Resensi Buku Magelang Membaca


Magelang kota adalah secuil wilayah yang terapit diantara Kali Progo dan Kali Elo. Dataran seluas tidak lebih dari 18 km2 itu menjadi sebuah kesatuan pemerintahan Kota Magelang. Posisinya yang dikelilingi gunung di empat penjurunya ditambah dengan keberadaan gunung Tidar yang senantiasa menghijau membawa hawa kesejukan di setiap penjuru kota, meskipun Magelang berkembang menjadi kota yang cukup padat.

MagelangMembacaMagelang menjadi penting bagi perkembangan pulau Jawa maupun Indonesia pada umumnya, bahkan jauh semenjak awal pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles pada tahun 1811. Semenjak itu pula, wilayah Magelang dijadikan sebuah kesatuan kepemerintahan setingkat kabupaten di bawah Bupati Danoeningrat I. Letak geografis yang berada di pertengahan jalur utama Jogja-Semarang menjadikan Magelang berkembang dinamis dari waktu ke waktu, dari jaman hingga jaman selanjutnya. Magelang adalah kota pertanian, ekonomi, kota jasa, bahkan juga kota militer. Peran strategis ini seolah menjadi sebuah penguatan akan makna gunung Tidar sebagai pakuning Tanah Jawa.

Generasi dari generasi lahir, besar dan tumbuh dari rahim Magelang. Tidak hanya para putera-puteri asli kelahiran Magelang yang turut merasakan hangatnya dekapan kasih sayang kota getuk ini. Tidak sedikit saudara kita dari daerah dan wilayah lain yang tertambat hidup ataupun penghidupannya di Magelang. Semua itu mengguratkan warna-warni nuansa, suasana, bahkan kenangan yang sangat mendalam kepada setiap insan manusia.

Adalah sebuah inisiasi untuk menorehkan catatan, kesan ataupun kenangan bagi insan yang pernah tinggal ataupun bersinggungan langsung dengan denyut nadi Kota Magelang, digagas oleh Komunitas Nulis Buku Magelang (NBC Magelang). Ide itupun bergulir dengan menggandeng sedulur-sedulur dari berbagai komunitas dan kalangan, ada penulis, wartawan, blogger, mahasiswa, penyiar radio, penyanyi, staf Konjen RI di Canada, pemerhati sejarah, dokter, bidan, bahkan hingga tukang bakso, tukang soto dan perajin tempe kedelai. Maka tersajilah sebuah buku sebagai suatu kaca benggala untuk Membaca Magelang.

Melihat betapa beragamnya latar belakang para kontributor yang menuliskan catatannya, tentu kita dapat membayangkan betapa warna-warni pelangi menghiasi nuansa kisah dalam setiap judul tulisan yang muncul. Mengalirlah tema-tema tulisan, mulai hal yang sangat filosofis, romantis, eksotis, puitis, estetis, termasuk tulisan yang ringan, biasa dan renyah alias easy going untuk dicerna. Ada kisah mengenai jerih payah memperjuangkan keluarga demi mengepulnya asap dapur, seperti yang dikisahkan Pak Trimo dengan usaha soto ayamnya, Slamet Dahri si pemuda penjual bakso bromo keliling, Kang Supri penjual bakso kojek di depan Museum Sudirman, juga Pak Imbi si tukang “serba bisa” dari Cacaban.

Dalam buku ini juga hadir kisah romantis petualangan asmara diantara muda-mudi yang tengah mencari sosok sisihan alias sigaraning nyawa-nya. Alun-alun, ruas Gatot Subroto, Terminal Tidar, hingga sudut dan gang-gang di kampung ternyata pernah menjadi saksi bisu pertautan dua jiwa yang tengah memadu kasih. Sebuah kisah kasih klasik untuk masa depan. Ada yang berakhir dengan bahagia, namun ada pula yang kandas dengan menorehkan kenangan getir yang mendalam.

MagelangMembaca2

Ada lagi cerita mengenai keasyikan masa kecil yang diisi dengan aneka ragam permaian tradisional maupun bergaul tanpa jarak dengan alam, dengan lumpur, dengan tanah dan dengan sawah. Tidak tertinggal juga banyak kisah kehangatan dan kedekatan yang terjalin diantara anggota keluarga, antara anak dan ayah, antara anak dan ibu, juga dengan tetangga dan masyarakat sekitar. Semua seolah laksana cermin betapa guyup dan rukunnya manusia yang menghuni Magelang. Magelang menyimpan kehangatan jiwa manusia yang suci, serta senantiasa tulus merindukan ketentraman hidup.

Tidak ketinggalan, ada pula harapan maupun cita-cita bagi Magelang dalam perjalanannya di masa depan. Harapan tentang sebuah kota yang tetap mempertahankan sisi sosiokulturalnya yang semanak dan adiluhung. Aspirasi mengenai pembangunan kota yang tidak hanya berorientasi kepada sisi ekonomi, uang, dan pembelaan para pemilik modal, tetapi lebih menyentuh kepada kepentingan untuk mengangkat kesejahteraan warga akar rumput. Sebuah ide pengembangan Magelang menjadi pusat wisata bagpacker sempat dilontarkan untuk menggulirkan ekonomi wisata yang lebih berpihak kepada ekonomi masyarakat secara lebih luas.

Ada pula seorang putra daerah yang kini tengah menggapai cita-cita dan tugas negara di Canada yang menuliskan kerinduannya kepada Magelang. Melalui buku ini pula, pembaca akan dibawa kembali blusukan dari satu kampung ke kampung lain, antar gang, jalan-jalan maupun tempat-tempat yang sangat mewakili Magelang. Ada Pakelan, Trunan, Magersari, Pecinan, Alun-alun, Kauman, Cacaban, Botton, Badaan, Potrobangsan, Tuguran, Menowo, Kebon Polo, hingga Terminal Tidar. Satu per satu lintasan ingatan akan tempat-tempat itu seolah benar-benar hadir di depan pelupuk mata, seolah sangat nyata.

Semua tema yang beragam itu benar-benar sebuah kasunyatan kehidupan yang apa adanya dan tanpa dibuat-buat. Semua hadir dengan ketulusan hati dan nurani terdalam para penulisnya untuk berbagi sudut pandang kenangannya mengenai Magelang tercinta. Siapapun yang pernah lahir, besar, tumbuh, kembang, tinggal, ataupun sekedar mampir ngombe di Magelang tentu akan sangat terkenang dengan membaca buku ini.

Kenangan akan Magelang akan semakin terasa nglangut dan mendalam, bahkan ketika pembaca mulai memegang sampul buku yang dihiasi berbagai gambar ikon dan landmark Magelangan, dengan pewarnaan sedikit blur untuk mengesankan kejadulannya. Ada Alun-alun lengkap dengan Diponegoro yang gagah menunggangi kuda putihnya, juga “kompor” water torn PDAM, dalam balutan keteduhan ringin tengahnya. Ada pula stupa Borobudur, gerbang Kerkhoff, juga sebuah bianglala pada sebuah pasar malam. Pun ketika membuka lembar awal, pembaca langsung bertatap mata dengan Kanjeng Bupati yang menjabata di awal abad XX yang sedang ber-siniwoko memakai pakaian kebesarannya. Semua nuansa itu sengaja hadir untuk membangkitkan semua kenangan tentang Magelang. Membacalah kembali Magelang kita. Magelang adalah ibu kita. Kalau sempat, pulanglah sejenak menanyakan kabarnya.

Ngisor Blimbing, 30 Mei 2013

Judul Buku : Membaca Magelang
Tagline : Magelang adalah Ibu Kita. Kalau Sempat, Pulanglah Sejenak Menanyakan Kabarnya
Tebal : 280 halaman
Ukuran : 13 x 19 cm
Penerbit : Magelang Corner Book
Percetakan : Lingkar Graphic Yogyakarta
Kontributor : Sang Nananging Jagad, Kusmiyati, Endah Nuriningtyas, Jessica Dima Fifatrianing Margantari, Imam Taufik, Bagus Priyana, Ahmad Nurkhimbi, Kusnendar Kurniawan, Sigit Adi Kusuma, Seruni Jingga Insan Kinasih, Tatok Prihasmanto, Widiyas Cahyono, Dafi Erlangga, Danu Sang Bintang, Tami, Pandu, Rizky Amalia, Farchan Noor Rachman, Dias Senja Juniko, Ahmad Dulhadi, Slamet Dahri, Lusia Dayu, dr. Ari Meliyani, Dewi Nurohmawati, Supri, Lulu’ Olivia, Inda N Handayani, Budi Hartini, Ari Pratama, Mayang Hadiyanti, Nur Rokhmanita, Romo Wito, Muhammad Nurul Fatikh, Sayekti Ardiyani, Anglir Kanaka, Wahyu Iqbal Purnomo, Andika John Manggala, Khalimatu Nissa, Indah Nian, Bangkit Nuvola, Rahayu Kandiwati, Iftinah Wulandari, Gilang Habibullah, & Ginandjar Teguh Iman