Desaku Tercinta


KRONGGAHAN

KAMPUNG HALAMAN

Sebuah pedukuhan atau padusunan hanyalah kumpulan beberapa rumah sederhana yang dipagari sawah dan ladang di sekitarnya. Dusun hidup dari tetesan anugerah alam berupa tanah subur, curahan air hujan dan kesejukan sinar mentari di pagi hari. Dusun sangat tergantung akan kemurahan lingkungan hidup di sekelilingnya. Satu sama lain hidup dalam suasana tata keseimbangannya masing-masing dan saling mendukung untuk keharmonisan hidup.

Adalah warga dusun, manusia yang senantiasa menjunjung tinggi harkat kebersamaan dan saling berbagi. Tradisi turun-temurun mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati, satu sama lain sebagai sesama manusia dalam sebuah keluarga besar. Hidup rukun penuh kedamaian dan kegotong-royongan adalah semangat yang senantiasa diagungkan sebagai pengamalan hidup. Hidup untuk saling memberi dan berbagi. Hidup bukanlah untuk menguasai dan menumpuk keuntungan atas nama pribadi. Hidup adalah untuk menghidupi kehidupan.

Gambaran di atas barangkali hanya satu nilai ideal yang pernah diimpikan oleh manusia dusun sederhana. Nilai itu dari hari ke hari semakin hanya menjadi sebuah impian. Modernisasi telah mengantarkan manusia kepada sikap yang lebih mementingkan kepentingan individual. Pemaknaan hidup dipersempit hanya sebatas status materialisme. Manusia semakin menjadi bukan manusia lagi! Dan di sinilah pentingnya bagi kita untuk kembali belajar sebagai manusia.

Demikianhalnya yang terjadi dengan dusun kami. Kronggahan hanyalah sepetak tlatah di tepian gunung Merapi yang menjulang tinggi. Melalui aktivitas kegunung-apian Merapi, Tuhan melimpahkan abu dan pasir bagi manusia di selingkaran gunung. Abu vulkanik menjadikan tanah subur sebagai sumber kemakmuran. Padi, palawija dan berbagai jenis sayuran tumbuh hijau di setiap petak sawah. Demikian halnya tanaman buah seperti salak, mangga, rambutan, durian dan lain sebagainyapun menjadi hiasan hidup di sebagian besar pekarangan warga.

Secara administrasi dusun Kronggahan merupakan wilayah paling barat Desa Polengan. Jumlah warga di dusun kami saat ini berkisar 387 yang mendiami empat rukun tetangga. Bertindak sebagai prabot atau kepala dusun atau bayan dusun kami adalah lelaki setengah baya bernama Tasip. Adapun Ketua RT masing-masing Kang Samat RT I, Kang Riyadi RT II, Lik Darozan RT III, dan Kang Dulsyukur RT IV. Mayoritas warga menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Padi, cabe, aneka sayuran dan salak adalah komoditas andalan saat ini.


Keseluruhan warga dusun beragama Islam. Masjid Al Iman di jantung dusun ditambah sebuah mushola di sudut barat, merupakan tempat warga melaksanakan ibadah keagamaan. Anak-anakpun di sore hari rajin mengaji di sebuah TPA sederhana yang dikelola para remaja masjid. Ritual hari besar Islam senantiasa diperingati dengan adat sedekahan. Separuh warga membuat kendurian sederhana untuk disetorkan di rumah Pak Bayan. Warga berkumpul untuk memanjatkan doa yang dipimpin Mbah Kaum, dan  berkat kemudian dibagikan kepada sebagian warga lain yang tidak mendapatkan giliran untuk membuatnya. Di setiap bulan Ruwah menjelang Ramadhan, diselenggarakan upacara sadranan untuk mengumpulkan balung pisah dan mendoakan arwah para leluhur dusun.

Modernisasi memang telah mengubah warna dusun. Perekonomian warga yang mulai mapan menjadikan rumah warga sebagian besar telah berpondasi semen dan berdinding batu bata. Rumah limas berdinding gedheg yang dulu menjadi ciri khas sebuah dusun, kini hanya tinggal beberapa buah saja. Rumah joglo sebagai rumah adat orang Jawa sudah tidak tersisa, bahkan semenjak saya kanak-kanak. Demikian halnya jalan tanah dan berbatu yang dulu sering membuat jempol kaki tersandung, kini telah berganti dengan aspal mulus dan tatanan paving rapi di setiap sudut gang kampung. Dari prasarana fisik, jaman pembangunan telah membawa banyak kemajuan.

Taraf pendidikan wargapun semakin meningkat dengan semakin menipisnya generasi buta huruf. Kesadaran warga untuk menyekolahkan anaknya di bangku pendidikan formal telah tinggi, meskipun karena keterbatasan ekonomi, rata-rata baru sampai pada jenjang SLTP dan SLTA. Beberapa gelintir putra dusun kami bahkan telah menyandang gelar kesarjanaan dari perguruan tinggi ternama.

Era dunia informasi yang berkembang pesat, sedikit banyak memberikan pengaruhnya di pelosok dusun kami. Di era 80-an hanya segelintir warga yang memiliki televisi. Namun kini, televisi telah menghiasi di sebagian besar rumah warga dan bukan lagi menjadi simbol kemewahan. Bahkan hampir setiap remaja kini telah menggenggam handphone sebagai lambang kesadaran berkomunikasi dan pentingnya nilai informasi.

Gerak roda modernisasipun tak luput juga telah menghembuskan efek negatif bagi manusia warga dusun. Sebagai satu contoh adalah kebiasaan para remaja nderes Qur’an selepas Maghrib telah banyak tergeser oleh tontonan sinetron di teve. Banyak diantara generasi remaja yang sudah tidak jangkep lagi unggah-ungguh dan tatakrama kepada generasi yang lebih tua, terlebih lagi dalam hal tata bahasa Jawa.

Gugur gunung atau kerja bakti yang dulu sering dilakukan untuk membangun atau memperbaiki fasilitas umum, semisal jalan, saluran air, jembatan, mesjid, sudah sangat jarang dijumpai. Begitu pula dengan sambatan untuk membantu tetangga memperbaiki rumah ataupun menanam tembakau dan cabe. Pemandangan guyup yang menyertai kegiatan gotong royong sudah menjadi pemandangan langka. Kalaupun ada kerja bakti, yang seringkali terjadi hanyalah perilaku formalitas yang penting hadir atau setor muka. Setengah jam nongol, nyekel gawean untuk kemudian menghilang sebelum pekerjaan tuntas diselesaikan. Pak Bayan sudah tidak lagi sewibawa bayan di masa kecil dulu.

Dalam hal keagamaan, mesjid seringkali hanya dihadiri oleh generasi tua. Para remaja dan generasi muda seakan hanya jum’atan sempat mampir di mesjid. Perangkat mesjid, mulai dari marbot, muadzin, imam dan para takmir didominasi generasi tua. Dan lebih sayang lagi, generasi tua seakan terlena menikmati status sebagai para pemuka warga tanpa pernah berpikir untuk melakukan regenerasi. Inilah kerentanan dan jurang antar generasi yang lambat laun akan membawa kemunduran kehidupan sosial sebuah komunitas sebagaimana sebuah dusun.

Roda jaman memang terus berjalan. Waktu memang telah dititahkan untuk terus berjalan maju. Dan seiring perjalan hidup, tidakkah kita sedikit berpikir dan bertindak untuk melakukan sesuatu agar hari ini lebih baik dari kemarin, dan esok lebih baik dari hari ini? Semoga dusunku dapat menjawab tantangan jaman dengan segala godaan duniawinya!

Kampung Kosong, 3 Oktober 2010


23 tanggapan untuk “Desaku Tercinta”

  1. kampungku yang dulu tentram, damai, kebun dan sawah membentang, sekarang tidak nampak lagi….masjid dan musholla diisi oleh yang tua2. Jaman terus berubah!

  2. doh, postingan ini makin menambah rasa kangenku pada kampung halaman. kelihatan asri dan menentramkan jiwa.

  3. wah, nek kerja bakti wes ora usum, mengkhawatirkan kui. nggon aku wae kerja bakti isih ngetren kok. neng aku mung melu mangan-mangane tok. nyambut gawene wegah.

    • sing keno dampak lahar dingin terutama sekitar aliran kali Putih lan Mbelan…..
      Nek tanduran pertanian dho ludhes kawit keno udan awu, pasir lan krikil pas Merapi erupsine kae……

  4. Good looking….Alam Pedesaan nan Indah yang perlu dilestarikan peradapan Alam dan keseimbangan sosialnya.