Srowol: The Golden Gate of Magelang


Srowol1Erupsi gunung Merapi yang terjadi pada akhir tahun 2010 yang lalu memang menimbulkan dampak yang sangat luar biasa. Tidak hanya pada saat-saat proses letusan, dampak itupun masih tersisa beberapa bulan kemudian berupa banjir lahar dingin. Banjir lahar dingin mulai terjadi di awal tahun 2011 pada beberapa sungai besar yang berhulu di seputaran lereng Merapi. Diantara sungai tersebut adalah Kali Pabelan.

Kali Pabelan merupakan perkumpulan dari Kali Senowo, Sabang, dan Gondang di bagian atas wilayah Sawangan. Kali Pabelan melintasi kawasan perbatasan antara Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Dukun di sisi hulu, serta antara Kecamatan Mungkid dan Muntilan pada bagian hilirnya. Jika diukur dari puncak Merapi, mungkin panjang aliran Kali Pabelan bisa mencapai lebih dari 40 km. Kali ini kemudian menyatu dengan Kali Progo tepat di wilayah Sukorini.

Tatkala musim penghujan pasca erupsi Merapi mencapai puncaknya, beberapa titik di sepanjang aliran Kali Pabelan sempat mengalami longsoran tanggul atau tebing sungai, seperti beberapa lokasi di wilayah Ngrajek. Dampak kerugian paling parah dari peristiwa banjir lahar dingin di Kali Pabelan menimpa beberapa ruas jembatan, baik di wilayah atas maupun bawah. Di samping sempat menyeret pondasi salah satu ruas jembatan di jalur utama Jogja – Magelang, banjir lahar dingin tersebut juga menerjang jembatan di wilayah Srowol.

Jembatan Kali Pabelan yang melintas di sekitar Dusun Srowol ini memang lebih dikenal sebagai Jembatan Srowol. Jembatan yang menjadi jalur alternatif dari Jogja, Muntilan, juga Kulon Progo dari dan menuju Borobudur maupun Magelang. Jembatan dengan struktur pondasi beton cor tersebut membentang sekitar 40-an meter dengan arah utara-selatan menghubungkan dua tepian sungai yang masing-masing berada di wilayah Desa Adikarto Kecamatan Muntilan dan Desa Progowati wilayah Kecamatan Mungkid.

Srowol2 Srowol3

Terjangan dan hempasan banjir lahar dingin yang di luar prediksi pihak manapun akhirnya menghanyutnya struktur jembatan. Dalam beberapa hari jelas jalur perhubungan alternatif di sisi barat Muntilan tersebut putus. Setelah mereda beberapa waktu, secara swadaya masyarakat setempat yang diprakarsai para pemuda membangun jembatan darurat yang terbuat dari batang pohon kelapa, bambu dan sesetan anyaman bambu. Tentu saja kekuatan jembatan sementara yang berbahan kayu sangat terbatas kapasitas kekuatannya, sehingga hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Adapun untuk kendaraan roda empat ataupun yang lebih besar terpaksa dibelokkan melalui jalur pada alur sungai yang juga telah dipersiapkan.

Mengingat betapa pentingnya fungsi jembatan Srowol, setelah perbaikan jembatan Kali Pabelan di Muntilan sebagai jalur utama Jogja – Semarang, maka pembangunan kembali jembatan Srowol juga mendapat perhatian dari beberapa pihak. Namun demikian untuk dapat mengembalikan struktur bangunan jembatan yang kokoh sebagaimana kondisi semula tentu saja sangat membutuhkan dana yang sangat besar. Sebelum dibangun jembatan yang “sesungguhnya”, pemerintah terlebih dahulu membangun jembatan penghubung yang berupa jembatan gantung.

Jembatan Gantung Srowol mulai dibangun pada masa awal tahun 2012. Dengan pendanaan gabungan dari Pemerintah Kabupaten Magelang, Kementerian Pekerjaan Umum, serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Pelaksanaan proyek dikerjakan oleh PT Amarta Karya. Setelah masa pengerjaan beberapa bulan, menjelang Lebaran 1433 H, Jembatan Gantung Srowol sudah dapat dioperasional khusus untuk kendaraan roda dua.

Struktur bangunan Jembatan Gantung Srowol ditopang dengan pondasi cor-coran beton di kedua sisi tepian sungai. Tepat di atas pondasi tersebut berdiri dengan kokoh dua pasang besi pancang setinggi kira-kira 12 m yang menjadi penopang sepasang kawat baja yang membentang di atas badan jembatan menghubungkan masing-masing tepian sungai. Selanjutnya menggantung pada kawat baja utama tersebut puluhan kawat baja vertikal yang menahan struktur badan jembatan yang terdiri atas bagian penyangga sisi bawah dan lintasan jembatan di sisi atasnya. Jembatan gantung dengan lebar 3 m ini memang hanya dikhususkan untuk perlintasan kendaraan roda dua.

Sebagai sebuah jalur alternatif dari dan menuju kawasan Borobudur, jembatan gantung ini senantiasa ramai dilewati ribuan pelintas setiap harinya. Terlebih pada saat menjelang, selama dan pasca lebaran tahun ini, jembatan ini dipadati ribuan motor yang berjalan merayap sangat pelan. Mempertimbangkan kekuatan struktur jembatan dan tingginya intensitas beban perlintasan, maka arus lalu lintas di atas jembatan gantung ini diatur hanya satu arah dengan sistem buka tutup yang diatur oleh beberapa kelompok pemuda setempat.

Srowol4Menyaksikan kepadatan kendaraan roda dua yang melintas di Jembatan Gantung Srowol pada senja hari di saat-saat arus lebaran kemarin menjadi sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Deretan motor yang tertata berjajar untuk antri melintas seolah menggambarkan ratusan barisan semut yang menunggu giliran untuk memasuki gerbang kerajaannya. Di samping itu, bentangan bangunan jembatan gantung yang nampak kokoh menantang waktu dalam balutan keremangan senja hari seolah menyamai keelokan Jembatan Golden Gate di San Fransisco. Maka tidak berlebihan jika jembatan gantung terbesar dan terpanjang di wilayah Magelang ini dinobatkan sebagai The Golden Gate of Magelang. Sampeyan sepakat dengan pendapat saya? Sumonggo buktikan sendiri ke Srowol.

Ngisor Blimbing, 28 September 2013