MUDIK


TITIK BALIK SIKLUS KEHIDUPAN

Gambar diambil dari sini

 Setinggi-tingginya bagau terbang, akhirnya ke pelibahan juga. Begitulah petuah dalam pepatah yang pernah kita dengar. Maksudnya bahwa sejauh-jauhnya manusia merantau, pasti suatu saat ia akan kembali juga ke kampung halamannya. Mudik, dalam konteks berlebaran, ber-Hari Raya Idhul Fitri di negeri inipun, pastinya tidak terlepas dari konotasi bagau terbang tinggi yang hinggap lagi itu.

Menjelang lebaran, beribu-ribu, bahkan jutaan anak bangsa berbondong-bondong untuk mudik ke kampung halamannya masing-masing. Aliran manusia dari kota-kota pusat urban menyebar merata ke pelosok-pelosok desa dan kampung yang sebelumnya serasa mati tiada berpenghuni. Kota dengan segala modernitas dan kemajuannya, untuk sementara waktu ditinggalkan dan dilupakan untuk sebuah nostalgia masa lalu. Biaya, waktu, tenaga, bahkan jiwa dan raga rela dikorbankan demi meraih sesuatu yang “udik” dalam kegiatan mudik.

Kita tentu saja sudah sangat hafal bagaimana mudik kemudian menjadi “hajatan” negara yang rutin terjadi setiap tahun. Kementerian Perdagangan mengantisipasi kebutuhan sembako, dan harus memastikan segala sesuatunya mencukupi dan aman di hari lebaran. Mulai beras, sayur, telur, daging, hingga minyak goreng harus terpenuhi stoknya. Kementerian Pekerjaan Umum sibuk melakukan gerak cepat proyek pembangunan dan perbaikan jalan serta jembatan. Kementerian Perhubungan harus memastikan ketersediaan moda angkutan untuk melayani para pemudik. Kepolisian Lalu Lintas-pun harus tanggap mengantisipasi arus kendaraan dan manusia dengan menggelar Operasi Ketupat.

Belum lagi di sektor swasta dan nonformal. Toko, warung, pasar, supermarket, hingga supermall-pun turut memanfaatkan momentun lebaran untuk meraih untung yang sebesar-besarnya. Segala obral dan diskon dijadikan taktik untuk meraup rupiah dari para peraya lebaran. Tak kalah sibuknya perusahaan jasa angkutan, travel, dan tentu saja penyewaan kendaraan hingga biro wisata. Lebaran adalah momen untuk mendulang uang sekaligus membuang uang, sehingga segala sektor, segala bidang harus siaga penuh dalam 24 jam sehari menyambut kedatangan lebaran.

Mudik memiliki akar kata udik. Udik, mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sungai di sebelah atas (arah dekat sumber) atau (daerah) di hulu atau pangkal sungai. Sebagaimana aliran mata air atau sungai, maka udik atau hulu adalah posisi dimana mata air berasal. Di sanalah sumber kehidupan seorang anak manusia berasal. Udik adalah pangkal berpijak perjalan hidup yang masih murni, jernih, bersih tanpa kontaminasi. Dunia memang terus berdinamikan hingga mengantarkan manusia kepada suatu tempat yang semakin menjauhi titik udiknya. Dan ternyata di ujung perjalanan modernitas yang dijalani itu, manusia mencapai suatu titik jenuh sehingga ia membutuhkan momentum untuk mudik.

Hidup manusia sejatinya hanyalah sebuah siklus perjalanan yang senantiasa berulang dan berputar. Di tahun lalu kita mudik, di tahun ini kita mudik, di tahun depanpun bila umur masih panjang, tentu kita akan mudik lagi. Perjalanan dari titik udik, mengembara, menjelajah, dan terbang mengarungi samudera kehidupan, ternyata ujungnya mengantarkan manusia kepada kerinduan akan suasana keudikan juga. Segalanya berasal dari keudikan, dan akan kembali kepada keudikan lagi, back to nature! Inilah bagian dari siklus yang dikatakan sebagai inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Dalam pengertian khusus atau sempit, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un bermakna kembalinya jiwa atau ruh manusia kepada Sang Pemilik Ruh, Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah melalui pintu gerbang alam rahim. Di sanalah ruh manusia ditiupkan ke raga sang bayi, calon manusia. Ruh dan raga manunggal menjadi satu dalam diri manusia. Selanjutnya manusia dihadirkan ke alam fana lewat proses kelahiran. Kehidupanpun berjalan terus, sang bayi tumbuh menjadi bocah, remaja, dewasa, orang tua, hingga kakek atau nenek-nenek. Meskipun tidak semua orang berkesempatan menjalani semua fase usia, namun satu hal yang pasti bahwa semuanya akan mengalami kematian. Di titik inilah kembali ruh berpisah dengan raga. Ruh akan terus meneruskan perjalanan memasuki alam kubur hingga datang saatnya gerbang akhirat dibukakan.

Dalam konteks yang lebih luas dan dengan pemaknaan yang lebih bebas, mudikpun merupakan miniatur dari siklus kehidupan manusia. Manusia lahir di suatu tempat yang kemudian disebut kampung halaman. Dari tanah, air, dan kemurahan anugerah alam sekitar kampung halaman itulah manusia mendapatkan bekal awal hidupnya. Warna lingkungan di sekeliling sang manusiapun akan memberikan warna bagi pandangan dan keyakinan hidupnya. Di kampung halaman jugalah tempat handai taulan, sanak saudara, dan para leluhur tinggal, bahkan hingga meninggal. Di sanalah terbujur kuburan nenek moyang dan sanak famili terdahulu.

Tidak jarang manusia kemudian terbawa sebuah perjalanan hidup yang memaksanya berpindah-pindah tempat. Semua dijalani demi sebuah peruntungan hidup yang lebih baik. Merantau di tanah yang bukan kampung halamannya sendiri akan dijalani demi sesuap nasi. Namun sejauh manusia pergi dari kampung halamannya, akan selalu ada kenangan dan rasa kasih sayang handai taulan yang tetap tertinggal di kampung halaman, yang kemudian menjadi ikatan batin sepanjang umur di kandung badan.

Sekian lama jauh dari kampung halaman, akan hadir saat kerinduan harus dituntaskan. Seakan ingin memutar roda waktu ke masa lalu, mudik diperlukan untuk menyegarkan pikiran dari rutinitas keseharian yang semakin membebani pikiran. Mudik menjadi sebuah ritual memaknai kembali sangkan paraning dumadi diri manusia. Dari mana ia berasal, dimana ia berada, dan akan kemana tujuan hidup selanjutnya. Mudik menjadi titik balik siklus kehidupan manusia untuk mengawali tahapan kehidupan baru yang lebih baik setelah sebelumnya sang manusia menghampakan nafsu lewat  ibadah puasa, menebarkan kesejahteraan kepada sesama melalui zakat fitrah, dan dipuncaki kesucian nilai Idhul Fitri. Mudik harus menjadi momentum untuk re-introspeksi diri, revitalisasi nilai baru, serta memompakan semangat hidup baru dalam bingkai kesucian sebagaimana bayi yang baru dilahirkan kembali ke alam dunia, sebagaimana air suci di mata air yang bersih nan jernih. Inilah makna kembalinya manusia kepada kefitrian hidup. Mohon maaf lahir dan batin.

Ngisor Blimbing, 21 Agustus 2011

Dimuat di Radar Magelang

25 AGustus 2011


18 tanggapan untuk “MUDIK”

  1. aku pun akan merasakan mudik setelah kembali ke tanah kelahiran.

    saat merantau, orang mudik aku balik, orang balik aku mudik.. 😀

    Minal aidin walfaidin gan