Globalisasi Informasi di Tepi Merapi


WarnetBendan1Desa, oleh sebagian orang mungkin diidentikkan dengan ketertinggalan jaman. Terlebih desa yang berada di lereng gunung yang terletak di pedalaman hutan rimba raya. “Cedhak watu, nanging adoh ratu”, dekat batu tetapi jauh dari ratu, demikian ungkapan dari para sesepuh. Ratu biasanya tinggal di istana yang terletak di kotaraja. Ibu kota kerajaan adalah sebuah kota yang lebih maju peradaban, serta sarana prasarana pendukungnya. Sedangkan watu atau batu adalah simbol kesatuan atau kedekatan dengan keperawanan alam. Sebuah penggambaran wilayah pedesaan yang belum tersentuh sepenuhnya dengan kemajuan jaman.

Ungkapan orang Jawa cedhak ratu nanging adoh ratu itu sejatinya adalah aktualisasi sikap andhap asor atau kerendahan hati mereka yang selalu merasa masih harus senantiasa belajar kepada alam tentang makna hidup yang sesungguhnya. Desa mawa cara, negara mawa tata, desa dan kota memiliki nilai hidup dan tradisinya masing-masing. Kota memang identik dengan keberadaan kaum terpelajar, sedangkan desa lebih didominasi dengan kaum yang hanya pas-pasan mengenyam manisnya bangku pendidikan. Desa menjadi simbol tradisionlisme, sedangkan kota identik dengan modernisme. Hal ini tanpa maksud mendikotomikan sama sekali akan keberadaan desa dan kota. Tetapi bahwa ada berpedaan antara desa dan kota, itu sudah pasti!

Lain dulu, tentu saja lain sekarang. Duren ya duren, roti ya roti. Mbiyen ya mbiyen, saiki ya saiki. Alam kemerdekaan telah mengantarkan pemerataan pembangunan yang semakin menghilangkan kesenjangan desa dan kota. Khususnya di wilayah pedesaan Jawa Tengah, di masa kepemimpinan Gubernur Muhammad Ismail yang lebih suka disebut sebagai “lurahing Jateng” pada tahun 80-an bahkan sempat didengungkan “modernisasi desa”. Desa harus mampu menempatkan diri sebagai subyek utama pembangunan, bukan lagi sekedar menjadi obyek atau sasaran pembangunan semata. Hal ini sesungguhnya merupakan sebuah penerapan otonomisasi desa menuju desa yang mandiri dan maju.

Di era 80-an, sumber informasi bagi penduduk desa yang paling dominan mungkin hanya radio. Itupun masih terbatas dengan siaran dari RRI, RSPD, atau beberapa stasiun swasta yang masih bisa dihitung dengan jari. Sedikit lebih maju, hadirlah siaran TVRI yang mengisi acara di tv yang kala itu masih terbatas dimiliki beberapa keluarga yang berada. Alhasil, nonton tv adalah sebuah ritual kebersamaan bagi masyarakat desa. Itupun hanya acara-acara hiburan, seperti kethoprak atau Aneka Ria Safari yang menjadi favorit. Acara berita? Jangan tanya, biasanya langsung dimatikan demi menghemat setrum aki sebagai catu daya utama sebelum hadirnya program Listrik Masuk Desa.

WarnetBendan3

Di samping radio dan tv, beberapa titik desa memang sudah terjangkau jaringan kabel telepon. Hanya golongan orang kaya saja yang mampu memiliki telepon rumahan. Kebutuhan komunikasi jarak jauh untuk umum kemudian terlayani dengan berkembangnya warung telekomunikasi atau yang lebih dikenal sebagai wartel.

Terbatasnya arus informasi yang masuk desa tentu saja menjadikan desa lebih statis dan lamban mengalami perubahan. Kegiatan masyarakat masih didominasi dengan aktivitas agraris yang justru mendekatkan mereka dalam dekapan karamahtamahan alam yang asri. Hidup tenang, damai, tanpa keinginan yang neko-neko atau macem-macem. Alam telah cukup memberikan keberkahannya, baik lahir maupun batin.

Roda jaman memang terus berputar. Adalah sebuah sunatullah, jika kemudian jamanpun mengalami perubahan. Tidak hanya di kota, perubahan itupun menyentuh keheningan alam desa. Dinamika perkembangan dunia informasi dengan segala sarana dan prasarananya juga telah memasuki desa. Meskipun hand phone alias phone cell, beberapa dekade lalu masih menjadi barang yang langka dan mahal, namun kini hampir setiap orang di pelosok desa sudah sangat karib dengan peralatan komunikasi tersebut. Bahkan para simbah di desa-desa sudah fasih bercerita tentang kiriman ms (red. sms) dari anaknya yang berada di perantauan. Akses komunikasi dengan hand phone ini pelan namun pasti menggusur keberadaan wartel.

Tidak berselang lama, dunia komunikasi booming dengan pesatnya kemajuan dunia internet. Akses jaringan internet semakin meluas hingga sampai ke pelosok gunung. Awalnya layanan internet masih terbatas di pinggiran kota-kota kecil melalui layanan warung internet (warnet) yang juga mempercepat kelangkaan adanya wartel. Warnet menjadi sebuah sarana akses informasi yang sangat terjangkau untuk kebutuhan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat umum.

Kini warnet tidak hanya hadir di kota-kota. Warnetpun telah memasuki pelosok desa. Tidak ketinggalan kawasan pedesaan yang berada di selingkaran tepi gunung Merapi. Di beberapa wilayah, seperti Kecamatan Srumbung, Dukun dan Sawangan dapat dengan mudah dijumpai adanya warnet di beberapa titik jalur strategis. Salah satu warnet yang hadir di titik teratas lereng Merapi sisi barat adalah warnet yang ada di Dusun Bendan, Desa Ngargosoka, Kecamatan Srumbung yang hanya berjarak sekitar 9 km dari puncak Merapi.

WarnetBendan2

Warnet yang dikelola orang pengusaha muda setempat ini seolah menjadi oase di padang tandus untuk kebutuhan akses informasi dan komunikasi yang kini semakin menjadi kebutuhan setiap orang. Warnet menjadi “jujugan” para pelajar yang ingin mencari informasi di dunia maya berkaitan dengan tugas-tugas yang diberikan dari sekolahnya. Warnet menjadi kelengkapan pembelajaran bidang studi teknologi informatika yang telah banyak diajarkan sebagai mata pelajaran muatan lokal di banyak sekolah.

Warnet telah membawa desa memasuki babak baru era keterbukaan informasi yang membawa desa meninggalkan keterpencilannya. Kesenjangan desa dan kota dalam hal sarana dan prasarana untuk akses informasi dan komunikasi menjadi semakin tipis. Desa akan menjadi semakin dinamis dan maju. Desa tidak bisa lagi dipandang sebagai ketertinggalan jaman dan segala hal keterbelakangan.

Jagad internet memang penuh dengan content yang beraneka ragam, ada yang bersifat positif namun banyak pula yang bersifat negatif. Melalui internet, kita dapat mengakses informasi mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan, berita, termasuk media sosial. Namun internet juga menyimpan potensi bahaya content pornografi dan pornoaksi, bahkan beragam modus penipuan. Dengan demikian edukasi terhadap masyarakat, terlebih masyarakat desa yang masih awam, perlu dilakukan untuk lebih mendayagunakan internet dengan optimalisasi potensi positifnya.

Internet masuk desa dengan penetrasi jaringan warnetnya, semoga bisa membawa kemajuan bagi desa dalam artian mampu meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan warga sebagai bekal perjalanan hidup yang semakin syarat dengan tantangan dan mampu memperkuat kelestarian tradisi dan budaya alam desa. Arus globalisasi informasi merupakan peluang untuk lebih menggali dan memperkuat jati diri anak bangsa. Hanya dengan kesadaran ini, kita mampu menghadapi jaman edan yang semakin menjadi ini.

Lor Kedhaton, 3 Juli 2013


2 tanggapan untuk “Globalisasi Informasi di Tepi Merapi”

  1. Kesenjangan yang besar antara perkotaan dan pedesaan dikhawatirkan terjadi jika pertumbuhan ekonomi tidak merata. Atas dasar hal tersebut, DPR meminta agar pembangunan ekonomi juga diarahkan ke desa.

  2. Keren sekali…. dulu saya juga ingin memiliki kampung blogger… sayang memang untuk memulainya diperlukan perjuangan yang amat besar. Yang pertama yang dilihat ya Internetnya dulu… hebat MAgelang eeeuuuyyy