Legenda Kota Magelang


Babad Bhumi Kedu (2)

Ditulis oleh: Dorothea Rosa Herliany

Ada beberapa akronim yang berakitan dengan nama Magelang. Namun, jika dikaitkan dengan kota Magelang, barangkali versi inilah yang paling banyak dipercaya sebagai legenda terjadinya kota Magelang. Ceritanya demikian.

Kisahnya bermula pada zaman Kerajaan Pajang sewaktu pemerintahan dipegang oleh Sultan Hadiwijaya. Saat itu Sultan Hadiwijaya sedang berselisih dengan Arya Penangsang. Perselisihan keduanya tidak dapat dilerai bahkan semakin hebat saja. Akhirnya, tumpahlah peperangan yang banyak memakan korban demikian banyaknya. Sultan Hadiwijaya kemudian menyuruh Danang Sutawijaya, anak angkatnya, serta Ki Gede Pemanahan untuk menghadapi Arya Penangsang.

Namun sebelum itu, Sultan Hadiwijaya berpesan, “Ananda Sutawijaya, sebelum kamu berangkat, dengarkanlah baik-baik pesanku. Jika kamu berperang nanti, hindarilah air karena air itu akan membawa sial bagimu. Karena itu, janganlah kamu menyeberangi sungai, telaga atau semua yang berair. Jika hal itu kamu langgar, kamu akan gagal menghadapi lawan. Sekarang pergilah dan bawalah pusaka tombak Kiai Plered ini.”

Dengan perasaan mantap, Danang Sutawijaya berangkat sebagai senopati perang dengan Ki Gede Pemanahan sebagai pendampingnya. Keduanya dengan gigih segera bertempur melawan pasukan bala tentara Arya Penangsang. Segala jurus siasat perang dikerahkan. Akhirnya, Arya Penangsang yang congkak dan tinggi hati itu pun berhasil ditikam dengan tombak Kiai Plered oleh Sutawijaya.

Demi mendengar kemenangan ini, betapa gembira hati Sultan Hadiwijaya. Baginda lalu memberikan hadiah berupa sebuah tanah di hutan Mentaok kepada Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Oleh keduanya daerah ini kemudian dibuka dan dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Mataram. Nama Sutawijaya kemudian berubah menjadi Panembahan Senopati. Di kemudian hari, kerajaan ini menjadi kerajaan yang besar, kuat dan termasyur.

Pada suatu hari, Panembahan Senopati mengemukakan keinginannya untuk memperluas daerah kekuasaan hingga ke luar wilayah Mataram. Namun, sebelum hal itu dilaksanakan, selama berbulan-bulan terlebih dahulu beliau melatih bala tentara kerajaan agar kuat jika kelak menghadapi musuh. Akhirnya, diputuskan Panembahan Senopati hendak membuka daerah di hutan Kedu. Daerah Kedu sebenarnya termasuk wilayah yang angker. Tak ada orang yang berani masuk ke dalamnya. Konon hutan ini dihuni sejumlah jin dengan seorang rajanya yang bernama Raja Jin Sepanjang.

Panembahan Senopati kemudian menunjuk Pangeran Puboyo sebagai senopati perang. Konon pangeran ini sangat sakti dan mampu terbang tanpa sayap. Sebagai pendampingnya ditunjuk Raden Kuning dan Raden Krincing yang masih terhitung saudara dengan Pangeran Purboyo serta Tumenggung Mertoyudo dan Tumenggung Singoranu.

Singkat cerita, bala tentara Mataram sampailah di hutan Kedu dan segera membuka hutan tersebut. sejumlah jin yang menghuni hutan itu kalang kabut dengan kehadiran pasukan Mataram. Maka Raja Jin pun menjadi murka. Akhirnya, perang hebatpun tak terhindarkan lagi.

Pasukan Mataram yang gagah berani maju pantang mundur melawan pasukan dari kerajaan jin. Akhirnya, Matarampun berhasil mencapai kemenangan. Para penghuni hutan Kedu, termasuk Raja Jin Sepanjang lari tunggang langgang. Mereka ketakutan karena pasukan Mataram terus saja mengejar. Sebagian besar dari mereka akhirnya bisa ditumpas oleh pasukan Mataram. Namun, Raja Jin Sepanjang berhasil lolos. Ia kemudian bersumpah, akan membalaskan kematian rakyatnya itu.

Sementara itu, Raden Kuning masih terus mengejar sisa-sisa pasukan musuh. Dalam pengekajarannya, sampailah ia di sebuah desa yang tampak aman dan damai. Tanpa disangka-sangka, ia bertemu dengan seorang putri yang cantik rupawan. Putri Rambat namanya. Ia adalah anak Kiai Kramat dan Nyai Bogem. Raden Kuning terpikat hatinya. Maka tanpa mengulur waktu lagi, ia segera meminang sang putri. Sungguh gembira hati Kiai Kramat dan Nyai Bogem mendengar putrinya hendak diperistri seorang pangeran dari Mataram. Maka dilangsungkanlah pesta perkawinan yang meriah.

Saat pesta itu berlangsung, nun di kejauhan terlihat Raja Jin Sepanjang sedang duduk tepekur merenungi nasibnya di bawah sebuah pohon yang rindang. Demi dilihatnya ada keramaian, ia segera datang dan segera muncullah akal liciknya, sekaligus hendak melaksanakan sumpahnya. Raja Jin itu lalu mengubah diri menjadi manusia biasa dan mengenalkan diri dengan nama Sonta.

Si Sonta ini kemudian datang pada Kiai Kramat sambil menyatakan keinginannya untuk mengabdi. Tanpa curiga sedikitpun, Kiai Krmat menerima kedatangan Sonta dengan baik. Nah, dari rumah inilah Sonta alias Raja Jin Sepanjang itu mulai melancarkan aksi dendamnya. Tanpa sepengetahuan siapapun, ia menyebarkan wabah penyakit. Karen ahal itu, banyak penduduk desa yang mendadak sakit lalu meninggal dunia. Di tempat itu juga bayak pasukan Mataram yang tinggal. Mereka pun satu per satu juga sakit, lalu meninggal. Kabar buruk itu akhirnya sampai juga ke telingan Pangeran Purboyo. Ia lalu bergegas pergi ke Mataram melaporkan kejadian itu kepada Panembahan Senopati. Setelah mendengar laporan itu, Panembahan Senopati kemudian meminta bantuan pada Nyai Roro Kidul, ratu yang menghuni Laut Hindia Selatan. Nyai Roro Kidul kemudian memberi tahu bahwa penyebab semua malapetaka itu adalah seorang bernama Sonta.

Segera Pangeran Purboyo kemudian menemui Kiai Kramat di Kedu. Kiai Kramat nampak sangat berang dan marah kepada Sonta. Mengetahui penyamarannya terungkap, Sonta segera lari jauh. Kiai Kramat pun lalu mengejarnya. Kejar-mengejar berlangsung seru sampai akhirnya terjadi perang di antara keduanya. Tentu saja Sonta yang merupakan jelmaan Raja Jin itu tak bisa dengan mudah ditundukkan. Bahkan Sonta, hamba yang patuh itu dengan tega berani membunuh Kiai Kramat. Mengetahui suaminya terbunuh, Nyai Bogem bermaksud menuntut balas. Pertarungan diantara keduanyapun terjadi. Sekali lagi, Sonta berhasil menghabisi nyawa bekas tuannya itu. Atas perintah Pangeran Purboyo, Tumenggung Mertoyudo kemudian maju bertarung melawan Sonta. Namun, memang Sonta sungguh tangguh. Tumenggung Mertoyudo pun terbunuh.

Begitulah satu demi satu Sonta membunuh siapa saja yang berani melawannya. Raden Krincing yang mengetahui kejadian itu hatinya ikut terbakar juga. Maka segera berangkatlah ia mengejar Sonta. Namun, memang Sonta sungguh sakti. Senopati Mataram yang tangguh itupun berhasil dihabisinya.

Mengetahu peristiwa demi peristiwa yang terjadi, Pangeran Purboyo sendiri bermaksud menghadapi Sonta.

Namun ia tak ingin gegabah. Ia persiapkan pasukannya baik-baik. Siasatpun diatur. Pasukan Mataram yang hendak meringkus Sonta mengepun jelmaan jin itu dengan rapat. Setelah ia tak dapat melarikan diri lagi, Pangeran Purboyo lalu menggelar perang tanding habis-habisan dengan Sonta. Sonta pun tewas. Namun, begitu ia tergeletak, tubuhnya berubah menjadi Jin Sepanjang lagi. Sekali lagi terjadi perang sengit antara Pangeran Purboyo dan Jin Sepanjang. Perang tanding kali ini sungguh hebat. Namun, akhirnya Raja Jin itu bisa ditakhlukkan. Ia mati di tangan Pangeran Purboyo. Namun, sesudah itu mendadak hutan Kedu diliputi awan hitam yang pekat. Hari menjadi gelap gulita. Dan setelah terang kembali, mayat Raja Jin itu sudah lenyap. Dan yang tinggal adalah sebuah tombak panjang yang bertuah dan sakti. Tombak itupun dikuburkan di tempat itu juga. Lalu Pangeran Purboyo berpesan, “Siapa yang bertapa di sini dan dapat merentangkan tangannya pada kuburan ini, maka keinginannya akan terkabul.”

Demikianlah akhir hidup si Raja Jin.

 

Kesimpulan

Cerita ini tergolong legenda. Masyarakat Magelang menganggap semua kejadian itu benar-benar ada. Untuk mengenang jasa-jasa mereka yang mempertaruhkan nyawanya melawan Raja Jin itu, maka sampai sekarang nama-nama mereka diabadikan sebagai nama-nama desa di Magelang. Tempat Kiai Kramat terbunuh dan tempat ia dikubur sekarang dinamai desa Kramat. Begitu pula tempat Nyai Bogem tewas dan tempat ia dikuburkan dinamai desa Bogeman. Tempat Tumenggung Mertoyudo terbunuh dan mayatnya dikuburkan dinamai desa Mertoyudan. Begitu pula tempat terjadinya peristiwa pertarungan antara Sonta dan Raden Krincing kini dinamai desa Krincing.

Namun Magelang sendiri diambil dari kata “tepung gelang”(bahasa Jawa) yang artinya mengepung sapat seperti gelang atau menggelang. Itu merupakan peringatan dari peristiwa saat Sonta dikepung rapat-rapat oleh pasukan Mataram.


17 tanggapan untuk “Legenda Kota Magelang”

  1. Saya selaku putra Magelang senang dengan artikel tsb karena menambah wawasan kpd kami generasi penerus.Benar/salah hanya Alloh SWT yg maha tahu.Karena semua kebenaran datangnya dari Alloh SWT.

    • betul, namanya legenda atau dongeng lebih baik fokus kepada pesan moralnya daripada soal kebenaran fakta sejarahnya dan memang kita bukan sedang belajar ilmiah to?

  2. Megelang=======> pegel pegel isoh ilang ( pegal-pegal kalau berkunjung ke magelang jadi hilang pegelnya )

  3. Ternyata magelang punya cerita seperti itu,,terimakasih sudah menambah wawasan saya

  4. Saya menunggu cerita tentang kerajaan magelang ( Kerajaan Magelung) yang hilang di telan jaman dan tentunya Ulasan kerajaan Dahyeng

    Salam GETHUK

  5. Saya sangat senang membacanya … Jadi tahu sejarah kota Magelang, dan seharusnya generasi mudanya harus memahami asal usul kotanya, bukan hanya sebagai cerita ke anak cucu tapi dapat menambah wawasan kita, dan pengetahuan ini memang wajib dikenalkan, masa orang Magelang nggak tahu asal usul kotanya, iya kan