Tradisi Ujung, Mempererat Kekerabatan


Sebulan penuh ummat Islam berpuasa di bulan Ramadhan. Segala amalan ibadah telah tuntas dilaksanakan. Tarawihan, tadarusan, i’tikaf, yang dipuncaki dengan ditunaikannya zakat fitrah. Tibalah hari kemenangan, Hari Raya Idul Fitri yang juga dikenal sebagai Hari Lebaran. Senja selepas adzan Maghrib dikumandangkan di hari akhir puasa, menggemalah lantunan takbir, tahmid, dan tahlil semalaman penuh. Itulah wujud rasa syukur dan kegembiraan ummat Islam yang telah tunai berpuasa sebulan penuh.

Ujung4

Islam senantiasa mengajarkan keseimbangan dalam dimensi pelaksanaan ibadah. Selain berdimensi akhirat atau ukhrawi, setiap ibadah juga mengandung nilai keduniawian. Sebagai contohnya adalah puasa Ramadhan. Puasa, secara ukhrawi, diperintahkan kepada orang yang beriman untuk meraih derajat ketaqwaan yang lebih tinggi. Dengan puasa manusia dilatih bersabar dalam menghadapi setiap cobaan hidup. Inti dari nilai puasa adalah pengendalian diri terhadap nafsu-nafsu yang menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan yang merugikan, baik terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan, maupun Tuhan. Namun puasa juga memiliki dimensi kemanusiaan. Melalui puasa, ummat Islam dilatih merasakan rasa haus dan lapar sebagaimana banyak orang-orang di sekitar yang nasibnya kurang beruntung. Di dalam bulan Ramadhanpun, ummat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal shodaqoh, infaq, dan zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah. Hal ini menandakan bahwa ibadah puasa berdimensi akhirat sekaligus dunia sebagai inti ajaran Islam yang menata keseimbangan antara hablum minallah dan hablum minannas.

Sebagai bentuk penghapusan dosa dan penyucian diri secara utuh, maka manusia tidak hanya cukup bertaubat atau memohon ampun atas segala dosa kepada Allah SWT. Manusia yang merupakan makhluk sosial senantiasa bergaul dalam anggota kelompok masyarakat yang lain dalam kehidupan sehari-sehari. Menyempurnakan ampunan dosa dari Allah, maka manusia juga sudah seharusnya memohon maaf dan saling memaafkan kesalahan diantara sesamanya. Tradisi Lebaran dengan segala macam ragam caranya telah menuntunkan pentingnya halal bil halal untuk melakukan maksud tersebut. Salah satu ragam tradisi lebaran yang masih hidup di kalangan masyarakat kita adalah “ujung”.

Ujung1

Tradisi ujung banyak dikenal dan diamalkan di selingkaran Merapi, daerah kampung halaman kami. Selepas menunaikan sholat Idul Fitri, baik di tanah lapang maupun di masjid-masjid, ummat Islam berdiri saling bersalaman satu sama lain sambil melantunkan sholawat yang diiringi dengan tabuhan irama bedug sambil membentuk kalangan lingkaran yang sangat besar. Lingkaran ini seolah simbol menyatunya siklus kehidupan manusia dalam rangkaian persatuan dan kesatuan ummat yang kokoh nan kuat.

Selepas saling bersalaman di tempat sholat Idul Fitri tersebut, ummat Islam di daerah kami merasa belum syah permintaan maafnya diantara anggota keluarga, tetangga, dan kerabat sebelum saling mengikrarkan secara lisan sambil ndada, mengakui kesalahan masing-masing. Adab yang berlaku adalah yang muda mendatangi yang lebih tua atau dituakan. Anak kepada orang tua, istri kepada suami, cucu kepada kakek-nenek, demikian seterusnya. Yang utama dan pertama dilakukan biasanya adalah saling memaafkan diantara keluarga sendiri. Setelah itu barulah saling berkunjung kepada sanak tetangga dalam wilayah satu dusun, komplit tanpa terlewati satu rumahpun.

Maka suasana lebaran bagi dusun kami merupakan suasana kegembiraan yang luar biasa selama hampir tujuh hari penuh. Padusunan yang biasa lengang nan sepi, pada hari itu seolah nampak sumringah, hidup, berseri, dan ramai oleh hilir-mudik anak-anak dan muda-mudi yang saling berkunjung antar rumah untuk ujung. Jika pada hari-hari biasa kami disibukkan oleh rutinitas urusan pekerjaan masing-masing. Yang tani sibuk dengan olah taninya, yang pedagang sibuk dengan bakulannya, yang guru sibuk dengan tugas ngajarnya, yang pegawai kantoran sibuk dengan pekerjaanya, dan lain sebagainya, maka lebaran memberikan ruang khusus untuk menanggalkan semua kesibukan tersebut. Suasana menjadi lebih lengkap dan berarti dengan mudiknya warga dusun yang sekian lama merantau di tempat jauh.

Ujung2 Ujung3

Ujung dikenal juga dengan badan, balal, atau halal bi halal. Tidak ada laku ataupun tata cara yang terlampau khusus dalam ujung. Setelah mengucapkan salam ataupun kulo nuwun kepada tuan rumah, para tamu akan dibageke, ditanyakan kabar baiknya, termasuk keluarga lain yang tidak ikut sowan atau bertandang untuk ujung. Sambil menyalami para sesepuh, kami diajarkan sungkem untuk memberikan penghormatan. Selepas itu kami ungkapkan ikrar pengakuan kesalahan, baik yang sengaja maupun karena kekhilafan selama setahun ke belakang.

Selanjutnya giliranlah para sesepuh yang kami sungkemi memberikan jawabnya. Merekapun menerima ungkapan salam penghormatan kami dan juga mengungkapkan permohonan maaf atas kesalahan maupun dosa selama setahun. Berbeda dengan kaum muda yang terhenti pada pengungkapan salah dan dosa, maka para sesepuh selanjutnya memberikan doa dan pengharapan kebaikan, kesuksesan, termasuk keselamatan hidup dunia hingga akhirat kepada yang menyalaminya. Bukankah doa dari para sesepuh yang alim dan bijak, serta telah menyerap berbagai pengalaman pengamalan ibadah yang jauh lebih banyak daripada yang muda tentu lebih mustajab untuk diijabah oleh Tuhan? Inilah “keramat”nya tardisi ujung.

Trio CiTyaRa

Tardisi ujung mengajarkan kearifan tersendiri. Tradisi yang bersendikan ajaran Islam ini memuat beberapa makna yang sangat mendalam. Di samping sebagai momentum saling memaafkan diantara sesama manusia, ujung memberikan pesan kepada semua anak manusia untuk senantiasa menyambung tali silaturahmi diantara sesama saudara, keluarga, tetangga, kerabat, dan saudara dimanapun kita berada. Ujung menjadi perekat sekaligus pengukuh hubungan silaturahmi yang di jaman ini seringkali dipandang remeh oleh manusia modern. Dalam kesempatan ujung pula kami berendah hati untuk mendatangi rumah saudara-saudara, para simbah, pakdhe, paklik atupun guru-guru kami. Hati kamipun diasah untuk memahami keadaan rumah dan lingkungan mereka dengan sebaik-baiknya. Tidak ada lagi batasan kaya-miskin, pandai-bodoh, tinggi-rendah karena kami adalah saudara. Dari sinilah kami seolah saling menguatkan satu sama lain bahwa meskipun badai kehidupan semakin ganas menerjang hidup, namun kami masih memiliki banyak sekali saudara dan kerabat yang masih senantiasa memiliki rasa asah, asih dan asuh. Bukanlah sesama muslim adalah sesama saudara? Semoga tradisi ini akan senantiasa lestari.

Ngisor Blimbing, 28 Juli 2013