luas.  

Adapun Agus adalah anak sederhana dari sebuah keluarga yang hidupnya pas-pasan. Ayahnya seorang pengrajin pembuat tahu. Ibu Agus seorang ibu rumah tangga biasa yang setiap hari selalu memasakkan anaknya tahu bacem istimewa se-kabupaten. Saking istimewa tahu bacem ibunya, setiap sarapan pagi, makan siang, hingga makan malam, menu makan keluarganya selalu disertai dengan tahu bacem. Kondisi ini membuat Agus bosen, sehingga terlintas di pikirannya sebuah cita-cita ingin makan di restoran padang. Nggak salahkah cita-cita Agus kecil ini? Ini cita-cita atau sekedar keinginan yang sangat ngebet layaknya ibu hamil muda yang sedang ngidam?

Namanya juga seoarang bocah yang terdidik dari lingkungan keluarga yang sederhana dan seadanya, maka makan di restoran padang adalah sebuah keistimewaan yang hanya sekilas melintas di angan-angan. Bagaimana mungkin makan di restoran padang, kan makanan di sana semuanya mahal-mahal. Lagi pula di restoran padang, setahu Agus, berpiring-piring makanan enak dihidangkan semua di atas meja dan harus dibayar. Perkiraan Agus, jika satu piring makanan seharga sepuluh ribu ruiah, maka jika di atas meja terhidang 12 piring, tentu bukan sebuah angka rupiah yang kecil bagi ukuran keluarganya. Tentu saja cerita Agus dengan cita-cita sederhananya ini banyak dicemooh dan ditertawakan oleh teman-teman sekelasnya.

Bukanlah anak istimewa jika persoalan cita-cita hanya sampai di angan-angan dan pikiran. Agus adalah seorang anak gemblengan alam Merapi, oleh karena itu ia sangat menjunjung tinggi pikiran, ucapan, hingga tindakan tingkah lakunya. Oleh karena itu cita-cita makan di restoran padang bukanlah sebuah gurauan dan khayalan, namun harus diwujudkan menjadi kenyataan. Dan untuk itu diperlukan uang yang bagi keluarga Agus tidaklah mudah untuk mendapatkannya. Tekad itu semakin terasa membara di dada Agus setelah ia juga mendapatkan petuah dari Mbah Tapak bahwa sebuah cita-cita tidak hanya sekedar bisa “ditulis” tetapi harus bisa diwujudkan.

Akhirnya Agus memulai langkah untuk meraih cita-citanya dengan menabung dalam bumbung bambu. Ketika dikritik teman-teman bahwa kalau ingin menabung seharusnya membeli celengan terlebih dahulu, Agus hanya memberikan jawaban dari logika sederhana, “kalau mesti beli celengan bukankah harus mengeluarkan uang, lalu apa yang nantinya akan ditabung di celengannya?”

Pedukuhan damai di sekitar kota Muntilan, dengan seribu satu sudut keindahannya tersaji sangat apik dalam alur cerita sederhana namun sangat menyentuh perasaan penonton. Hidup kembali kepada kepasrahan menjalani perjalanan hidup, inilah pesan kuat yang membuat semua orang akan terpikat oleh sensasi pengembaraan jiwa. Betapa sebenarnya sebuah kompleksitas permsalahan hidup manusia senantiasa berawal dari sebuah pijakan pemikiran yang ruwet bin rumit dan tidak membumi.

Selamat menikmati panorama Muntilan melalui sebuah film layar lebar. Tidak saja kenangan dan kesan tentang sebuah kota kecil di tepian gunung Merapi, namun Cita-cita Setinggi Tanah menghadirkan sebuah pembelajaran hidup yang sangat bermakna.

Pemain Film Cita-citaku Setinggi Tanah (CCST):

  • M Syihab Imam Mutaqqin Sebagai Agus
  • Dewi Wulandari Cahyaningrun Sebagai Sri/Mey
  • Rizqullah Maulana Daffa Sebagai jono
  • Iqbal Zuhda Irsyad Sebagai Puji
  • Agus Kuncoro Sebagai Bapak Agus
  • Nina Tamam Sebagai Ibu Agus
  • Iwuk Tamam Sebagai Nenek Agus
  • Donny Alamsyah Sebagai Pegawai restoran Padang
  • Luh Monika Sokananta Sebagai Bella (Ibu Sri)

Link artikel terkait:

http://www.antaranews.com/berita/336709/perjuangan-di-dalam-cita-citaku-setinggi-tanah

http://rollingstone.co.id/read/2012/10/02/155125/2052743/1093/cita-citaku-setinggi-tanah-film-perdana-sutradara-video-musik-eugene-panji

http://www.haloberita.com/cita-citaku-setinggi-tanah-synopsis.html#

http://www.haloberita.com/cita-cita-dari-sudut-pandang-berbeda-ccst.html

http://www.haloberita.com/gala-premier-film-cita-citaku-setinggi-tanah.html

Foto-foto diambil dari:

http://cirerare.blogspot.com/2012/10/behind-scene-film-cita-citaku-setinggi.html


13 tanggapan untuk “Muntilan dalam Layar Lebar”

  1. dari dulu suka banget klip2 karya eugine panji..biasanya unik & lain dr yang lain.. pasti garap filmnya juga unik.. penasaran nih..