Kopdar Kedu: Dari Kopi Hingga Candi


Kedu adalah salah satu nama wilayah di Kabupaten Temanggung. Meskipun kini hanya menjadi sebuah wilayah administrasi kepemerintahan tingkat kecamatan, Kedu dulunya mewakili hamparan wilayah tengah Jawa Tengah. Masih ingat dengan nama Karesidenan atau ex-Karesidenan Kedu? Wilayah ini meliputi Kabupaten dan Kota Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten Kebumen.

Kopdar Kedu

Sebagai daerah kawasan penghasil tembakau nomor wahid, Kedu juga lebih dikenal dengan ayam cemaninya. Ya, jenis ayam yang mulai dari bulu, kulit, cakar, jengger, dan sebagian besar bagian tubuhnya berwarna hitam kelam. Konon ayam jenis ini lebih banyak diburu untuk keperluan-keperluan super khusus yang hanya dilakoni oleh orang-orang khusus pula.

Bicara tentang jagad perbloggeran dan bicara tentang Kedu, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari dua sosok blogger kawakan suami-istri ini. Ya, ada Kang Dobelden dan Emo Cemani. Meskipun dua-duanya berdomisili di tanah yang bukan lagi menjadi wilayah Magelang, namun kedua-duanya justru pernah memberikan warna yang sangat kental bagi sejarah perjalanan Komunitas Blogger Pendekar Tidar di Magelang.

Kembali ke pembicaraan soal Kedu, selain menyebut dua nama blogger di atas Kedu juga pernah menorehkan diri sebagai saksi terselenggaranya kopdar akbar di paruh akhir tahun 2009. Pasca redanya pemberitaan besar mengenai penangkapan tokoh teroris yang dilalui dengan drama pengepungan yang sangat melelahkan dan berakhir dengan kematian, Kedu menjadi tempat berkumpulnya Balatidar pada momentum Syawalan. Kopdar kali itu memang bertajuk Halal bil halal yang berbonus wisata menapaki jejak penangkapan sang teroris.

Guna mengenang jejak dan tapak sejarah kompaknya Balatidar dalam memegang prinsip Paseduluran Tanpa Batas, kesempatan masa Lebaran ini saya sempat-sempat untuk kembali berkunjung ke Kedu. Di samping melepas kangen dengan sedulur blogger seiman dan seislam maupun sebangsa dan setanah air, misi utama kopdar kali ini juga dalam rangka mempertautkan para bocah blogger generasi masa depan yang sudah mulai muncul. Ada Radya si Ponang, si Noni Nadya, Duo Profesor Azzam wa Umar, serta Fazzas.

Kopdar Kedu2

Dengan izin Allah SWT, di hari Sabtu 11 Syawal 1437 H yang lalu keluarga kami diperjalankan menapaki bhumi Kedu kembali. Siapa sangka rencana awal perjalanan menuju Sumowono dan Gedong Songo, justru berakhir di Kedu. Sungguh kembali terngiang dan terkenang di angan peristiwa rekatnya paseduluran di halal bil halal lebih dari 7 tahun silam.

Selain bertukar kabar dan cerita selama pengembaraan kami masing-masing, pertemuan kami terasa sangat istimewa dengan suguhan istimewa yang kini sedang booming di wilayah Sindoro-Sumbing. Ya, apalagi kalau bukan kopi temanggungan? Siang yang semakin beranjak terik itu menghadirkan hawa panas yang kian mendera.

Di tengah suasana panas, pertemuan kami dihangatkan dengan seduhan kopi arabica dan robusta dengan cara yang sangat unik melalui sentuhan racikan tangan Kang Dobelden. Bahkan untuk keperluan menyeduh kopi guna mendapatkan cita rasa yang khas, ia merancang sebuah teko unik dengan desain salurang angsa setebal kabel data. Air mendidih yang telah dimasak, dituang perlahan nan pelan melalui mulut teko yang super mini. Penuangan airnyapun tidak sekaligus secangkir penuh, namun dilakukan secara bertahap dengan masing-masing tahapan diselingi jeda menutup mulut cangkir beberapa saat. Konon saat jeda tersebut terjadi reaksi kimia organis yang menghasilkan aroma khas. Barulah setelah tahap kedua, toping kopi diselesaikan dan didapatkan kopi secangkir penuh.

Sebagai orang yang ala kadarnya minum kopi, saya tidak begitu paham dengan penjelasan ngalor-ngidul mengenai prosesi ngopi yang kami lakukan siang itu. Dari dua cangkir kopi yang tersaji, setidaknya saya hanya bisa membedakan kopi yang satu lebih pahit dan satunya sedikit lebih hambar. Kopi yang satu sedikit lebih kecut, yang satunya lebih netral. Lebih daripada itu, terus terang saya tidak paham.

Jagongan siang bertambah regeng dengan kedatangan si Lisin. Ia juga Balatidar asal lereng Sumbing yang kini jsutru domisili di Joho, titik perbatasan antara Kedu-Parakan. Iapun siang itu membawa Fazzas, anak sulungnya yang nampak bertubuh bongsor dibandingkan usianya.

Candi Pringapus2  Candi Pringapus3

Candi Pringapus

Kopdar ngobrol ngalor-ngidul tentu saja lebih bertambah asyik dan afdzol jika dilengkapi dengan acara jalan-jalan. Pilihan kami siang itu adalah mengunjungi beberapa situs candi ternama di sekitar wilayah Kedu. Dengan berkendar roda dua, kamipun menyusuri jalanan beraspal yang mengubungkan Kedu arah Jumo. Terus mengikuti jalanan utama, kamipun tiba di seputaran pasar Ngadirejo. Nah dari sinilah perjalanan kami mulai menanjak menuju arah mata air Umbul Jumprit di kaki Sindoro.

Pringapus adalah situs candi yang pertama kali kami kunjungi. Candi bernuansa khas Hindhu ini tergolong mungil dan hanya seukuran sebuah candi perwara atau pelengkap candi induk. Bangunan batu yang ramping dengan satu relung pintu candi pada satu terap teras candi membentuk satu relung ruang tepat di tengah bangunan candi. Di relung ruang yang tidak begitu luas itu bersemayam sebuah patung sapi sebagai perwujudan lembu Andini, sang sapi kahyangan tunggangan setiap Batara Guru.

Menjelajah situs candi di Temanggung tidaklah lengkap tanpa menyebut nama Situs Liyangan. Situs yang baru ditemukan beberapa tahun silam itu diyakini merupakan bekas peninggalan peradaban Mataram Kuno yang terbesar di sela Sumbing-Sindoro. Melalui ketidaksengajaan aktivitas penggalian beberapa penambang pasir, beberapa bagian pondasi candi terungkap. Maka semenjak saat itu dimulailah upaya konservasi dan penggalian untuk mendapatkan gambaran bentuk bangunan candi yang lebih itu. Namun nampaknya sisa-sisa bebatuan bagian candi hingga saat ini masih terlampau sedikit yang bisa terkumpul dan teridentifikasi. Butuh usaha sangat keras untuk dapat mengetahui gambaran utuh bangunan candi yang banyak diantaranya memang sudah runtuh.

Candi Liyangan4

Candi Liyangan2  Candi Liyangan3

Candi Liyangan

Akhirnya seiring dengan tergelincirnya matahari di ufuk barat, perjumpaan kopdar syawalan dan jelajah candi kami berakhir. Meskipun sedikit menyayangkan tidak banyaknya teman Balatidar yang bisa turut menikmati pertemuan kami tetapi seolah dalam diri kami tetap terpatri tekad untuk tetap dan terus meneruskan benih-benih tali persaudaraan yang telah tumbuh sekian lama. Semoga di lain kesempatan lebih banyak sedulurku semua yang bisa bersama-sama menikmati kebahagiaan.

Lor Kedhaton, 24 Juli 2016