Maneges Gunung di Ibu Kota


Maneges berasal dari kata dasar teges. Teges berarti makna dan teges bermakna arti. Maneges dapat diartikan menggali makna dari sesuatu dengan melakukan refleksi diri. Dengan demikian maneges gunung dapat diartikan menggali makna segala sesuatu yang berkaitan dengan gunung, apakah berkaitan dengan bentang alamnya, kesuburan tanahnya, kelimpahan sumber airnya, kelebatan hutan rimba rayanya, manusia di sekitarnya, bahkan termasuk masyarakat dan budayanya.

MG1Dalam rentang waktu seminggu ini tengah berlangsung Pagelaran Maneges Gunung yang menampilkan berbagai aktivitas berkesenian yang dilakukan oleh Komunitas Lima Gunung yang berasal dari Kabupaten Magelang, Jawa Tengah di Bentara Budaya Jakarta. Rangkaian acara yang berisi pameran berbagai karya seni, pertunjukan tari, pentas wayang orang, pagelaran wayang kulit, juga diisi dengan diskusi budaya yang mengangkat tema Maneges Gunung. Diskusi tersebut berlangsung pada Rabu siang pukul 14.00-17.00 di ruang pameran Bentara Budaya, kawasan Palmerah, Jakarta Selatan.

Acara diskusi budaya yang menghadirkan para penggerak Komunitas Lima Gunung, mulai dari Sutanto Mendut (Studio Mendut), Sitras Anjilin (Padepokan Tjipto Budoyo, Tutup Ngisor Kec. Dukun, Gn. Merapi), Supadi Haryanto (Sanggar Andong Jinawi, Mantran Wetan Kec. Ngablak, Gn. Andong), Pangadi (Sanggar Wonoseni, Wonolelo Kec. Bandongan, Gn. Sumbing), Jono (Sanggar Saujana, Keron Kec. Sawangan, Gn. Merbabu), Riyadi (Padepokan Wargo Budoyo, Gejayan Kec. Pakis, Gn.Merbabu), dan dimoderatori oleh Bre Redana dari Desk Budaya Harian Kompas.

Bre & TantoDalam prolognya, Bre Redana sengaja mengungkap berbagai aspek perkembangan komunitas akar rumput sebagaimana Komunitas Lima Gunung. Sebagai sebuah kolaborasi berbagai paguyuban dan kelompok seni di empat keblat lima pancernya dataran tinggi Magelang, Komunitas Lima Gunung memiliki keistimewaan yang sangat luar biasa. Di tengah terpaan godaan jaman yang serba meterialisme saat ini, ternyata masih ada sekelompok seniman yang terhimpun menjadi satu komunitas yang solid dan kompak tanpa terjerumus kepada sikap komersialisasi sesaat.

Nilai penting yang tetap dipegang erat oleh Komunitas Lima Gunung adalah soal independensi dan kemerdekaan dalam berkarya. Karya-karya mereka selalu tampil original penuh kedalaman makna dan cita rasa. Mereka bergerak penuh kemandirian dengan bekal kebersamaan dan kegotongroyongan. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan mainstream yang tengah melanda sebagian besar belahan dunia, termasuk di kalangan seniman sendiri.

Berbeda dengan kebanyakan kelompok masyarakat yang memilih posisi untuk mengkomsumsi, mereka justru mengambil posisi sebagai kelompok kreatif yang produktif. Konsumerisme, pelan namun pasti, akan menghancurkan nilai seni, budaya, bahkan peradaban yang menghantarkan menusia ke lembah kehancuran. Konsumerisme cenderung akan senantiasa mengambil atau mengeksploitasi segala sumber daya yang ada untuk kepentingan diri sendiri atau sekelompok orang. Di sisi lain, aktivitas aktif, kreatif dan produktif justru memiliki kecenderungan untuk selalu berbagi dan memberi. Betapa kedua hal tersebut menjadi dua sisi yang seolah saling bertentangan.

Dalam kesempatan selanjutnya masing-masing ketua kelompok seni di wilayah lima gunung tersebut memaparkan latar belakang dan seluk-beluk proses kreatif yang mereka geluti dan keterlibatannya dalam mendukung eksistensi Komunitas Lima Gunung. Diawali dengan penuturan Sitras Anjilin yang berbicara panjang lebar mengenai sejarah padepokannya, nilai dan tradisi yang dibangun untuk senantiasa dekat dan menjaga alam, hingga kepada mitos-mitos serta pantangan yang diwariskan leluhurnya.

MG2 MG3

Supadi dari Gunung Andong yang kebetulan bertindak sebagai koordinator penyelenggara Festival Lima Gunung lebih menekankan mengenai managemen atau pengorganisasian, kemandirian komunitas yang menolak sponsorsip, tidak mau membuat proposal permohonan dana, serta bagaimana mendorong sikap kebersamaan, kerukuan dan kegotong-royongan, bahkan sempat terkonsep adanya “sumpah tanah“. Sumpah tanah dimaksud mengandung arti bahwa mereka menolak meminta donatur atau dana dan lebih mengutamakan kemandirian demi menjaga independensi dalam berkreasi. Namun demikian jika ada pihak yang ingin berpartisipasi mengulurkan bantuan, pihaknya tidak akan menolak. Tetapi tidak pernah meminta!

Selanjutnya Pangadi atau lebih dikenal sebagai Ipang, ketua kelompok seniman Gunung Sumbing lebih banyak mengungkapkan latar belakang kehidupan sehari-harinya. Bakul gorengan hingga mencari belut di malam hari adalah caranya menopang kebutuhan keluarga. Di bidang seni, ia banyak menggeluti seni lukis kanvas.

Lain Pangadi, lain Mas Jono. Sosok pria yang satu ini terlahir dari keluarga petani yang kebetulan di lingkungannya juga tidak terdapat komunitas seni yang mapan. Pergaulannya dengan lingkungan dan dunia tani justru memberikannya kemerdekaan untuk mengekspresikan naluri seninya melalui berbagai karya seni rupa, mulai dari topeng, patung, hingga wayang plastik. Bentuk karyanya banyak menggambarkan binatang sawah seperti walang dan kumbang. Melalui sentuhan tangan dinginnya juga terlahir tarian topeng saujana. Baginya seni adalah media pembelajaran berbagai sisi kehidupan dan kemanusiaan.

MG4 MG5

Kesempatan selanjutnya, Mas Riyadi dari Padepokan Wargo Budoyo. Ia mengaku paling lain diantara para ketua kelompok yang lainnya di Lima Gunung. Ia bukanlah sosok seniman yang menguasai nabuh gamelan, nembang, nari, melukis atau apapun. Namun demikian, mantan lurah ini justru tetap diterima menjadi bagian penggerak komunitas seni di desanya. Kesempatan terakhir, berturut-turut dipungkasi dengan uraian dari Haryadi dan Tanto Mendut yang panjang lebar mengungkap banyak hal, sehingga menjadi terlalu banyak untuk direkam dan dituliskan.

Secara keseluruhan jalannya pemaparan Maneges Gunung tersebut sangat menarik dan penuh makna. Bentara Budaya mengundang Komunitas Lima Gunung untuk hadir dan pentas di ibu kota sesungguhnya untuk menjadi media berbagi dan saling belajar antara komunitas seniman gunung yang berbasis alam pedesaan dengan komunitas kesenian kaum urban yang berbasis wilayah kota. Kemandirian, independensi, kreasi, termasuk penggaliaan dana swadaya dari warga yang mendukung proses kreasi dan pementasan mereka adalah sebuah keistimewaan dan hal yang sulit ditemui di tengah kota besar. Sikap dan sifat totalitas berkesenian, meskipun tidak memiliki dana, adalah spirit yang dapat dicontoh oleh seniman manapun.

Namun demikian ada sesuatu hal yang menurut saya kurang maksimal dari diskusi budaya tersebut. Jika diskusi tersebut dimaksudkan untuk saling berbagi dan mentransformasi proses pembelajaran dari Komunitas Lima Gunung terhadap komunitas seni yang ada di ibu kota, alangkah sayangya ketika peserta diskusi justru sangat sedikit dan dari kalangan yang sangat terbatas lagi. Bahkan di pikiran saya sempat terbersit, uraian dari para tokoh Lima Gunung yang sangat berbobot dan penuh makna justru tidak mendapatkan audiens yang semestinya untuk menyerap spirit dan semangat kreasi seni mereka. Hal ini menjadi sedikit berkebalikan dengan pemberitaan di media yang seolah-olah pagelaran ini sangat gegap-gempita dan penuh antusiasme. Saya justru melihat Komunitas Lima Gunung menjadi sangat kesepian di tengah hiruk-pikuk kesibukan warga ibukota yang sudah sedemikian kering kepekaan seninya. Alangkah amat disayangkan.

Mungkin tepat usulan metode yang diusulkan oleh Bre Redana, untuk lebih mengefektifkan proses pembelajaran, justru komunitas dari berbagai daerah yang justru harus datang dan menyelami Komunitas Lima Gunung ketika berkreasi di lingkungan aslinya. Semacam sebuah program “culture tour”. Semoga.

Ngisor Blimbing, 18 Desember 2013