Diponegoro, Sang Pahlawan Besar yang Terlupakan


Kota Magelang memang dalam sebulan terakhir ini sedang gegap gempita dengan rangkaian peringatan HUT ke 1108. Berbagai acara digelar yang dipusatkan di Alun-alun Kota Magelang. Ketika masyarakat yang hadir di pelataran agung tersebut, mungkin tidak banyak lagi diantara mereka yang melirik atau memperhatikan dengan penuh penghayatan sosok patung di pojokan sisi tenggara. Benar, maksud saya memang kepada patung Pangeran Diponegoro. Sebenarnya ada kaitan apakah antara sosok Pahlawan Nasional tersebut dengan Kota Magelang? Mengapa justru patung Diponegoro menjadi salah satu ikon dan landmark Kota Magelang?

Saya yakin banyak diantara para sedulur semua yang telah mengetahui lika-liku sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro tersebut. Pangeran Diponegoro merupakan putera Sri Sultan Hamengkubuwono III dari Keraton Kasultanan Ngayojokarto Hadiningrat. Intrik-intrik di dalam tembok istana antara para pejabat dan Pemerintah Kolonialis Belanda membuat ia lebih memilih hidup di luar kemewahan istana. Semenjak remaja ia lebih sering tinggal bersama nenek kandungnya di Tegalrejo, 3 km sebelah barat laut keraton.

Tindakan kesewenangan penjajah Kompeni dalam merampas dan mengeksploitasi rakyat membuatnya mengangkat senjata. Beberapa tokoh utama turut bergabung dalam perjuangannya, seperti Kyai Mojo dan Panglima Sentot Alibasyah. Pertempuran demi pertempuran berkobar. Berawal dari kediamannya di Tegalrejo, pasukan Diponegoro melancarkan strategi perang gerilya secara berpindah-pindah. Diantara beberapa daerah yang pernah menjadi basis perjuangan Diponegoro semisal Goa Selarong dan sepanjang Pegunungan Menoreh. Perang inilah yang dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang berlangsung antara 1825-1830.

Diponegoro Penangkapan Diponegoro

Perang Jawa merupakan bentuk perlawanan terbesar dan terdahsyat terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang pada saat itu lebih dikenal sebagai Kompeni. Rasa cinta tanah air yang dalam, serta semangat persatuan senasib-sepenanggungan menjadikan sebuah kesatuan yang tangguh dan solid. Tidak ada lagi terbedakan antara golongan darah biru dan rakyat jelata. Semua manunggal, melebur dan nyawiji menjadi satu. Itulah semangat dan tekad bersatunya antara pemimpin dan rakyat, antara kawula lan gustinya, manunggaling kawula lan gusti. Modal utama persatuan inilah yang membuat bangkrutnya Kompeni.

Atas nasehat Snouck Horgronye, pasukan Kompeni melancarkan strategi benteng stelsel. Setiap tempat yang telah dikuasai dari kaum gerilyawan, maka di tempat tersebut kemudian didirikan benteng pengawasan. Hal ini lama kelamaan membuat ruang gerak Pasukan Diponegoro menjadi semakin sempit. Akhirnya disepakatilah kedua belah pihak untuk melakukan perundingan damai. Perundingan itupun berlangsung pada tahun 1830 di Kantor Residen Kedu. Dalam perundingan inilah Jenderal de Kock berkhianat dengan menangkap Pangeran Diponegoro. Maka berakhirlah perlawanan sosok Sang Herucokro Tanah Jowo tersebut di Kota Magelang. Kisah inilah yang menjadikan inspirasi untuk mengabadikan sosok Pangeran Diponegoro menjadi sebuah patung putih di sudut Alun-alun Kota Magelang dan hingga saat ini masih bisa kita saksikan bersama.

Makam DiponegoroSetelah ditangkap, Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke daerah Manado. Tak seberapa lama menjalani pengasingan di Manado, Pangeran Diponegoro kemudian dipindahkan ke Makassar hingga akhir hayatnya. Pangeran Diponegoro dimakamkan pada sebuah pemakaman sederhana di Jalan Diponegoro Makassar.

Kesederhaan makam seorang Diponegoro jelas sangat jauh daripada makam-makam pangeran Mataram yang lain, baik di Kotagede ataupun Imogiri. Namun hal tersebut justru menunjukkan bahwa ia benar-benar seorang pangeran yang sejati. Jiwa, raga, hidup dan matinya ia persembahkan sepenuhnya dalam perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat. Ia menjadi salah satu sosok pemimpin sejati di bumi Nusantara.

Baik di Jogjakarta, Magelang maupun Makassar, tentu saja masih banyak tersisa petilasan ataupun peninggalan Pangeran Diponegoro. Di samping peninggalan fisik, tentu peninggalan yang paling berharga adalah rasa cinta tanah air, jiwa persatuan kesatuan, juga semangat menegakkan dan membela kebenaran hingga titik darah penghabisan. Setiap jiwa manusia memiliki harkat dan martabat yang tidak bisa diinjak-injak, dirampas ataupun dijajah oleh bangsa lain. Dari sisi ini, sosok Diponegoro sebenarnya tidak saja hanya menjadi pahlawan nasional tetapi ia juga pahlawan kemanusiaan.

Makam Diponegoro2Sebagaimana diamnya patung Diponegoro di Alun-alun Kota Magelang, juga sebagaimana sangat sederhana dan tertutupnya area makam Diponegoro di Makassar, mungkin memang banyak orang yang telah melupakan nilai kepahlawanan seorang Diponegoro. Nilai patriotisme, kejuangan, juga nasionalisme anak bangsa di era sekarang ini memang semakin terkikis habis. Pangeran Diponegoro, sosok Sang Pahlawan Besar yang pernah membangkrutkan Kompeni kini juga semakin terlupakan oleh anak bangsa. Semoga hal hal tidak berlarut dan berlanjut terhadap anak-anak dan generasi yang akan datang. Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita bersama untuk kembali mengenalkan tokoh-tokoh pahlawan negeri yang kita cintai ini. Kebangkitan negeri yang terus terpuruk ini hanya bisa terjadi di tangan dan pundak para anak bangsa yang memegang teguh sifat dan sikap kepahlawanan yang dilandasi dengan rasa nasionalisme serta patriotisme.

Lor Kedhaton, 23 April 2014


Satu tanggapan untuk “Diponegoro, Sang Pahlawan Besar yang Terlupakan”