Magelang Menjelang Terang


Magelang memang masih tergolong kota sedang. Magelang masih menyimpan sebagian ruh dan jiwa kendesoannya. Naungan rindang, serta sejuk tiupan udara dari pucuk pinus di lereng Gunung Tidar, menjadikan Magelang belum sepenuhnya mengkota. Memang Magelang belum total dalam totalitasnya untuk menjadi sebuah kota. Inilah yang menyebabkan Magelang masih mengenal siklus siang dan malam, masih menganut bangun dan tidur. Bangun di siang hari, dan tertidur lelap di malam harinya. Inilah ciri khas kehidupan karang padesan yang masih melekat erat bagi kota Magelang.

Dalam hal gemerlap dan gempitanya sebuah kota, maupun dari sisi dinamika dan dinamisasi kehidupan warga kotanya, Magelang jelas masih jauh tertinggal dibandingkan Solo, Jogja, Semarang, apalagi Jakarta! Namun inilah realita sebuah pemerintahan kota yang menyandang sebagai Kota Harapan, hidup, asri, rapi, aman dan nyaman. Sebuah motto kota yang pernah ditorehkan oleh Bagus Panuntun, sang walikota di akhir dasa warsa 80-an.

Mengikuti nafas sebuah kota jasa, Magelang memang menjadi pusat kegiatan perdagangan, pendidikan, pariwisata, bahkan transportasi dan perhubungan. Namun jujur harus dikatakan bahwa kegiatan tersebut lebih dominan terjadi dalam rentang  jam kerja normal, dari pagi hingga sore, dan sedikit menjelang malam. Selebihnya, di malam hari boleh dikatakan kota ini terlelap dalam tidur dan mimpi indahnya.

Di pagi buta menjelang fajar, geliat aktivitas warga mulai terlihat bahkan sejak jago kluruk pertama dikumandangkan oleh si jago merah. Para pedagang dan bakul sayuran mulai sibuk di pasar induk. Tukang ojek dan abang penarik becakpun satu dua mulai menawarkan jasanya. Menikmati sebuah perjalanan di keremangan pagi buta, barangkali menjadi sebuah momentum peristiwa yang teramat langka dilakukan. Namun saya termasuk manusia beruntung yang pernah menjalankan “laku ritual” tersebut.

Alkisah dari negeri wiracarita, pagi di malam purnama itu sebuah bus antar kota telah mengantarkan saya pulang dari Kota Kembang. Tiba di Bhumi Tidar pukul 04.00 dinihari memunculkan ide untuk berjalan menyusuri kota yang baru menggeliat dari tidur pada naungannya di kaki Tidar. Tekad ini sangat kuat, dan inilah yang menguatkan kaki untuk mengawali langkah dari pertigaan New Armada.

Berjalan ke utara menyusuri trotoar jalanan, pertama kali menjumpai sekumpulan tukang ojek dan abang becak yang masih terlelap berbalut kain sarung pelindung dari hawa dingin. Saya sangat pekewuh kalau mau ngojek harus terlebih dahulu membangunkan sang pengendara kuda besi tersebut. Beberapa kali jendela kamera sempat mengambil kegelapan gambar di seputar pintu gerbang selatan kota ini.

Sedikit naik ke utara, saya lewati tugu kampung Magersari yang dengan setia senantiasa memagari Gunung Tidar. Di seberang jalan, nampak pula gapura kampung Trunan yang memang berposisi pada turunan jalan utama. Beberapa kantor dinas dan badan sebagai bagian dari penggerak roda pemerintahan, masih membisu dalam kelengangan udara yang tidak bergerak, tidak berbisik sedikitpun.

Menyusuri tanggul tepian Kali “Selokan” Magelang, nampak seseorang berdiri mematung, diam seribu bahasa dengan joran panjang di tangan kanannya. Rupanya si bapak sedang mengharap rejeki dari mata pancing di ujung tali senar yang tersambung ke jorannya. Seakan tiada menghiraukan langkah kaki saya yang panjang dan sedikit cepat, ia tetap sabar dalam laku diamnya. Saya mulai paham, bapak ini pasti seornag sufi sejati yang menganut kepercayaan bahwa ono dino ono upo. Ada hari ada rejeki, tentu saja asal ia mau berikhtiar.

Selanjutnya tiba di lampu merah ujung Jalan Sudirman, sebuah becak terparkir diam tepat di bawah lampu bangjo. Dan…..masya Allah, di samping kiri becak, tepat di pangkal sebuah pohon mahoni, sebuah bungkusan plastik tergeletak kaku. Welha dalah, jagad dewo batoro! Saya kira seonggok mayat korban sebuah tragedi hukum rimba dimana manusia harus memangsa sesamanya! Ternyata bungkusan plastik tersebut kembang kempis mengambil nafas berirama sangat tenang. Dia si abang becak yang tengah beristirahat sembari mencoba peruntungan barangkali ada calon penumpang yang membangunkannya dan memerlukan jasanya.


Terus menyusuri tepian “Selokan” Magelang di Jalan Sudirman yang berseberangan dengan Jalan Iklas, seorang abang becak dan seorang rekan lainnya tengah sibuk menggotong ember besar dan kemudian…….mak sor….sor……sor, membuang limbah dan sampah sisa sebuah warung malam ke dalam batang sungai. Duh Gusti, paringono margi leres dan maafkanlah ulah sedulur saya tersebut. Inilah contoh pekerti manusia yang tidak bertanggung jawab dan merusak lingkungan.

Jalan masih tetap sepi dan lengang, hanya satu dua kendaraan memecah sepi dan melintas pelan penuh kemalasan. Kawasan Shoping centre masih lelap meski terdengar irama indah ayunan tukang sapu dengan seragam khasnya. Sejurusan kemudian, ke dua kaki saya menapaki jalanan Pecinan yang sebenarnya merupakan Jalan Pemuda. Di sinilah pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan Magelang biasa digelar. Di sini terdapat ratusan kios dan toko, mulai toko pakaian, kelontong, besi dan bangunan, buku dan alat kantor, perhiasan, peralatan elektronik, warnet wartel, hingga perlengkapan bayi dan orang meninggal. Semua tersedia lengkap…kap…kap!

Tepat di ujung Pecinan, berdiri anggun sebuah klenteng sebagai simbol eksistensi para pemeluk Khong Hu Chu di kota Getuk ini. Dan setelah kurang lebih 45 menit mengayunkan kaki, tibalah saya di sebuah pelataran agung tepat di pusat kota. Di sinilah panjering sekawan keblat gangsal pancer Bhumi Tidar berada. Ringin tengah masih muram dan suram, meskipun berdiri tegak penuh wibawa dengan keanggunan aura mistisnya. Di sini pulalah Bala Tidar sering kungkum lebur khusuk dalam laku tirakat Hamemayu Hayuning Bawono.


Sejurus berselang terngiang alunan adzan dari Masjid Agung. Hmmmm….rupanya Subuh telah datang dan sang fajar jelas akan segera menjelang. Bergegas saya mampir untuk sekedar menunaikan jejibahan kepada Kang Murbeng Dumadi. Selepas mengamini doa sang imam setelah selesai sembahyang, Mbah Herman dengan penuh ramah menyapa saya dan nanjehke kabar saya yang menurutnya sudah agak lama tidak mampir di Mesjid Agung. Sepatah dua patah kata, kamipun terhanyut dalam obrolan ngalor ngidul dengan sumringahnya. Inilah hidangan teristimewa yang menghangatkan suasana pagi yang sedikit temaram oleh mendung di langit kota.


Berbelok di tikungan “kompor” kota, saya mengiringi langkah dua orang ibu yang nampaknya sudah rapi dan berjalan ringan penuh tekad dan semangat. Di gerbang gereja, bayangan mereka berduapun lenyap di telan gapura gereja. Saya rasa merekalah sedikit diantara golongan orang yang taat menjalankan agamanya untuk bersembahyang.

Kweekshcool, sekolah Kristen, BNI, Dinas Pertanian dan PDAM mengarahkan langkah saya tiba di Jalan Pahlawan. Dalam suasana pagi buta yang mendung tersebut semakin bertambah gelap karena memang lampu penerangan jalan tidak banyak yang masih berfungsi, kebanyakan diantaranya sudah koit alias serno margo layu.


Pinggiran mBoton, SD 4&5, SMP 1, SD 6&7, SMK Wisata, Kinjeng Net, SMP2 dan Perpustakaan Daerah dengan ringan saya lalui. Tibalah raga ini di Taman Badakan. Tiada penerangan satupun yang memancarkan keindahan sebuah taman di pagi buta. Beberapa anak sudah tiba dan mulai berebut ayunan satu sama lain. Mungkin karena suasana liburan, hingga sepagi ini ada anak bermain di taman.

Akhirnya Kebun nDalem saya lintasi. Toko Yap, rumah Ibu Suzanna, bakso mulus, bahkan Klinik Narko masih menutup rapat pintunya masing-masing. Gapuro UNTID berdiri menggigil bisu di tepian jalan. Dan Secaba……aha, saya temukan tulisan yang agak ganjil!

Puji Tuhan dan ngalkamdulillah, saya tiba di Ndalem Peniten dengan selamat sentausa tanpa kekurangan satu apapun! Inilah kisah langka yang saya sendiri tidak tahu kapan akan mengulangnya kembali. Titik New Armada hingga nDalemkaul, bukan kajat, apalagi sebuah nadzar. Ini hanyalah perjalanan biasa dari manusia biasa yang mulai terbiasa untuk membiasakan diri berpikir sebagai orang biasa, berkata biasa, berlaku biasa, tanpa perlu menjadi orang yang luar biasa! Peniten saya tempuh dengan perjalanan “kapal” di kaki dalam waktu kurang lebih satu setengah jam. Perjalanan ini jelas berbeda dengan kisah Musa dan ummatnya yang menyeberang Laut Merah menghindari kejaran Raja Fir’aun. Inipun jelas tidak bisa disamakan dengan riwayat hijranya Kanjeng Nabi Muhammad. Ini bukan

Ndalem Peniten, 26 Juni 2010


20 tanggapan untuk “Magelang Menjelang Terang”

  1. sangat bagus dongengnya, seakan ikut perjalanan panjenengan menyusuri jalanan Kota Magelang pagi hari. tapi yang membuat saya geli sampai tertawa terbahak adalah foto papan nama SECABA RINDAM IV, PUSAT KULAKAN HANDPHONE DAN KOMPUTER. SECABA kok nyambi kulakan… hahaha. Ayo berburu foto2 ganjil lagi.

  2. Aku paling terpesona dengan papan SECABA – Pusat Kulakan Handphone & Komputer. Kok sangar tenan, bisnis anyar ki sajake….