MASJID AGUNG MAGELANG

Mgl1Alun-alun jelas tidak bisa dilepaskan dengan masjid di sisi baratnya. Tata kotapraja merumuskan alun-alun sebagai pusat cakrawala dunia. Di sisi selatan terdapat bangunan keraton, tempat tinggal raja sebagai perwujudan simbol politik. Masjid dengan pemukiman kauman, sebagai tempat tinggal para abdi dalem pemetakan atau kaum santri merupakan simbol religius keagamaan. Sisi timur terdapat bangunan pajeksan sebagai pralambang tegaknya hukum. Dan agak jauh di sisi utara terdapat pasar, perwujudan perekonomian. Satu hal yang membedakan kotaraja dan kota kadipaten adalah keberadaan bangunan pendopo kadipaten yang terletak di sisi utara alun-alun.

Demikianlah keniscayaan arsitektur tata kota semenjak Demak, Pajang, hingga Mataram Islam. Para blogger Pendekar Tidar yang sering bertapa kopdar di ringin tengah Alun-alun Magelang tentu sangat paham dengan keberadaan Masjid Agung Magelang. Dengan dominasi warna hijau cerah, masjid tersebut nampak sakral berdiri.

Masjid Agung Magelang pertama kali dibangun pada tahun 1894.

Atas prakarsa dari Sajid Alwi bin Achmad Danuningrat, Bupati Magelang I, semula masjid diberi nama Masjid Jami’ Magelang. Pertama kali mengalami pemugaran pada tahun 1932 pada masa pemerintahan Bupati Magelang ke IV, Sajid Achmad bin Saidanu Sugondo. Pemugaran dilakukan dengan perluasan bangunan dan penambahan serambi utara, selatan, dan sisi depan. Atas prakarsa bersama antara Bupati Kabupaten Magelang dan Walikotamadya Magelang dilakukan perluasan serambi pada tahun 1980-1981.

Mgl2Masjid Jami’ Magelang kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Agung Magelang semenjak pemugaran pertama. Sebagai satu kesatuan dakwah, masjid tersebut dipimpim oleh seorang Kiai/Imam Masjid yang sekaligus bertindak sebagai Ketua Takmir. Kepengurusan takmir dibagi lagi menjadi kesatuan gugus tugas pelaksana harian. Tugas gugus ini adalah melaksanakan kegiatan harian, mulai dari kegiatan peribadahan, kebersihan, keamanan, perparkiran, dan administrasi.

Kegiatan peribadahan yang utama sudah pasti sholat lima waktu. Dalam kegiatan ini terdapat satu orang sebagai imam utama. Petugas yang lain adalah seorang muadzin yang mengumandangkan adzan dan iqomad. Sebagai penanda waktu sholat telah tiba, bedug dan kenthongan masih dibunyikan secara rutin. Adalah Mbah Herman petugas penabuh bedug yang telah setia melakukan tugasnya lebih dari 30 tahun.

Panggilan sholat diawali dengan bunyi kenthongan. Bunyi nyaring thong…thong…thong dimaksudkan kothong…..kothong….kothong, artinya kosong. Hal ini berarti bahwa masjid masih kosong karena jamaah belum datang untuk sembahyang. Tabuhan bedug berbunyi dung…..dung…dung atau deng….deng…deng. Konon deng dari kata sedeng, artinya masjid yang masih kosong dan dapat menampung jamaah yang datang berduyun untuk menunaikan ibadah.

Letak masjid yang strategis di tengah kota dan diapit berbagai pusat kegiatan, menjadikan Masjid Agung tidak pernah sepi dari jamaah pada saat waktu sholat tiba. Selain warga setempat, banyak para musafir yang sedang melintasi Bumi Tidar menyempatkan mampir bersembahyang di sini. Nampaknya Masjid Agung Magelang memang sebuah simbol tersendiri bagi keberadaan kota Magelang.

Acara pengajian rutin digelar setiap tiga puluh lima hari sekali, atau dikenal sebagai selapanan. Semenjak tahun 80-an Masjid Agung Magelang menyelenggarakan pengajian selapanan setiap hari Ahad Pahing. Sewaktu seumuran SD, saya seringkali diajak oleh biyung tuwo(nenek) untuk ngaji Ahad Pahing. Jarak 25-an km dari dusun kami di lereng Merapi tidak menyurutkan para jamaah untuk datang berombongan menyewa colt. Menurut para simbah “luru ngelmu kudu dilakoni, senajan tekan negoro Cino”, demikian mereka menyetir satu hadist Kanjeng Nabi Muhammad.

Saya yang masih kecil waktu itu selalu dipangku biyung. Beliau berpesan agar saya mendengarkan sabdo pak yiaiojo rame dhewe. Dan agar saya %