Hijrah Kontekstual


HIJRAH DARI BANGSA MUNAFIK

Peristiwa hijrah Nabi Muhammad terjadi pada tahun ke 10 kenabian. Kampung halaman, sanak saudara, handai taulan,  bahkan harta benda tercinta harus ditinggalkan. Ibarat orang yang akan bepergian sangat jauh, tidak ada bekal apapun yang dibawa. Hanya nyawa di kandung badan menyertai kepindahan ke tanah nan jauh di mata.

Tidak hanya ketiadaan bekal di perjalanan, bahkan untuk meninggalkan Mekkah, kaum musliminpun harus bersembunyi dan berkejaran dengan pasukan Quraisy. Perjalanan panjang nan sepi di tengah gurun pasir yang panas dan tandus hanya ditempuh dengan kaki dan onta, jiwa raga mereka jelas terancam. Di lain pihak kehidupan di tanah tujuan belum diketahui kepastian masa depannya. Apakah tindakan kaum muslimin ini suatu kebodohan semata?

Di sinilah ujian yang sangat berat bagi kaum Muhajirin. Namun segala penderitaan dan cobaan itu seakan tidak ada artinya sama sekali karena mereka telah dibekali keimanan  dan ketaqwaan. Ini juga menunjukkan ketaatan mereka kepada Nabi dan kitab suci. Apapun penderitaan atas nama Allah hanya akan menjadi bunga penghias bagi jalan suci menuju surga-Nya.

Hijrah bukanlah semata-mata perintah dan kehendak Nabi Muhammad. Hijrah adalah perintah wahyu yang diturunkan melalui Jibril. Jauh di masa awal dakwah Muhammad, beberapa peristiwa hijrah telah terjadi. Satu diantaranya hijrahnya dua belas orang sahabat untuk mendapatkan perlindungan keamanan kepada Raja Negus di Ethiopia yang dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib.

Dakwah Islam yang menegaskan risalah ketauhidan Allah senantiasa ditentang oleh kaum kafir di Mekkah. Mereka ingin senantiasa mempertahankan tradisi nenek moyang yang menyembah banyak Tuhan. Latta, Uza, Manad, dan Hubbal adalah sebagian diantara berhala yang mereka sembah. Lebih dari masalah kepercayaan, sesungguhnya kepercayaan kepada berhala telah menjadi alat bagi segelintir elit suku untuk mengekalkan pengaruh dan kekuasaan ekonomi, sosial dan politiknya.

Masa dakwah selama 10 tahun di Mekkah adalah masa yang amat berat bagi kaum muslimin. Sepeninggal Khatijah sang istri setia, yang disusul tak lama berselang dengan wafatnya Abu Thalib, perlindungan terhadap keselamatan Nabi tidak ada lagi. Di tengah situasi itulah perintah hijrah turun.

Hijrah sesungguhnya bukan semata-mata peristiwa kepindahan dari Mekkah menuju Yasrib, yang kemudian hari dikenal sebagai Madinah. Makna hijrah secara lebih dalam adalah kepindahan dari dunia gelap kepada dunia terang, minadzulumati ilannuur. Meninggalkan kebatilan menuju kepada kebenaran, dari jaman jahiliyah menuju jaman pencerahan. Berpindah dari kesuraman hidup menuju masa depan yang lebih baik.

Banyak kesempatan dan peluang yang kemudian terbuka lebar setelah Nabi bermukim di Madinah. Sambutan baik dari kaum Anshor yang kemudian saling dipersaudarakan dengan kaum Muhajirin, terbukti mampu meluaskan dan memuluskan jalan untuk melebarkan sayap dakwah Islam. Islam bahkan mampu menjadi syariat yang melandasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dengan tercetusnya Piagam Madinah.

Piagam Madinah merupakan konstitusi negara tertulis yang pertama ada di dunia. Piagam Madinah sesungguhnya merupakan pengejawantahan benih demokrasi karena disusun oleh perwakilan dari segenap warga negara. Masyarakat dengan sistem demokrasi yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah Nabi  inilah yang disebut sebagai masyarakat madaniyah. Hal ini menjadikan Madinah menjadi negeri madani yang memberikan jaminan hukum secara adil kepada setiap warganya, tanpa memandang asal-usul, suku, bahkan agama. Tidak hanya muslim, kaum Nasrani dan Yahudi juga memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.

Bukan berarti bahwa dengan hijrah tantangan dakwah untuk menebarkan kebenaran dan mengikis kebatilan menjadi sirna. Tantangan Nabi di Medinah ternyata lebih berat. Di Mekkah, kaum muslimin berhadapan langsung dengan kaum kafir Quraisy. Di Madinah muncul beberapa kelompok yang merasa kehilangan posisi strategisnya, kemudian menjadi kelompok munafik. Kelompok ini diprovokasi oleh pemuka Anshor yang bernama Abdullah bin Ubay.

Kaum munafik merupakan musuh di dalam selimut. Di depan seolah-olah bersatu-padu, namun di belakang mengadu domba sesama saudara muslim. Mereka selalu menggunting dalam lipatan, bermain api seraya menikam dari belakang dan selalu merongrong perjuangan kaum muslimin. Kebohongan, keingkaran, dan pengkhianatan adalah taktik untuk menebarkan keresahan. Segala cara dan upaya dihalalkan guna menggapai kekuasaan dan keuntungan ekonomi untuk diri sendiri.

Berkaca dari keadaan Madinah, nampaknya negeri kita juga mengalami keadaan yang serupa. Indonesia memang negara yang setiap warganya memeluk suatu agama. Namun bila dilihat bagaimana kacau dan ruwetnya kehidupan berbangsa dan bernegara kita mulai dari korupsi, nepotisme, dan kolusi seakan sudah kronis menggerogoti sendi-sendi kehidupan. Hukum tidak lagi berpihak kepada kebenaran. Hukum sudah terbeli oleh para mafia hukum. Apakah ini cermin negara yang setiap warganya beragama? Mengapa ini semua bisa terjadi?

Setiap agama apapun di dunia mengharamkan pencurian, perampokan, pembunuhan, kolusi, korupsi, dan segala tindakan lain yang berakibat merugikan kepentingan masyarakat dan negara. Bila setiap warga negara kita taat dan patuh terhadap ajaran agamanya masing-masing, pastilah tidak ada lagi korupsi, tidak ada lagi mafia peradilan, dan tidak akan ada fitnah bertebaran di berbagai media kita.

Bila dilihat dari sisi agama, nampaknya negeri ini terlalu banyak memiliki orang-orang munafik. Orang munafik tahu benar mana kebenaran dan mana kebatilan, namun mereka tidak mau menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan. Bahkan kaum munafiklah pengamal sejati segala tindak yang merugikan kepentingan umum. Kebohongan, keingkaran, pengkhiatan, fitnah keji adalah senjata orang munafik. Lihat saja bagaimana di negeri ini orang menggadaikan sumpah suci untuk berkedok di balik sifat kemunafikannya.

Tidak bisa tidak, bila negeri ini ingin bangkit dari kegelapan jaman dan dari kejahiliyahan modern, maka setiap warga negara harus konsisten kepada nilai ajaran agamanya masing-masing. Langkah hijrah dari kemunafikan menuju kepada kejujuran harus menjadi satu-satunya pedoman hidup. Hanya dengan sifat amanah dan bimbingan Tuhan kita akan meraih masa depan yang lebih baik.

Kampung Kosong, 17 Desember 2009


13 tanggapan untuk “Hijrah Kontekstual”

  1. Wah mososk aku petromax 2x ki piye….. 😀

    Sampeyan hijrah ke magelang kapan? Opo malah wis tekan magelang?
    .-= Artikel terakhir nahdhi: Cah Magelang Lalu-Lalang =-.