Merti Jiwo


ARTI MERTI JIWO SEBAGAI LAMPAH HIDUP

Manusia terdiri atas dua dimensi, jiwa dan raga, atau ruh dan jasmani. Untuk mencapai keseimbangan hidup, dipersyaratkan pula kedua dimensi tersebut harus berimbang. Dan keseimbangan ruhaniah dan jasmaniah hanya bisa digapai bila keduanya memiliki tingkat kesucian tertentu. Di sinilah makna pentingnya proses pencucian atau penyucian diri, raga sekaligus jiwa.

Pencucian raga seringkali kita lakukan dengan mandi ataupun cuci tangan, cuci muka, cuci kaki dan cuci kecil yang lainnya. Adapun penyucian jiwa dilakukan dengan berbagai laku ibadah maupun olah jiwa. Adalah sebuah keharusan ketika kita akan melangkah melakukan sebuah kerja ibadah, sebuah perjalanan, ataupun sebuah hajatan, kita awali dengan proses pencucian diri. Inilah inti sari prosesi merti jiwo yang diselenggarakan dalam rangka pembukaan hajat tahunan Tlatah Bocah yang digerakkan oleh Komunitas Rumah Pelangi Muntilan, Sabtu dan Minggu, 4-5 Juni 2011 di kawasan dusun Stabelan, desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali.

Prosesi diawali dengan ziarah kubur ke makam Sunan Bagor sebagai cikal bakal dusun Stabelan. Acara berlangsung di kesenyapan senja yang hening dengan temaram sinar lembayung sang mentari yang menuju pulang. Jalan setapak dan berliku dengan tebing terjal yang longsor di beberapa bagian menjadi penghubung wilayah padukuhan dengan lokasi makam yang berada di ketinggian ereng-ereng perladangan sisi uatara kampung. Di sanalah sumare arwah sang pelindung dusun dan semua kerabat trah Stabelan yang telah bersemayam di alam baka.

Asap kemenyam dan bau harum dupa segera semerbak memenuhi areal pemakaman saat pemangku pamong alias Pak Bayan Kirman miwiti doa terpanjat kepada Sang Hakarya Jagad. Dalam inti doa disebutkan, bahwa segenap masyarakat dusun mengucapkan rasa syukur tan pepindhan atas segala kerahmatan-Nya sehingga pada peristiwa erupsi Merapi beberapa waktu lalu, semua warga selamat dan tidak ada yang menjadi bebanten. Oleh karena itu malam hari tersebut warga berkeinginan untuk menggelar malam tirakatan dan seslametan agar ketentraman warga dapat terus berlanjut hingga waktu-waktu yang akan datang.

Di sisi lain, permohonan doa kelancaran hajat juga disampaikan wabil khususon untuk acara Tlatah Bocah ke-5 yang menjadi momentum segenap warga sekawasan Merapi untuk gumregah, bangkit menyongsong hari depan yang lebih cerah. Wayah gumregah, saat kebangkitan dari keterpurukan terhadap nasib dan cobaan sebagai “efek samping” erupsi Merapi. Doa keselamatan dipanjatkan agar serangkaian acara yang telah tersusun dan diagendakan dalam kurun 4 Juni – 17 Juli 2011 dapat berlangsung rancag kalis ing samudaya sambekala.

Acara malam tirakat berlangsung semarak karena dihadiri oleh segenap sesepuh, pinisepuh dan kasepuhan, seluruh pemuka agama dan pamong praja, serta seluruh pemuda dan remaja sedusun. Selain inti acara selamatan, malam itupun digelar acara sarasehan budaya yang mengangkat tema tentang Merapi dan Keberagaman tingkat lokal, dengan nara sumber Mbah Walji dari Forum Persatuan Umat Beriman dan Mas Ribut dari KPU Boyolali.

Dari diskusi terangkat fakta tentang keberagaman dari sudut pandang warga Stabelan. Bagaimana corak dan kekhasan seni jathilan wetan nggunung dan kulon nggunung sempat membuka wacana awal. Semangat guyub, rukun, kebersamaan dan gotong royong juga diulas cukup mendalam dengan berbagai sudut pandang peserta sarasehan. Mas Muji, salah satu warga berpendapat, bahwa dalam lingkup dusun yang kecil, seperti Stabelanpun, selalu terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dan pandangan. Di sinilah peran penting dari pranata sosial yang terus terpelihara dengan kebijaksanaan dan pengaruh kepemimpinan Pak Bayan, mampu menjadi jembatan silang pendapat yang terjadi. Segala perselisihan dimusyawarahkan bersama untuk mendapatkan pemecahan masalah. Demikian halnya semangat kegotong-royongan masih ngrembaka di setiap dada warga dusun. Sebagai misal, ada salah satu warga yang akan membangun rumah, maka hanya dengan sekedar getok tular, tanpa harus meminta bantuan satu per satu ke rumah warga, pasti akan dibantu. Yang memiliki waktu luang di pagi hari, ya membantu di waktu pagi. Demikian halnya yang memiliki waktu luang di sore hari, ya membantu kala sore. Hal ini sudah menjadi sebuah kesepakatan sosial dan satu kewajaran.

Stabelan sebagai areal subur di lereng Merapi tentu sangat akrab dengan tata among tani. Hampir semua warga Stabelan menggantungkan mata pencahariannya dari pertanian. Maka malam itupun diskusi juga mengangkat isu pertanian lokal. Mas Ribut sengaja memancing keributan tentang unsur hara yang diperlukan untuk menyusun kesuburan tanah. “Di jaman dulu, para simbah mengajarkan agar apabila kita memakan daging ayam, maka tulangnya tidak boleh dimakan dan harus dipendam dalam tanah. Manusia sekarang bayangkan! Balung itu tidak hanya diklamuti, tetapi diklethak dan disesep-sesep sungsumnya hingga hancur lebur. Padahal ternyata, dalam tulang itu sebenarnya terkandung unsur Ca ataupun Na yang menyusun hara tanah. Para simbah itu memberikan weling itu ternyata telah mempertimbangkan tata keseimbangan alam, dalam hal ini kesuburan tanah”, demikian wacana Mas Ribut.

Dari masalah kesuburan tanah, diskusi juga merembet ke masalah pembibitan. Betapa petani sekarang tidak lagi berdaya, bahkan merdeka untuk mbibit bibit-nya sendiri. Semua terjadi sebagai akibat budaya instan dan serba praktis. Para pengusaha penyedia bibitpun melakukan rekayasa untuk menghasilkan varietas yang tidak menghasilkan biji, bahkan bunga sekalipun. Akibatnya adalah ketergantungan petani akan produk bibit instan dari pabrikan. Kapan petani kita akan mendiri? Siapa yang bersalah? Tentu tidak mudah untuk menemukan jawabannya.

Inti dari sarasehan yang ngalor-ngidul itu bahwa keberagaman adalah sebuah perbedaan yang dirasakan sebagai sebuah keindahan. Perbedaan hadir sebagai sebuah pelengkap dan kelengkapan hidup satu sama lain diantara sesama hidup. Keberagaman atau pluralisme adalah penerimaan perbedaan sebagai realitas dan kenyataan hidup. Dengan demikian, agar keberagaman itu maujud menjadi sebuah keindahan, kata kunci yang tidak boleh ditinggalkan adalah toleransi. Sikap saling menghargai, tepo slira satu sama lain, serta sifat saling asah, saling asih, dan saling asuh harus terus dipupuk dan dipelihara.

Sarasehan ditutup dengan doa dan kembul bujono sego gurih lawuh ingkung sebagai pralambang permohonan agar hidup lebih manis untuk dijalani. Doa sekaligus sebagai permohoan izin apabila dalam rangkaian hajatan Tlatah Bocah nantinya memerlukan ataupun membuat gangguan banyu sak cawuk, godhong sak suwek, canggal sak ciklek, suket sak rawut, diberikan maaf dan ampunan agar tidak mengubah tata keseimbanga alam.

Tengah malam adalah momen sawang-suwung ing awang-uwung. Saat hening dengan isi satu kekosongan. Saat yang sangat kontemplatif untuk mendengarkan kesunyian. Titik nol kejiwaan! Inilah saat yang paling tepat untuk nabuh bendhe sebagai pratanda akan digelarnya hajatan ageng Tlatah Bocah Wayah Gumregah. Sebuah tarian eksploratif mengantarkan hadirin menikmati kesunyian puncak malam. Hitamnya kegelapan dan kemilaunya bintang di angkasa, menjadi saksi teralunnya kidung kinasih kekasih Maha Kasih. Doa lintas iman terucap dalam balutan syair kekidungan yang menghanyutkan jiwa untuk senantiasa tunduk manembah kepada Yang Maha Kuasa.

Lingser wengi dimanfaatkan para pelaku lampah untuk mengistirahatkan sejenak jiwa dan raga dalam pelukan mimpi malam yang sepenggal. Wayah jago kluruk sepisanan, para pelaku lampah berjajar membariskan diri untuk laku raga, menjalani jalan mendaki menuju puncak Merapi sebagai simbol puncak kehidupan dimana biduk hidup akan berlabuh. Situs Pusung Malang itulah titik tujuan yang hendak dicapai.

Dengan rasa dingin penusuk tulang yang berubah menjadi aliran peluh di sekujur badan, para pelaku lampah menyusuri jalan setapak nan terjal dengan tebing tinggi di sisi kiri dan kanannya. Semak belukar dan hamparan perdu, serta serakan pepohonan yang tumbang tidak menyurutkan langkah. Segala rintangan dan tantangan hidup harus ditembus untuk mencapai puncak cita-cita. Dua jam berjalan merayap, tibalah para pelaku lampah di Pusung Malang.

Sejengkal di atas Pusung Malang digelarlah eksplorasi tari Sajian Alam. Alunan hening seruling dan dentuman bunyi bendhe menghantarkan setiap makhluk untuk berkembara sejenak dalam keheningan. Di tengah keheningan itulah jiwa manusia bertegur sapa dengan jiwa alam. Betapa kemudian menusia sangat kerdil di hadapan alam. Betapa manusia tidak memiliki sesuatu apapun untuk dibanggakan dan disombongkan di muka alam, terlebih lagi di haribaan Tuhan seru sekalian alam.

Alam adalah sahabat manusia. Alam adalah landasan kehidupan. Antara Allah-Aku-Alam adalah satu kesatuan segitiga cinta prasayarat hidup. Maka menjadi tugas manusia untuk memangku alam, hidup harmonis dalam tata kelola dan tata keseimbangan alamiahnya alam. Merapi adalah alam kami. Merapi adalah inspirasi kami. Merapi adalah jiwa kami. Merapi adalah anugerah Ilahi. Merapi, jiwamu abadi di dalam keabadian jiwa kami! Merapi, jiwamu, jiwaku, jiwa kita menyatu dalam berkah Ilahi. Merti jiwo, bersih jiwamu, bersih jiwaku!

 

Gajah Mada, 6 Juni 2011


6 tanggapan untuk “Merti Jiwo”