Liburan Anak Kampung


Libur tlah tiba!……..libur tlah tiba! Hatiku gembira! Demikian sepenggal bait kegembiraan seorang bocah yang menyambut kedatangan hari libur sekolah. Penggalan bait tersebut merupakan bagian dari sebuah lagu ciptaan A.T. Machmud yang dibawakan dengan sangat ceria oleh Tasya. Masa liburan sekolah memang sangat mengasyikkan. Setelah sekian lama berkutat dengan bangku sekolah dengan segala rutinitas pembelajaran di dalam kelas, masa liburan sekolah menjadi embun penyejuk sekaligus pelepas dahaga bagi anak-anak.
Di masa masih bersekolah SD dulu, saya masih menangi (mengalami) jaman sistem catur wulan. Satu tahun pelajaran dibagi menjadi tiga catur wulan, yaitu catur wulan I, II dan ke III. Di setiap akhir catur wulan, dilaksanakanlah THB (Tes Hasil Belajar). Selesai THB, siswa masih masuk selama satu minggu dimana pada hari Sabtunya dilaksanakan pembagian rapot (maksudnya report, laporan) hasil belajar. Nah minggu berikutnya itulah masa liburan sekolah. Untuk liburan catur wulan I dan II, memang hanya terbatas libur satu minggu. Akan tetapi saat liburan unggah-unggahan, alias kenaikan kelas di masa akhir catur wulan III, sekolah diliburkan selama lima minggu atau 35 hari……horo to kono! Hebat kan?
Libur unggah-unggahan memang sangat menyenangkan. Bagi anak-anak yang jauh dari rumah nenek atau kakek, di masa inilah muncul tradisi “berlibur di rumah nenek atau kakek”. Bagi saya sendiri dikarenakan rumah kakek-nenek dari Bapak tinggal sekampung, sedangkan rumah biyung tuwo (nenek dari Ibu) juga tinggal hanya di desa sebelah, maka tidak begitu nyata legenda “berlibur di rumah nenek” itu bagi saya. Liburan sekolah ya nggak kemana-kemana, bahkan liburan seringkali dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan Bapak di sawah. Namanya juga bocah dusun.
Bagi seorang bocah dusun, tidak libur sekolahpun sepulang dari sekolah masih harus membantu pekerjaan di rumah maupun di sawah. Terlebih waktu liburan, justru para bocah sedari pagi hingga siang, bahkan senja, diberdayakan membantu nyawah atau negal. Anak dulu memang sangat lain dengan anak jaman sekarang. Membantu pekerjaan orang tua, baik ngarit, matun, nggusahi emprit, ngusung lemi, wur mbako atau lombok dan pekerjaan lain adalah hal yang sudah menjadi suatu kewajaran. Anak jaman dulu merasa memiliki kewajiban untuk turut membantu, syukur-syukur dapat meringankan beban pekerjaan kedua orang tuanya. Hal ini dilakukan karena seorang bocah merasa harus turut mituhu alias berbakti sebagai bentuk kewajiban anak terhadap kedua orang tuanya. Rasa menurut, patuh, dan berbakti itu diwujudkan antara lain dengan turut membantu penggawean di sawah atau tegalan itulah!
Lalu jika para bocah bekerja nyawah ataupun negal, apakah tidak bertentangan dengan HAM untuk anak? Wong ndeso memang tidak pernah neko-neko dalam berpikir. Mungkin memang mereka tidak paham dengan terminologi HAM anak. Namun saya yakin, di kedalaman hati nurani para orang tua di masa lalu sangat sadar bahwa pemaksaan suatu beban kerja terhadap anak-anak adalah sesuatu hal yang ora ilok alias tidak boleh dilakukan. Hanya saja para bocah diperbantukannya nyambut gawe di sawah itu adalah justru tindakan dalam rangka mendidik anak-anak mereka. Melalui aktivitas kebersamaan keluarga dalam menanggung beban rumah tangga bersama-sama, akan menumbuhkan rasa guyub, saling tolong menolong dan kerukunan diantara sesama anggota keluarga, dan tentu saja menanamkan jiwa kemandirian dan semangat suka bekerja keras. Dengan lain kata, waktu kerja bersama-sama itu akan menumbuhkan persatuan, kesatuan, dan kesentosaan sebuah keluarga.

Para bocah di masa liburan memang banyak menghabiskan waktunya untuk membantu kegiatan orang tua, namun bukan berarti bahwa mereka kehilangan waktu untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Di kala sore hingga petang, anak-anak masih bisa bermain bola, gobak sodor, jilumpetan, jet-jetan, tong-tongan, benthik, dir-diran (main kelereng), jirak (main karet) dan masih banyak aneka permainan yang tidak saja hanya dimainkan di waktu liburan. Hanya saja hal yang mungkin lebih seru adalah bermain bersama di bawah siraman bulan purnama. Karena keesokan harinya, anak-anak tidak memiliki tanggungan pergi sekolah, maka kami dapat bermain sepuasnya hingga larut tengah malam.
Bahkan yang lebih seru lagi adalah ikut-ikutan nyuluh. Nyuluh merupakan aktivitas mencari ikan, belut, ataupun sekedar yuyu (kepiting) dengan menyusuri sungai-sungai di malam hari. Untuk menerangi kegiatan tersebut tentu saja di jaman itu belum ada lampu senter ataupun elektrik yang praktis seperti sekarang ini. Di masa itu alat penerangan yang dipergunakan adalah lampu petromak. Yang agak lebih “canggih” digunaka lampu karbit dengan pancaran cahaya yang lebih terang. Dengan nylempang pedang atau golok di pinggang, para bocah berjalan berbaris mengikuti orang-orang dewasa di barisan depan. Para bocah merasa lebih dewasa bak serombongan pendekar yang tengah babad alas mencari wahyu makutarama.
Nah satu hal kisah unik terkait preinan unggah-unggahan di sekitar kelas 5 dulu. Kebetulan sebelum libur, Pak Guru pernah menugaskan kami untuk membuat karangan tentang masa liburan yang kami lalui untuk kemudian dikumpulkan pada saat masuk pertama kali di tahun ajaran yang baru. Karena cerita-cerita liburan yang ada di buku bacaan waktu itu berkisar kisah “berlibur di rumah nenek” kami berpikiran bahwa kisah yang seru harus berisi pengalaman bepergian ke luar dari desa tempat tinggal kami. Nah, bingungnya karena simbah dan biyung tuwo, keduanya tinggal sekampung. Terus kepiye dong, mau pergi kemana? Di masa itu diajak Bapak ke Muntilan saja hampir tidak pernah terjadi, bahkan di masa liburan. Maka betapa bingungnya saya, dan juga kawan-kawan saya yang lainnya.
Kebetulan di masa liburan itu terdengar kabar angin adanya macan yang turun gunung dari gunung Merapi. Konon katanya macan belang tersebut nyasar di dusun Ngepos dan nyemplung ke dalam sumur salah seorang warga. Maka, saya dan teman-teman kemudian berencana untuk menengok sumur tersebut. Dusun Ngepos merupakan dusun di lereng Merapi tempat keberadaan Pos Pengamatan Gunung Merapi di atas dusun kami. Jarak yang memisahkan dusun kami dan Ngepos kurang lebih empat kilometer. Di masa itu jelas masih sangat langka angkutan umum, ditambah kamipun tidak umum alias jarang naik colt atau oplet-oplet yang hanya biasa digunakan para bakul sayuran di pasar.
Akhirnya kami nekat mau lari marathon di siang hari. Di suatu siang selepas Dzuhur, kami memulai lari marathon dari dusun kami. Dengan incak-incik kaki kami yang kepanasan oleh permukaan aspal yang terterpa terik sinar matahari, karena kami memang lari nyeker dan tidak bersepatu. Sampai di TKP tempat si macan belang nyemplung sumur ternyata kami hanya mendapati sumur kosong. Kami tidak tahu apakah macannya sudah diambil dan diamankan, ataukah memang kabar angin itu tidak benar. Namun kami merasa lega telah mendapatkan bahan cerita untuk karangan kami. Dan yang lebih luar biasa, waktu itu kami bisa kuat lari marathon 8 kilometer pulang-pergi, tanpa sangu wedang ataupun uang jajan. Nggak terbayangkan apakah sekarang masih kuat lari marathon jarak jauh seperti masih anak-anak tersebut. Liburan memang sangat menyenangkan! Kapan lagi dapat liburan panjang ya?

Ngisor Blimbing, 10 Juni 2012


10 tanggapan untuk “Liburan Anak Kampung”

  1. kisah liburan di jaman kecil dulu gak jauh beda mas, liburan sekolah banyak di habiskan di sawah dan tegalan… 🙂

  2. Mainan zaman kita dulu sangat edukatif. Selain melatih perkembangan fisik motorik juga sosial psikologis anak. Kalau sekarang mainannya merusak mata, otak dan kehidupan sosial anak… 🙁