Anak Polah Bapa Kepradah


Meskipun malam sebelumnya hujan turun dengan sangat derasnya, namun pagi itu mentari bersinar sangat cerah. Ahad pagi di Koripan, Tegalrejo, Magelang, tepatnya di Pondok Pesantren An Najah, seperti biasanya digelar pengajian rutin oleh KH Abdul Mukti. Berbondong-bondong kaum muslimin dan muslimat ingin ngangsu kawruh sebagai bekal ibadah. Tidak hanya ratusan, tetapi ribuan jamaah selalu hadir. Pengajian yang telah berlangsung puluhan tahun ini memang selalu dibanjiri jamaah dari Magelang dan sekitarnya.Koripan1

Pagi itupun si Ponang sudah semangat pagi untuk ngaji ke Pak Mukti. Seperti pengajian-pengajian sebelumnya, si thole lebih senang ngaji sambil menikmati pemandangan sawah dan kolam ikan di belakang bangunan pondok. Meskipun di area persawahan, tempat tersebut tidak kalah penuhnya dengan bagian dalam pondok maupun halaman depan. Di pematang sawah, di emperan rumah, di sekitar kamar mandipun sudah dijejali jamaah yang khusuk menyimak pengajian dari sang kiai. Penyampaian materi kajian yang bersinggungan langsung dengan keseharian kehidupan secara lugas dan disertai contoh-contoh yang nyata membuat banyak orang kerasan untuk setia menjadi jamaah di pengajian ini.

Pagi itu Kiai Mukti menguraikan materi mengenai tingkah laku anak manusia. Di tengah pusaran jaman edan saat ini, banyak para orang tua mengeluhkan kelakuan anak-anaknya yang tidak memiliki rasa hormat kepada kedua orang tuanya. Anak remaja di masa sekarang banyak yang tidak mau lagi ngambah mesjid, lupa terhadap kewajiban agama, dan seringkali menuntut hak secara berlebihan. Bukannya anak sholeh sebagaimana harapan setiap orang tua, yang kebanyakan ada justru anak tholeh, alias bandel dan berani “melawan” orang tua. Bahkan tidak sedikit orang tua yang ngelus dhadha, karena anaknya sudah terjerumus dalam lembah kedurhakaan.

Koripan2Banyak contoh kenakalan para remaja di sekitar kita. Kebut-kebutan motor, trek-trekan, tawuran antar pelajar, bolos sekolah, bahkan mabuk-mabukan dan mencuri barang milik orang lain. Tidak sedikit pula anak yang mengancam orang tua jika tidak dibelikan hp, komputer, ataupun sepeda motor. Pernah seorang anak di tetangga desa tega mengancam mbok-nya dengan senjata tajam hanya karena ingin memiliki sepeda motor seperti teman-temannya di sekolah. Akhirnya sepetak sawah kecil yang menjadi penghidupan keluarga selama ini, dengan sangat terpaksa harus dijual demi menuruti kemauan anak yang telah gelap mata.

Dalam tata pergaulanpun, sudah banyak anak muda yang tidak lagi mematuhi tata krama dan unggah-ungguh dalam pergaulan kemasyarakatan, seperti pergaulan bebas antara muda-mudi. Banyak kejadian yang sampai kebablasan hingga terjadi kehamilan di luar nikah, yang terkadang berlanjut ke tindakan pengguguran janin yang tidak berdosa. Tidak di kota, tidak pula di desa, laju modernisasi yang tidak terbendung memang memiliki sisi negatif terhadap dekadensi moralitas di tengah masyarakat kita.

Kemudian jika adik kita, remaja-remaja dan anak-anak muda kita di masa kini mengalami kebejatan dan kenakalan seperti itu, apakah hal itu dikarenakan kesalahan orang tuanya yang lalai mendidik anak-anaknya?

Jika mendapati kenakalan remaja di sekitar kita, tak jarang sebagian diantara kita langsung bertanya, “Anake sopo bocah kae?” Bila jawabannya adalah anaknya si Anu dari desa B misalnya, mungkin si penanya memberikan komentar, ”wow pantesan bapak ro anak padha edane”. Pertanyaan tersebut sebenarnya memang memiliki tendensi untuk memojokkan orang tua si anak nakal dan cenderung secara hitam putih langsung menyalahkan orang tuanya. Apakah hal semacam ini sudah benar, selalu benar, ataukah ada kemungkinan lainnya? Anak polah, memang sudah lumrah jika keduanya orang tuanya yang kena pradahnya. Seorang anak berbuat kenakalan, tentu saja orang tua turut menanggung rasa malu.

ParaBocahKiai Mukti secara arif mencoba memberikan penjelasan. Memang ada istilah “woh pelem tibane ora adoh saka wite”, buah itu jatuhnya tidak jauh dari pohonnya. Pepatah tersebut memang mengindikasikan bahwa kebiasaan atau didikan orang di dalam rumah masing-masing, sangat berpengaruh terhadap perilaku seorang anak. Jika di dalam rumah, seorang anak mendapatkan didikan keluarga yang baik, contoh tindakan kebaikan, dan suasana rumah tangga yang tentrem, damai, harmonis dan bahagia, kemungkinan si anak akan berkembang menjadi orang yang baik. Sebaliknya jika rumah tangga tidak harmonis, si ayah dan ibu sering bertengkar, tidak ada nilai agama ditanamkan, sudah pasti seorang anak cenderung akan menjadi anak nakal, dan kelak setelah dewasa tidak mustahil akan berbuat hal yang merugikan banyak orang. Namun apakah akan selalu begitu?

Banyak kisah nabi dapat dijadikan conoth pembelajaran. Mulai Nabi Adam, bahkan seorang nabi memiliki Habil dan Qobil yang saling bertolak belakang akhlak dan kelakuannya. Habil berhati lurus, jujur, taat, dan sangat berbakti kepada orang tuanya. Tetapi si Qobil justru menjadi soerang yang culas, licik, dan penuh rasa dengki kepada Habil. Bahkan akhirnya di Qobil tega membunuh saudara sekandungnya demi memperebutkan perjodohan diantara anak-anak Adam dan Hawa. Pembunuhan anak manusia untuk pertama kali justru dilakukan oleh seorang putra nabi atas putra nabi yang lainnya.Apakah Adam dan Hawa telah gagal mendidik putra-putrinya?

Demikiannya halnya kisah Nabi Nuh. Delapan ratus tahun lebih berdakwah hanya mendapatkan 80-an pengikut yang mau mengakui ke-Esa-an Allah SWT. Tidak hanya orang yang mendustakan dakwahnya, justru Kan’an anak kandungnyapun menjadi perintang risalah yang diembannya. Akhirnya tatkala Allah memerintahkannya untuk membuat kapal, Kan’an justru turut mencomooh bahwa bapaknya telah menjadi gila. Akhirnya tatkala air bah benar-benar datang sebagai azab Allah, Kan’an menjadi golongan manusia yang tidak selamat. Bahkan anak-anak seorang nabipun tidak menjadi jaminan menjadi orang-orang yang taat dan taqwa!

Sebaliknya, seorang Nabi Ibrahim dilahirkan di tengah kekufuran keluarganya. Azar, sang ayah, justru adalah seorang pemahat patung berhala yang menjai sesembahan masyarakat mereka saat itu. Namun dari seorang pembuat patung berhala, justru terlahir seorang nabi yang mengemban risalah ketauhidan. Bahkan Nabi Ibrahim mendapatkan kemuliaan menjadi ulul ‘azmi yang merupakan bapak para nabi karena memang kemudian dari keturunannyalah terlahir garis silsilah para nabi hingga Nabi terakhir Muhammad SAW.

Koripan3

Jadi memang “pelem tibane ora adoh seko wite”, tetapi kan ada juga pelem yang jatuh jauh dari pohonnya? Bisa saja dan sangat mungkin sebuah apel jatuh jauh dari pohonnya karena dibawa kelelawar kan? Hal ini menggambarkan bahwa dari keluarga nabi, kiai, ustadz, presiden, bupati, hingga pak lurah belum tentu semua anak-anaknya menjadi bener dan sholeh. Anak nabi, anak kiai, anak ustadz, pejabat, bisa jadi menjadi mrusal dan brandal. Sebaliknya seorang anak maling, koruptor, jambret, kecu, copet, bahkan pelacur sudah pasti menjadi orang jahat!

Di samping faktor internal sebuah keluarga yang sangat mempengaruhi akhlak seorang anak manusia, saat ini faktor lingkungan pergaulan juga tidak kalah dominannya mempengaruhi kepribadian dan kejiwaan seseorang. Anak yang tumbuh besar di lingkungan yang baik, insya Allah kelak akan menjadi pribadi yang baik. Ibarat berteman dengan pedagang minyak wangi, paling tidak ia akan turut mendapatkan bau harumnya minyak wangi. Maka ojo cedhak kebo gupak, berhati-hatilah dalam memilih teman dan lingkungan pergaulan. Hal ini pulalah yang harus menjadi pegangan agar masyarakatpun tidak tergesa-gesa dan terlalu mudah menuduh orang tua sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas kenalakan anak-anaknya. Justru kita semua harus bersama-sama dan bekerja sama untuk mewujudkan lingkungan yang baik bagi persemaian benih-benih generasi penerus bangsa. Kita semua memiliki tanggung jawab itu!

Ngisor Blimbing, 23 Februari 2013


4 tanggapan untuk “Anak Polah Bapa Kepradah”

  1. assalamualaikum,wrwb, mohon nomer telpon nya pesantren tegal rejo di cantum kan di internet trimakasih wassalam.