Ekspedisi Kali Putih


Memasuki awal tahun 2011 Kali Putih menjadi tenar dan fenomenal, bukan saja skala lokal terlebih lagi skala nasional. Awal tahun yang bersamaan dengan puncak musim hujan dengan curah air yang paling tinggi menjadikan Kali Putih menjadi saluran utama material vulkanik dari puncak Merapi yang konon lebih dari 150 juta m3. Bila puncak Merapi hujan, sudah hampir dapat dipastikan akan terjadi banjir lahar dingin. Ujung-ujungnya adalah terputusnya jalur perhubungan darat Jogja – Magelang di dusun Gempol, desa Jumoyo. Dan berita inilah yang sering menghiasi running text di teve dan bahkan menjadi headline beberapa surat kabar terkemuka.

Kali Putih bagi saya adalah sebuah kebesaran alam yang dianugerahkan Tuhan. Bagaimanapun jarak dari Ndalem Kronggahan, kampung halaman saya, dengan Kali Putih tidak lebih dari 2 km. Kali itulah yang membentang dan membelah wilayah kecamatan Srumbung menjadi bagian barat(utara) dan timur(selatan). Kenapa tanda kurungnya jadi aneh? Menurut konvensi mayoritas warga di lereng Merapi, ditinjau dari wilayah Srumbung, Merapi terletak di sebelah utara dan Kali Putih membujur dari utara ke selatan.

Kecamatan Srumbung berpusat di desa Srumbung, tepat di tepian Kali Putih. Srumbung bagi kami adalah pusat pemerintahan karena kantor kecamatan ada di sana, pusat ekonomi karena adanya pasar, kesehatan dengan Puskesmas-nya, sekaligus pusat pendidikan dengan beberapa sekolah menengah pertamanya. Dengan demikian tidak sedikit aktivitas warga yang bersinggungan dengan ibukota kecamatan. Dari sisi kami di wilayah barat, maka bila harus ke Srumbung mau tidak mau pasti melintasi Kali Putih. Oleh karena itu, Kali Putih adalah bagian dari kehidupan kami sehari-hari.

Ada beberapa perlintasan penyeberangan Kali Putih di wilayah kami. Mulai dari jembatan Ngepos, cekdam Grogolan, Papringan, Soropadan, dan Jamblangan. Dari sekian perlintasan tersebut, yang berujud jembatan hanyalah jembatan Ngepos. Sedangkan yang lain hanyalah jalanan terjal di kedua belah sisi sungai yang melintas langsung hingga dasar aliran sungai. Meskipun demikian, dengan perlintasan yang lebar, kendaraan roda empat hingga ukuran trukpun bisa melintas dengan aman.

Sebagai putera asli tepi Merapi, tidaklah mengherankan bila saya bisa menyebutkan titik demi titik tempat di tepian Kali Putih. Mulai dari hulu mata air di Kandang Macan, Jurangjero, Njengglik, Salam Sari, Ngepos, Grogolan, Cabe, Papringan, Soropadan, Jamblangan Wetan, Ngelogentho, Kemburan, Gempol, Seloboro, Nabin, Salakan, Sirahan, hingga Ndruju.

Di masa lalu Kali Putih sudah tenar sebagai alur lahar dingin dari Merapi. Demikian para simbah lan siwo mengisahkan tentang letusan di jaman Belanda sekitar tahun 1930-an. Tanggul dan perpil di tepian Kali Putih banyak yang dadal sehingga lahar melanda berbagai dusun.

Dam Soropadan

Pada sekitar tahun 80-an Merapi meningkat aktivitasnya. Memang tidak ada letusan dahsyat sekelas 2004, apalagi 2010 kemarin. Erupsi seringkali terjadi dalam skala kecil atau sekedar lelehan semata. Namun demikian tumpukan material vulkanik di puncak gunung sering longsor bila terkena hujan, dan menimbulkan banjir lahar dingin. Memang skalanya tidak meruntuhkan tanggul dan perpil, tetapi sudah pasti Kali Putih tidak dapat diseberangi, kecuali di perlintasan jembatan Ngepos dan Jumoyo.

Bila Kali Putih banjir, aktivitas warga sudah pasti terganggu, terutama anak sekolah. Di jaman itu, sekolah setingkat SLTP di wilayah kami yang terdekat ya hanya SMP di kecamatan. Ada SMP Muhammadiyah, SMP Trisula, dan menyusul SMP Negeri. Dengan demikian lulusan SD di wilayah kami mayoritas melanjutkan studi di kota kecamatan.

Apabila Kali Putih banjir, para pelajar sudah pasti tidak dapat berbuat sesuatu. Bila banjir terjadi di pagi hari, sudah pasti anak-anak tidak bisa berangkat ke sekolah. Sebaliknya bila banjir terjadi pada jam sepulang sekolah, anak-anakpun tidak dapat segera melintas dan pulang. Paling pol yang bisa dilakukan ya hanya menunggu, thenguk-thenguk di tepian Kali Putih menunggu surut. Bila keadaan memungkinkan, meskipun banjir belum surut, anak-anak melintas sambil bergandengan tangan satu sama lain membentuk tali manusia yang panjang dari satu tepian ke tepian yang lain.

Pernah pada suatu sore, suasana hujan deras, penuh suara gludhuk yang mengerikan dan segera menjelang gelap. Anak-anak di dusun kami belum ada yang pulang dari sekolah. Ada Kang Sukur, Yu Sikom, Yu Suraeni, Kang Slamet, Lik Tin, Lik Pur, Lik Muji, Kang Riyadi, Lik Nur, Lik Is, Lik Yanti, Kang Nurhidayat, dan Kang Samat. Bila sedari siang hujan deras mengguyur, sudah dapat dipastikan Kali Putih pasti banjir. Dan bila hujan tak kunjung reda, pasti banjirpun tidak juga reda.

Akhirnya menjelang maghrib para bapak, diantaranya Mbah Hadi, Pakdhe Darmo, Lik Ram, Pak Amat, Mbah Guru, Pakdhe Mento, Mbah Sudi, dan Pak Rochmad berombongan berpayung dan membawa senter. Tidak semuanya berpayung terpal yang lebar dan kuat, banyak diantaranya berbayung kerucut daun clumpring ataupun jubah para pengangon bebek, bahkan ada yang bermantolkan plastik bekas kantong urea. Mereka berketatapan akan menjemput anak-anak dusun kami yang terjebak banjir. Satu-satunya jalan waktu itu ya menyeberang lewat jembatan Ngepos di bagian atas, atau lewat Jumoyo di ratan gedhe sebelah bawah. Dua pilihan itu sama-sama memutar jauh lebih dari 10 km, dan rombongan itu harus berjalan kaki karena di jaman itu masih sangat jarang warga yang memiliki kendaraan. Dan apa yang terjadi sedulur? Mereka baru kembali ke dusun kami menjelang tengah malam. Hmmmm……. betapa sebuah perjuangan untuk mencerdaskan anak bangsa telah mereka pertunjukkan kepada kami.

Banjir memang menjadi masalah tersendiri bagi sebagian warga, sebagaimana kisah di atas. Namun demikian bagi sebagian warga yang lain, banjir adalah kemurahan Tuhan yang memberikan anugrah pasir dan batu. Mereka adalah para penambang pasir, yang rata-rata ditekuni oleh sebagian warga tepian Kali Putih. Bila saatnya banjir surut, maka mereka akan mengumpulkan pasir, krakal, ataupun batu. Sedikit demi sedikit hingga mencapai gunung anakan. Istilah satuan tumpukan material itu disebut satu rit untuk material yang memenuhi seukuran satu bak truk sedang(kurang lebih 4 m3). Hampir sepanjang hari, truk-truk hilir mudik mengangkut material dari Kali Putih di sisi hilir. Banyaknya material yang kentir saat banjir, memudahkan truk tidak harus mengambil material di bagian hulu.

Kebanyakan dari truk yang beroperasi berasal dari luar kecamatan kami. Bahkan diantara warga kecamatan Srumbung hanya Pakdhe Surahman warga Songgengan yang memiliki dua buah truk. Truk tersebut satu bercat kuning, dan satunya lagi bercat hijau. Yang kuning disopiri Pak Mus, sedangkan yang hijau disopiri Pak Min. Pada kedua sisi truk tersebut tertulis huruf UDSM. Bagi kami para bocah dusun, singkatan UDSM kami artikan Undang-undang Dasar Surahman. Baru setelah usia SMP, saya paham bahwa UDSM ternyata singkatan dari Usaha Dagang Sari Makmur. Welah dalah…….betapa lucunya cara pikir kami!

Kisah ini sedikit berubah tatkala pada akhir 80-an mulai dibangun cekdam di bagian hulu. Mulai dari bawah Kandang Macan, Jurangjero hingga Ngepos dibangun puluhan bendungan yang disebut cekdam. Tidak hanya cekdam, di hulu sisi kanan kiri Kali Putih dibangun tanggul permanen dengan ketinggian sekitar 5 m. Bahkan di titik tertentu ada yang melebihi 10 m. Teknik ini konon diadobsi dari negeri Matahari Terbit. Proyek ini merupakan proyek padat karya raksasa yang banyak menyerap tenaga kerja dari warga sekitar.

Proyek raksasa tersebut sangat menarik perhatian kami. Bagi saya dan teman-teman yang duduk di bangku akhir SD, seringkali di hari libur bermain ke Jurangjero hanya ingin sekedar menonton traktor, buldoser, mobil ciduk, dan para kuli beraksi. Bagaimana molen bekerja mengaduk semen, bagaimana kerangka tanggul dicor, bagaimana cekdam raksasa dibuat, seperti apa cara memasang bronjongan batu adalah hal yang sangat menarik bagi anak dusun. Di awal tahun 1990 proyek tersebut diresmikan secara langsung oleh Pak Harto yang menandatangani sebuah batu prasasti, yang kemudian dipasang di Jurangjero.

Selepas banyak cekdam di hulu, jarang sekali terjadi banjir besar hingga bagian hilir. Bilapun terjadi banjir, skalanya tidak lagi besar dan masih bisa diseberangi. Alue Kli putihpun serasa menyempit, bahkan di beberapa tempat ditimbuhi hutan sengon laut dengan suburnya. Maka kisah Mbakyu saya yang bersekolah di kecamatan setelahnya, selalu dapat menerobos banjir Kali Putih. Tidak ada lagi kisah para orang tua methuk anak-anaknya karena terhalang banjir.

Demikian halnya material pasir dan batu yang terbawa banjir Kali Putih juga menipis. Bahkan penambangan material mulai naik ke hulu dan dipusatkan di sekitar Jurangjero. Di masa ini penambangan skala besar dilakukan. Tidak hanya penambang tradisional yang bersenjatakan linggis dan slenggrong yang menambang, bahkan muncullah perusahaan raksasa yang menggusur rakyat kecil. Perusahaan-perusahaan bermesin bighoe itu berasosiasi di bawah GORO. Konon GORO adalah perusahaan milik pemda kabupaten, namun desas-desus yang lain mengatakan bahwa GORO milik para putra Pak Harto.

Untuk melindungi penghidupan para penambang tradisional yang hanya bersenjatakan linggis, pacul dan slenggrong, kemudian dibentuklah APPPI, Asosiasi Penambang dan Pengusaha Pasir Merapi. Kumpulan ini diketuai Kiai Abdul Rozak dari Tegalrandu. Namun demikian asosiasi ini tidak begitu berhasil mengemban misi untuk melindungi penambang tradisional dalam mengais rejeki. Bahkan alat berat mulai merambah lahan hutan yang jauh dari tepian sungai. Ditambah lagi konon para petinggi lokal masing-masing mendapatkan jatah kapling penambangan pasir.

Perseteruan antara perusahan besar dan penambang tradisional semakin memanas dan memuncak menjadi konflik kekerasan bersamaan dengan gegeran reformasi(1998). Korban jiwapun terjadi pada kedua belah pihak. Menurut ceritanya, konflik tersebut banyak ditunggai para provokator. Konon ada suatu tragedi dimana serombongan para pengunjuk rasa dalam sebuah truk yang baru turun dari bak truk langsung dibabat dengan pedang dan parang oleh serombongan preman tidak dikenal. Nyawa jelas ada yang melayang, namun tidak pernah ada pernyataan resmi dari pihak berwenang tentang tragedi yang seolah-olah menjadi dongeng saja. Akhirnya GORO dibubarkan dan izin penambangan diperketat tidak boleh menggunakan alat berat.

Erupsi Merapi 2010 merupakan gawe Merapi terbesar yang pernah saya saksikan. Di masa silam, segawat apapun aktivitas Merapi, masih jarang penduduk pada radius Pule, Soka, Njengglik, Miren atau Kamongan diungsikan. Namun letusan Merapi yang terakhir memang luar biasa. Bahkan radius 15 km di bawah Bringinpun harus mengungsi. Di saat paling gawat malahan radius aman ditetapkan hingga 20 km. Dusun kami di masa hidup generasi kami, baru kali ini mengalami nasib harus mengungsi. Semua harus ditinggalkan untuk menyelamatkan nyawa. Meski hanya berada di pengungsian selama tiga minggu, namun hal itu merupakan pengalaman yang tiada akan pernah terlupakan bagi warga dusun kami.

Sawah memang hancur. Padi, sayuran, palawija dan tanaman sawah tegalan yang lain rata dengan tanah. Banyak pohon kelapa dan pepohonan yang lain tumbang. Tanaman salak warga bosah-baseh tanpo rupo. Bahkan di beberapa sisi dusun, bambu petung dan apus rungkat menimpa rumah warga. Dua rumah ambruk bruk dan banyak rumah mengalami kerusakan berat ataupun ringan. Merapi memang telah mengingatkan kita untuk kembali eling dan pasrah kepada Sing Gawe Urip. Hanya dengan sikap sumeleh segalanya akan dapat bangkit kembali untuk melanjutkan hidup sebagaimana dititahkan-Nya.

Ngisor Blimbing, 19 April 2011

 


37 tanggapan untuk “Ekspedisi Kali Putih”

  1. Jadi ingat saya menjadi salah satu saksi pertamakali-nya banjir lahar dingin Kali Putih sampai jalanan. Waktu itu sore hari pas mau berangkat ke Jogja. Kondisi hujan makin menyulitkan penyebrangan karena harus melalui tumpukan material pasir yang “mblesek”….

  2. Omah ku ga adoh seko kali putih (Ds. Ngagrong) tapi urung pernah je weruh langsung lahar dingin.
    ora oleh dolan adoh2 karo mboke.

  3. sungai putih bener2 berpengaruh ya ama kehidupan masyarakat sekitar. kali putih sama kayak sungai di dekat rumah saya. besar dan kehidupan tergantung dari air yang mengalir darinya

    • sekedar mengenang kembali kenangan di masa lalu Mas….

      monggo kalau mau mampir, banyak hal bisa digali wis…….termasuk batu dan pasir tentunya!

  4. Kaliputih ini memang jadi terkenal…siapapun yang sempat ke daerah Muntilan Magelang pengin ke sini, melihat jejak-jejak keganasan lahar dingin.

    • Ngaglik?
      gek-gek tunggal brayat ki! Mbah Sarinten sak anak cucu Heru, Yudi, Roni, Nina, Nanik, Wawan….
      omahe sing mbek ndi? Parno isih ning ngomah?

  5. Weladallah, wis tahunan tak wolak-walik “sangnanangingjagad” opo sedulurku yo? kok Kronggahan?? Alhamdulillah ora salah maneh, tunggal balung!. Pancen aku wayah mbarepe Mbah Sarinten sing jaman semono digendhong kewer2 ngalor ngidul ngetan ngulon munggah medhun nrabas galengan Ngaglik, Mangunan, Kronggahan, nyabrang kali Putih, banjir nginep neng Ngelo Gentho…….

  6. Yo pancen mengkono critane….
    Lha saiki neng endi to? Opo neng tlatah Tidar-Merapi (ndalem Kronggahan)? Salam wae kanggo kabeh brayate dhewe, wis tetahunan ora njajah deso milangkori ngenthelake silaturami.

  7. bagi saya kali putih adalah suatu kenangan dalm hidup saya karna pada waktu itu saya sekolah di smp trisula srumbung salah satu seklah faforit saya krna bpk/ibu guru2 nya baik2 dan cara mngajar cukup profesional dalm bidang dan study nya masing2 akhr kata trmksih saya ucapkan kepada bpk dan ibu guru yang telah berjsa mndidik kami murid2 nya sehingga bsa mncapai apa yg di cita2 kanya dan berguna bagi nusa dan bangsa trms smp trisula dan kaliputihku

  8. wah ada juga orang srumbung asli yang nulis tentang kali putih, plus detail2 nama desanya
    saya sendiri lahir dan besar di kecamatan srumbung
    namun sudah hampir 10 tahun merantau
    ada yang bikin saya ketawa pas baca tulisan njenengan pak
    aneh dan nyata, kami masyarakat srumbung, terutama sekitar kali putih dan daerah2 di timurnya , senantiasa menganggap gunung merapi di utara
    padahal klo di peta kan di arah timur laut
    wal hasil
    klo pas sowan ke tempat kyai Abdul Razak, kami serasa sholat menghadap selatan
    heheheh

      • anehnya kok kita (termasuk saya) yang dah ngerti peta, termasuk google map dsb, masih saja menganggap klo puncak merapi itu tepat di utara srumbung
        padahal klo di google map dah jelas merapi itu di timur laut
        tampaknya memang image, pikiran atau keyakinan yang dah dipupuk sedari kecil sulit dirubah ya mas
        hehehe
        oh njih jembatan gempol sampun dados dereng Pak
        kawula sampun dangu mboten mantuk je

  9. wah senenge bisa ngumpul bareng walaupun lewat dunia maya….nderek gabung nggih mas-mas kaliyan mbak-mbak…kulo saking dusun pondok srumbung,cuma kulo sampun dangu(tahun 1996)pindah tangerang,mengikuti orang tua..cuma masih penasaran mencari data tentang jurang jero..apa kabarnya ya mas dan mbak sekalian?penasarannya perasaan dulu kalau sampai desa salam sari itu jauuuuuh sekali untuk sampai jurang jero,tapi 3 tahun lalu pulang ke sana kok baru sampai salam sari sudah ditutup aksesnya untuk ke atas.sempet bertanya sama warga sekitar,mereka sampaikan sudah tidak ada lagi desa atau kehidupan di atas sana..lha,bukannya masih ada beberapa desa dan masih jauh ke gunung merapi/jurang jeronya…apakah saat ini memamng sudah tidak ada lagi jurang jero?maturnuwun mbak-mas sekaliyan..kulo alumni SD Srumbung 1 dan smpn 1 srumbung..sekali lagi matur nuwun infonya

    • Lha geneya dari Pondok to?
      Tangerangnya sebelah mana mbak? Saya sering di belakang Tifico Kebun Nanas lho?

      Memang setelah Salam Sari kan tidak ada desa lagi. Dulu dusun teratas ya Mejing(meski hanya beberapa rumah). Sayapun pasca erupsi 2010 juga belum pernah sampai ke Jurang Jero. Insya Allah mangkih saya update beritane wis. Salam kenal mbake, saya asli Kronggahan.

  10. nggih mas..kulo perumnas 2 karawaci,pinarak monggo mas…kronggahan putrane sinten?wonten no telp/pin bb mas?niki lagi bahas letusan 20 april 2014 kaliyan rencang2…wonten mbah rono ugi..suwun nggih