Mengapa dengan Desa Buku Kyai Langgeng?


Buku adalah jendela dunia! Semua orang tentu tahu dan paham rumusan bijaksana itu. Tetapi apakah semua orang yang tahu dengan nasehat bijak itu kemudian menjadi pembaca buku yang baik, dalam artian rutin membaca? Nanti dulu! Jawabannya sepertinya tidak terlalu berkesesuaian, dan bahkan tidak terlalu menggembirakan jika tidak boleh dibilang sangat memprihatinkan.

Berbicara tentang para tokoh ilmu pengetahuan, tokoh agama, tokoh sejarah, politik, ekonomi, filsafat, dan sembarang serba tokoh manusia, sepertinya sebagian besar dari mereka adalah para kutu buku. Tak ketinggalan para pendiri bangsa dan negara Indonesia inipun para cerdik pandai yang ditempa salah satunya melalui buku dan bahan bacaan yang lain. Dr Wahidin, dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantara, Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Muhammad Yamin, dan lain-lain adalah para penggelut buku. Sudah pasti para tokoh sastrawan kita dari angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, ’45, ’66, hingga modern saat ini, rata-ratapun penggemar buku. Buku memang inspirasi tiada henti. Buku adalah pengubah sejarah hidup!

Kesadaran demikian, nampaknya sangat dipahami oleh pemerintah sebagai penanggung jawab langsung keberlangsungan peradaban manusia. Maka jangan heran bila Pemprov DKI Jakarta sangat getol menyelenggarakan event tahunan Pesta Buku bersamaan dengan HUT Jakarta. Lebih strategis lagi pameran dan bazar buku akbar ini diselenggarakan bersamaan dengan liburan kenaikan kelas. Inilah surga bagi para pemburu buku. sudah dapat dipastikan ramai pengunjung dan berjubel.

Lain Jakarta, memang lain Magelang. Kota Harapan yang tidak lagi lantang meneriakkan harapannya ini sangat sepi dari even berbau buku, apalagi kesusasteraan. Sangat jarang terdengar ada pameran buku di kota Tidar. Buku hanyalah kebutuhan anak sekolah, itupun terbatas kepada buku mata pelajaran. Buku masih menjadi barang yang sangat jauh dari skala kebutuhan masyarakat. Ini bisa jadi sebagai suatu indikator rendahnya minat baca di kalangan warga Magelang. Sampeyan kurang percaya? Silakan mampir ke perpustakaan pemerintah kota yang rata-rata sepi dari pengunjung. Suasana yang sama bahkan terjadi di perpustakan sekolah-sekolah.

Memang perpustakaan tidak hanya menjadi domain pemerintah saja. Banyak kalangan warga, ataupun organisasi kemasyarakatan yang intensif menggalang buku pustaka. Bahkan di tepian gunung Sumbing ada perpustakaan warga Sambak di Kajoran, warga Ngampon di Kaliangkrik, dan di Merapi ada Rumah Pelangi. Wong ndeso yang notabene warga udik malah memiliki tekad untuk bergelut dengan buku. Bagaimana dengan suasana pustaka di kota Magelang? Ironis!


Dulu, ya sudah menjadi dulu sekali bahkan! Sempat sayup terdengar ada Desa Buku di Taman Kiai Langgeng. Bahkan saya mengetahuinyapun dari pemberitaan di sebuah stasiun televisi. Konon katanya, pihak manajemen taman kota itu sangat komitmen untuk membangkitkan minat baca di kalangan pengunjung, lebih khusus lagi ya warga Magelang sendiri.

Desa Buku berlokasi tepat di tengah areal Taman Kiai Langgeng, menghadap ke tepian lembah Kali Progo yang semribit, suilir dan mak nyeeees. Suasana yang adem ayem ini diharapkan bisa menkondisikan para pembaca lebih khusuk dan khidmat dalam menikmati barisan huruf, kata dan kalimat yang tercepak dalam lembar demi lembar buku yang tersaji di dalamnya. Harapannya tentu apa yang dibaca bisa lebih mudah dipahami dengan konsentrasi dan relaksasi jiwa yang berimbang. Semua memang menjadi angan dan keindahan pikiran yang sangat menakjubkan. Namun bagaimana wajah Desa Buku Kyai Langgeng kini?

Dalam dua tahun terakhir setidaknya setiap tahun saya menyempatkan angon Ponang ke Kyai Langgeng. Nah iseng punya iseng pasti menengok pesanggrahan yang diberi label Desa Buku itu. Tapi apa daya kasih tak sampai, nggak pernah tuh menemukan apa yang dulu disebut-sebut sebagai Desa Buku itu!

Yang ada hanyalah patung lelaki yang kaku memegang lampu didampingi simbok wedok dan kedua anak laki dan perempuan. Memang si anak perempuan masih terlihat memangku sebuah buku dengan didampingi adik lelakinya, dan nampaknya mereka memang masih sedang membaca. Spirit awal mereka adalah spirit haus pengetahuan sehingga buku adalah pelepas dahaga. Buku adalah secercah pelita dalam kegelapan malam. Buku ya itu tadi, jendela dunia!

Duren yo duren, roti yo roti! Mbiyen yo mbiyen, saiki yo saiki! Dulu ya masa lalu, sekarang ya….beginilah! Cita-cita, semangat dan krentek ati untuk membangun Desa Buku itu telah padam. Lebih nrenyuhke lagi bila sampeyan terus menelusuri tanjakan dan turun tepat di sisi tepi Kali Progo pada sebuah bangunan bertingkat yang konon menjadi tempat bersemayamnya buku-buku di masa lalu itu! Ya…..bangunan itu selalu tertutup dan tidak pernah dibuka. Mana mungkin ada pengunjungnya! Sebuah hal yang mustahil memang!

Saya sendiri jadi berpikir cubriya, gekgek dulu yang punya kerso buat mendirikan Desa Buku ini hanya sekedar ngrapal jargon promosi tok apa ya? Kan kalo sebuah kompani mencitrakan diri berpihak pada langkah-langkah yang seolah memberikan manfaat bagi rakyat akan mendapatkan pengalembana dari warga, dan bukankah itu promosi gratis bin murah. Weeiiit…….weiiit……nuwun sewu, kok saya malah jadi ngelantur. Semoga pikiran saya saja yang salah!

Tetapi bisa jadi juga memang ada kendala. Lha sudah menjadi tradisi kebiasaan manusia Indonesia juga yang memegang semangat itu ya hangat-hangat tahi ayam je! Semua yang serba baru dikagumi, disubyosubyo seolah roda dunia tidak akan berputar. Namun bila kemudian memang roda waktu berjalan, ternyata semangat untuk melakukan kebaikan itu yang turut pula luntur terkikis jaman. Awalnya memang sedikit demi sedikit, namun lama kelamaan ya benar-benar habis!

Di sisi lain, keberadaan Desa Buku yang ndelik di tengah taman justru mungkin malah menjauhkan dari komunitas warga sekitarnya. Semestinya konsep awal tentang subyek utama yang menjadi sasaran pembaca buku di Desa Buku adalah warga asli sekitar yang mendayagunakan Desa Buku sebagai perpustakaan berbasis komunitas. Nah nek kalau mau masuk Desa Buku harus lewat loket dan beli karcis ya sudah pasti nggak ada warga sekitar yang turut menikmati buku. Kan tidak mungkin warga setiap hari, atau apes-apesnya seminggu sekali beli karcis untuk mengunjungi Desa Buku kan?

Apakah mungkin wisatawan yang dari luar kota, yang jauh-jauh menyempatkan waktu untuk mengenal Magelang kober untuk menghabiskan waktu hanya sekedar mampir Desa Buku? Mereka tentunya lebih memilih untuk menikmati wahana wisata yang ada to? Keberadaan Desa Buku yang jauh dari akses warga nampaknya menjadi pemicu matinya Desa Buku itu sendiri.

Lain halnya bila keberadaan Desa Buku justru ditempatkan di pinggiran jalan Cempaka. Setidaknya bangunan perpustakaannya bisa dirancang memiliki dua muka, sisi luar dan sisi dalam. Muka sisi dalam dijadikan akses para wisatawan yang berminat mengunjungi Desa Buku, sedangkan muka sisi luar dijadikan pintu masuk warga sekitar ataupun anggota perpustakaan yang rutin berkunjung dan meminjam buku.

Bila Kyai Langgeng telah berhasil menerbangkan cita-cita wong cilik yang ingin naik pesawat terbang, jika taman kota itu dilengkapi dengan fasilitas permainan modern dan mahal semisal halilintar atau bahkan tornado, semoga masih ada harapan bangkitnya Desa Buku di Taman Kyai Langgeng!

Dimuat di Radar Magelang, 14 Juli 2011

 

Ngisor Blimbing, 10 Juli 2011


9 tanggapan untuk “Mengapa dengan Desa Buku Kyai Langgeng?”

  1. ada apa dengan desa buku taman kyai langgeng,
    masuk pun belum pernah, sekarang tutup teruss..
    saya kira waktu itu tutup karena pengelola sedang tidak di tempat, lha kok jebul ndak buka2..

    fungsi perpustakaan di kota Magelang cukup terpenuhi dengan keberadaan UPT Perpustakaan di balai pelajar itu, sayang terlalu kecil dan sepertinya pengelola terlalu sibuk untuk mengatur buku, jadi agak sulit mencari buku tertentu di sana.

  2. Dari dulu sejak peresmian ….itu namanya kuburan buku….anggaran fantastis….pembangunannya sangat mahal….ternyata betul mubazir…