Memilih dengan Merdeka


Pra JKDemokrasi memang telah menjadi pilihan banyak Negara dalam menyelenggarakan tata pemerintahan dan kenegaraannya. Terlepas dari segala kekurangan yang menyertainya, pada kenyataannya Negara kita juga menerapkan sistem demokrasi. Menyadari keunikan dan kekhasan kondisi sosial budaya bangsa kita, para founding fathers kita telah merumuskan Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila konon merupakan pengejawantahan nilai-nilai kearifan lokal khas Nusantara yang diangkat sebagai hukum positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Spirit utama Demokrasi Pancasila sejatinya telah terkandung di dalam sila ke Empat Dasar Negara Pancasila, yaitu Kerakyatan yang Dipimpim oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Jadi Demokrasi Pancasila merupakan wujud kedaulatan rakyat sebagai pemegang utama saham berdirinya NKRI. Demokrasi Pancasila menjadi khas Indonesia karena menjadi pengejawantahan kedaulatan rakyat yang dilandasi sebuah permusyawaratan yang penuh nilai kebijaksanaan dan hikmah luhur yang dihasilkan dari proses musyawarah mufakat dengan mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Setelah spirit demokrasi sejati terbelenggu di masa pemerintahan masa lalu, semangat reformasi telah memberikan peluang kembalinya nilai demokrasi ke pangkuan rakyat. Rakyat secara politik lebih memiliki peluang untuk mengekspresikan aspirasi politiknya melalui berbagai partai politik yang kemudian tumbuh dengan sangat pesat bak tumbuhnya cendawan di musim hujan. Atas nama demokrasi pula, rakyat memilih langsung para wakil dan pemimpinnya. Dan sebagai puncak pesta demokrasi dalam pemilihan pemimpin adalah pergelaran pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Adakah dengan cara pemilihan langsung rakyat telah benar-benar mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan dikehendakinya? Dari sekitar dua windu roda reformasi bergulir, nampaknya belum semua harapan hadirnya pemimpin-pemimpin sejati bisa terwujud menjadi kenyataan. Jangankah mendapatkan pemimpin yang amanah, di berbagai daerah justru semakin banyak muncul para pemimpin yang justru mengkorupsi kepercayaan hingga aset-aset kekayaan negara demi memperkaya diri sendiri dan golongannya.

Dalam masa pemilihan presiden yang kini tengah di depan mata, rakyat disodori dua kandidat calon pucuk pimpinan negara yang akan menduduki kursi presiden dan wakil presiden. Sekali lagi, bangsa kita tengah dihadapkan kepada sebuah pertaruhan nasib yang sangat mendebarkan. Sebuah proses perjudian kelas tinggi atas nama pesta demokrasi. Akankah pemilihan kali ini mampu melahirkan kepemimpinan sejati ataukah hanya sekedar pemimpin yang tak mumpuni untuk membawa pembaruan dan kemajuan bangsa sebagaimana yang lalu-lalu.

Setiap detik, setiap menit, jam dan setiap saat, publik senantiasa dibombardir dengan jargon-jargon, janji-janji dan segala macam bentuk kampanye dari para kandidat beserta tim sukses masing-masing. Semua menyodorkan informasi serba indah, retoris dan sedap didengarkan secara mentah-mentah. Seolah-olah semua permasalahan kompleks yang menyebabkan terpuruknya bangsa dan negara Nusantara ini bisa dibalikkan nasibnya semudah membalikkan telapak tangan. Rakyatpun tidak sedikit yang terbius, terlena, ataupun terbujuk sehingga hilang kesadaran kerakyatannya. Seolah semua permasalahan bisa diselesaikan hanya dengan hadirnya seorang pemimpin terpilih.

Dari sederetan, bahkan segudang informasi yang tersebar di media cetak, di tivi-tivi, di internet dan semua media sosial, sesungguhnya seberapa banyakkah yang akurat dan bisa dipercaya sehingga bisa menjadi pegangan rakyat untuk memilih dan mendapatkan pemimpin sejatinya? Bukan menafikan informasi dari berbagai sumber tersebut, namun nampaknya rakyat harus semakin kritis dalam menerima informasi. Setiap informasi harus ditimbang-timbang dan dianalisis untuk kemudian ditarik menjadi sebuah kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini sangat penting. Ingat kita memilih seorang pemimpin yang akan menentukan nasib hidup dan masa depan kita! Jika kita salah dan salah lagi memilih pemimpin, jangan berharap kepada perbaikan nasib ataupun kemajuan negara ini.

Sebenarnya telah banyak rujukan ataupun kriteria kepemimpinan yang dirumuskan, baik dari ajaran agama, nilai sosial kemasyarakatan, bahkan dari ramalan wara winasis di masa silam. Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin yang baik paling kurang harus memiliki ciri sifat-sifat sidiq, fatonah, amanah, dan tabliq. Bahkan pada dua abad silam, Ranggawarsita juga “mewangsitkan” sifat-sifat kepemimpinan yang akan muncul dalam jaman edan, jaman goro-goro, jaman yang semakin tidak menentu sebagaimana yang kini tengah kita alami. Setidaknya ada tujuh tipologi kepemimpinan yang muncul si bumi Nusantara menurut dia, meliputi satria kinunjara murwa kuncara, satria mukti wibawa kesandhung kesampar, satria jinumput sumela atur, satria lelana tapa ngrame, satria piningit hamong tuwuh, satria boyong pambukaning gapuro, dan satria pinandita sinisihan wahyu.

Bung Karno sebagai tokoh Proklamator yang bersama Muhammad Hatta menyatakan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia sangat berkesesuaian dengan penggambaran sosok satria kinunjara murwa kuncara. Di masa pergerakan nasional yang ia perjuangkan melalui PNI, Soekarno sempat mendekam di penjara Sukamiskin yang dijatuhkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada detik-detik kegentingan saat terjadinya vacum of power ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Soekarnolah yang pernah terpenjara, muncul dengan sinar kepemimpinan yang gemilang, penuh perbawa, menghantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaannya. DIalah yang kemudian dinobatkan sebagai Presiden RI yang pertama.

Jika Soekarno identik sebagai satria kinunjara murwa kencana, maka Soeharto penerusnya mewakili sosok satria mukti wibawa kesandhun kesimpar. Soeharto berasal dari keturunan petani dusun biasa. Nasib telah menggariskannya menerima surat sakti Supersemar. Lepas dari kontroversi pemindahan kekuasaan dari Soekarno kepadanya, nyatanya Soeharto menggenggam kekuasaan di negeri ini selama 32 tahun. Tokoh kunci dibalik kesuksesan Soharto adalah sosok Siti Hartinah alias Ibu Tien Soeharto. Dialah yang lebih dipercaya memiliki trah darah biru yang memegang wahyu kedhaton, paling tidak ia memang keturunan dari wangsa Mangkunegara.

Pemimpin beraura satria jinumput sumela atur tidak berlebihan jika disematkan kepada Presiden BJ Habibie. Dia “sekedar” presiden transisi, memerintah tidak lebih dari 18 bulan mencatatkannya sebagai presiden tersingkat di republik ini. Hanya sekedar sumela atur, menyelingi masa transisi pasca hadirnya era reformasi.

Kemudian sosok Gus Dur menapaki pucuk kepemimpinan negeri lebih dari 250 juta jiwa ini sebagai presiden ke empat. Sosok intelektual muslim sekaligus kyai nyleneh yang pernah menjabat Ketua PB NU ini memang setia mengusung pembelaan terhadap kaum minoritas dalam semangat pluralisme. Sosok presiden santri yang tidak mau repot, termasuk dalam hal penerapan protokoler kepresidenan ini seakan cocok dengan penggambaran sosok satria lelana tapa ngrame.

Saya kira cukup kita berpikir othak-athik gathuk “ramalan” Ranggawarsita mengenai sosok pemimpin yang akan datang di bumi Nusantara ini. Semakin ke belakang nampaknya semakin jauh sosok-sosok pemimpin yang kita miliki, baik dari rumusan sang pujangga tadi maupun dari harapan rakyat paad umumnya. Pemimpin seolah sekedar hadir tanpa prestasi berarti untuk memikirkan dan memajukan kesejahteraan rakyat secara sungguh-sungguh. Para pemimpin semakin kehilangan perbawa dan kewibawaannya di mata rakyat yang sudah sangat merindukan sosok pemimpin sejati yang tiada kunjung datang.

Kenapa Ranggawarsita mengidentikkan sosok pemimpin sebagai seorang satria? Satria merupakan personifikasi kaum bangsawan atau elit negara yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjawab semua tantangan kehidupan bernegara. Ibarat seorang pendekar ulung, seorang satria memiliki bekal ilmu kadigjayan yang serba lengkap dan juga persenjataan dari semua jenis senjata. Ia adalah panglima barisan prajurit yang siap setia membela negara hingga titik darah penghabisan. Dengan semua kemampuan dan senjatanya, seorang satria diharapkan mampu mengatasi setiap permasalahan bangsa.

Bangsa ini memang tengah terpuruk pada titik nadir terendahnya. Berbagai permasalahan bangsa semakin menggurita menggerogoti pilar-pilar tegaknya sebuah negara. Korupsi, kolusi, nepotisme justru semakin menggila. Politik uang, dagang sapi, justru semaki memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Hukum sudah sedemikian rapuh dan semaki sulit untuk ditegakkan. Ekonomi semakin sangkut semarut dalam jebakan mekanisme pasar dimana yang kuat memangsa si lemah, yang kaya semakin kaya dan justru si miskin semakin termiskinkan secara struktur dan sistem. Intinya permasalahan bangsa sangat ruwet bin njlimet.

Menimbang berbagai sisi kehidupan bangsa yang penuh kompleksitas masalah yang semakin gawat keliwat-liwat, pada berbagai kesempatan Budayawan Emha Ainun Nadjib mengungkapkan bahwa Indonesia hanya bisa bangkit jika hadir sosok pemimpin yang tidak hanya sekedar baik, tetapi harus juga sosok pinandita sekaligus sinisihan wahyu. Sosok satria pinandita sinisihan wahyu, sosok pemimpin yang baik, memiliki kualitas, kapasitas serta kapabilitas untuk menangani berbagai kompleksitas permasalahan bangsa, namun juga sekaligus ditunjuk langsung oleh Tuhan melalui bisikan wahyu suci yang turun kepadanya.

Jika kekuatan manusia tidak lagi sanggup merumuskan dan menghadirkan sosok pemimpin sejati sang satria pinandita sinisihan wahyu, maka sudah saatnya sebagai hamba-Nya kita kembali menggali dan memohon pentunjuk Tuhan melalui bisikan suara hati nurani rakyat. Bukankah suara rakyat yang sejati adalah pancaran suara Tuhan?

Maka jika kemudian sebagai rakyat kita memiliki peluang untuk memilih sosok pemimpin yang akan membawa biduk besar bernama NKRI ini, sudah saatnya kita mendengarkan kembali suara hati nurani yang sejati. Memilihlah dengan cerdas dengan memahami sepaham-pahamnya visi-misi serta program-program berkualitas yang disodorkan para kandidat. Jangan memilih semata-mata demi mengikuti kepentingan sesaat, ikut-ikutan, terlebih karena iming-iming uang, jabatan ataupun janji-janji serta jargon kosong. Memilihlah secara merdeka karena pilihan yang diberikan Tuhan melalui kedalaman doa yang terpanjatkan pada kekhusukan istikharoh kita. Inilah makna kemerdekaan dan kedaulatan rakyat yang sejati.

Lor Kedhaton, 9 Juni 2014