Barongsai vs Barongan


Jong ci……jong ci…..jong ci! Demikian si Kenyung kecil menirukan syair Gong Xi Gong Xi yang dinyanyikan sekelompok paduan suara anak di sebuah iklan televisi. Dipadu dengan latar aksi permainan barongsai yang atraktif dan lihai, tayangan itu benar-benar mengagumkan dari sudut pandang anak-anak. Terlebih ditambah bunyi dentuman bedug yang dipadu dengan gemerincing simbal dan bende datar khas negeri Tiongkok. Sebuah pemandangan yang di masa lalu tidak pernah dinikmati kaum di luar kaum China.

Jong ci…..jong ci….asyik-asyik! Jong ci…..jong ci….asyik-asyik!” demikian si Kenyung hampir seharian itu menampilkan aksi panggungnya.

Pakdhe Blongkang sambil ongkang-ongkang membaca koran hanya geleng-geleng kepala. Bocah sekarang memang atraktif dan lebih mudhengan mengenyam informasi dari tivi. Sedikit gaya, sedikit lagu ditirukannya dengan penuh percaya diri. Penuh ekspresi! Jaman memang sudah banyak berubah, dan perubahan itu demikian cepatnya terjadi.

Pakdhe Blongkang ingat betul dengan Koh Acong, sahabatnya di kala SMP. Acong kecil anak yang ulet membantu babah-nya di toko kelontong ujung Pecinan. Kala itu Acong tidak mendapatkan pengajaran bidang agama secara khusus di sekolahan. Katanya agama Kong Hu Chu di masa itu hanya dianggap sebagai sebuah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kini jaman lebih terbuka, tradisi dan agama mereka lebih diakui di mata negara. Merekapun tidak dianggap lagi sebagai warga kelas ke dua. Hak mereka dijamin di dalam konstitusi.

Pakdhe…pakdhe! teriak si Kenyung membangunkan lamunan Pakdhe-nya. “Besuk aku diajak nonton balongsai di kenteng ya?”

“Huuus….balongsai! Barongsai! Ojo muni kenteng, klentheng Le!” sang Pakdhe berusaha meluruskan pelafalan si Kenyung yang masih celat dan belepotan. “Lha emang barongsainya maine kapan Le? Di mana hayo?” lanjutnya.

Si Kenyung menyahut, “Ya besuk pas Cap Gong Mehan di dekat alun-alun to”, sambil menyubit pipi Pakdhe-nya yang sudah mulai kempot itu. Tahun-tahun sebelumnya si Kenyung memang tidak pernah ketinggalan menonton aksi para barongsai cilik yang bermain dengan sangat lincahnya di klenteng pojokan alun-alun kota. Cap Go Meh merupakan perayaan beberapa pekan setelah Imlek. Acara diselenggarakan di kompleks klenteng, dilanjutkan dengan pawai di jalan protokol.

Pakdhe…pakdhe, kalau bolongsaieh balrongsai itu bisa ndadi nggak to? Kan balrongsai kan sama dengan barongan to?” tanya Kenyung kritis.

Pakdhe Blongkang jadi berpikir. Lha iya-iya, ada barongsai, ada barongan. Keduanya dimainkan oleh dua orang yang memborupo seolah-olah menjadi hewan berkaki empat. Wong Jowo punya barongan, wong Chino punya barongsai. Apakah ini hanya sebuah kebetulan belaka, ataukah ada sebuah ikatan tali sejarah. Pakdhe Blongkang tidak habis pikir.

Barongan menjadi bagian dari kesenian janthilan ataupun campur. Sebuah tarian tradisional yang dimainkan secara beregu. Tarian ini menggambarkan perang diantara dua pasukan yang terdiri pasukan berkuda dan para “anteknya”. Sebagai pengiring pasukan itu, terdapat hewan-hewan yang turut bertempur. Ada kethek, buto, manuk beri, hingga pitik dan munyuk. Adapun peran barongan, ya sepertinya hanya sebagai penggembira karena ia tidak memiliki pasangan lawan perang. Ia justru sering mengejar si penthul dan tembem yang menjadi bandar perang.

Barongan dimainkan oleh dua orang. Satu sebagai pemegang kepala, dan satunya menjadi ekor. Memang pemain barongan bisa ndadi alias trance saat memainkan boneka barongannya. Barongsai memang mirip barongan. Hanya saja barongsai adalah pemain utama dalam suatu pertunjukan. Paling-paling ia main di arena bersamaan si liong atau naga raksasa. Tetapi biasanya mereka menari terpisah.

Tetapi pemain barongsai bisa ndadi? Akh pertanyaan si bocah cilik yang masih nglegeno itu kok jadi dipikir serius oleh Pakdhe Blongkang! Bukankah selama ini ia belum pernah mendengar ada pemain barongsai ndadi atau kesurupan dewa mereka. Barongsai lebih sebagai pertunjukan ketrampilan dan keahlian gerakan yang kompak dan dinamis. Mereka memang pemain khusus yang berlatih khusus. Tidak saja soal kekompakan gerakan, mereka juga berlatih kekuatan fisik dengan gemblengan ekstra.

Nampaknya permainan barongsai lebih bisa dipahami secara rasional. Sedangkan barongan bisa jadi lebih memliki dimensi mistis dan misterius yang lebih mendalam. Bukankah pertunjukan janthilan juga tak lepas dari rupa-rupa kembang dan menyan. Dan konon memang pemainnya sering kemasukan roh-roh halus yang datang di arena, baik diundang ataupun tidak diundang. Ini tentu saja pandangan di mata orang awam.

Memang belum pernah terbayang, andaikan pemain barongsai bisa ndadi! Mungkin mereka akan makan hio atau menelan lilin. Tetapi tidak usah ndadi-pun mereka malah mendapatkan amplop angpau je! Lha wong barongsai beraksi, penonton malah mendekat dan mengerubungi to? Barongsai lebih lucu dan nggemeske bagi penontonnya. Sedangkan barongan? Barongan ngamuk, anak-anak lari terbirit-birit bahkan tidak sedikit yang menangis histeris.

Deso mowo coro, negoro mowo toto. Lain ladang, lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Lain suku bangsa, lain agama, lain keyakinan, lain pula adat dan tradisinya. Demikiannya halnya barongan versus barongsai. Dua-duanya lahir dan hadir dari latar belakang filosofi dan keyakinan yang berbeda. Bukan soal pembandingan barongsai dan barongan, karena kerbau tentu berbeda dengan sapi. Satu hal yang harus dikedepankan adalah bahwa perbedaan dapat menjadikan hidup lebih berwarna-warni dan berseri-seri. Perbedaan memperkaya keragaman budaya bangsa. Dan kita wajib bersyukur atas kekayaan keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa kita. Bangsa yang besar hanya bisa memiliki martabat tinggi bila mereka mau saling memahami dan menerima segala perbedaan diantara sesama anak bangsa dengan sikap saling toleransi dan hormat menghormati. Tidak Jowo, tidak Chino, kita adalah bangsa Indonesia. Gong Xi Fat Chai!

Ngisor Blimbing, 23 Januari 2012


2 tanggapan untuk “Barongsai vs Barongan”

  1. Di dusunku dulu ada jathilan, waktu masih kecil aku sering main peran jadi penthul. Nyogok2i bokonge barongan. Sejak aku kelas 5 SD jathilan suda tidak ada lagi di dusunku, sudah tidak ada teman bermain lagi, yang nglatih pun sudah meninggal.