Mahasraddha Banawa Sekar


Menarik dan menggelitik uraian artikel pengantar yang ditulis oleh Budayawan Emha Ainun Nadjib untuk acara pisowanan agung Banawa Sekar yang akan diselenggarakan tepat pada peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, 27 Mei 2014 pekan depan. Di tengah hiruk-pikuk situasi politik menjelang pemilihan presiden, justru sekelompok kumpulan komunitas justru berikrar meng-isra’ mi’raj-kan Nusantara. Tidak tanggung-tanggung seluruh simpul jaringan Maiyyah Nusantara, seperti Kenduri Cinta Jakarta, Gambang Syafaat Semarang, Mocopat Syafaat Jogjakarta, Padhang Mbulan Jombang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandeng Ate’ Mandar dan beberapa elemen lain akan berkumpul dalam Pisowanan Agung di Pendopo Agung Majapahit di Trowulan, Mojokerto.

Ada beberapa kata kunci penting yang terdapat dalam tulisan pengantara Cak Nun, yaitu mahasraddha, banawa, dan sekar. Ketiga kata kunci tersebut memiliki muatan makna dan hikmah yang sangat dalam dalam konteks sejarah Majapahit, Nusantara dan Indonesia di masa kekinian. Hal ini sangat berkaitan erat dengan perjalanan laku kehidupan manusia. Sebuah lelaku sangkan paraning dumadi, dari tiada menjadi ada untuk kemudian menjadi tidak ada kembali. Konsep ini sangat senafas dengan ajaran inna lillahi wa innailaihi raji’un dalam Islam.

Baiklah coba kita uraikan satu per satu kata-kata kunci tersebut. Mahasraddha merupakan gabungan dua kata. Maha yang berarti sesuatu yang paling, sebuah ungkapan pengakuan lahir dan batin seorang manusia terhadap sesuatu yang berada di luar ukuran pencapaian nalar dan akal sehatnya. Ungkapan tentu saja sering dilekatkan kepada sifat-sifat Allah, seperti Maha Besar, Maha Suci, Maha Pengasih, dan lain sebagainya. Adapun kata sraddha, dalam bahasa Jawa Kuno memiliki makna sebagai perilaku suci untuk mengenang, mendoakan, ataupun memuliakan roh-roh leluhur yang sudah bersemayam di alam baka.

Sraddha kemudian menjadi upacara suci untuk memperabukan abu jenasah para leluhur yang sering kemudian dimonumentalkan dalam bentuk candi. Sempat dikisahkan dalam catatan sejarah, Raja Hayam Wuruk, Raja Majapahit ke-4, melakukan upacara sraddha dalam rangka penghormatan dan peringatan terhadap roh suci neneknda Gayatri pada tahun 1350 dan untuk ibunda Tribhuawana Tungga Dewi pada tahun 1362. Upacara sraddha sebagai wujud peringatan terhadap arwah raja-raja leluhur Majapahit disebutkan di dalam kidung Banawa Sekar karya Mpu Tanakung.

Banawa SekarPada saat Wali Songo mendakwahkan Islam di Tanah Jawa, ajaran mengenai penghormatan terhadap orang tua atau para leluhur, diselaraskan dengan kewajiban anak untuk berbakti dan berdoa kepada orang tua, bahkan setelah mereka menjadi ruh di alam kubur. Adalah doa dari anak sholekh dan sholekhah bisa menjadi amalan jariyah yang tidak akan putus dan dapat menjadi penerang bagi arwah para leluhurnya tatkala berada di alam barzah. Muncullah tradisi yang menyerap kata sraddha menjadi nyadran. Tradisi ini masih hidup di tengah masyarakat yang sering diselenggarakan pada bulan Arwah atau Ruwah, satu bulan menjelang bulan Ramadhan.

Banawa berarti perahu atau kapal. Sekar bermakna bunga, kembang, atau puspa. Sebagai uba rampe atau perangkat perlengkapan upacara sraddha memang disertakan perahu yang ditutup dengan hiasaan bunga tujuh rupa sebagai tempat sesaji yang selanjutnya dilarung, dilabuh atau dihanyutkan di sungai, telaga ataupun samudera. Banawa sekar merupakan perlambang penyatuan bumi dan air, antara daratan dan samudera. Tegaknya kekuasan Majapahit di bumi Nusantara merupakan integrasi kekuatan darat yang dipersonifikasikan Maha Patih Gajah Mada dan kekuatan maritime yang dipimpin Laksamana Nala.

Dengan demikian ungkapan mahasraddha banawa sekar secara luas dapat dimaknai sebagai perjalanan dan laku batin untuk kembali menggali akar kesejarahan Nusantara agar jatidiri bangsa kita temukan kembali untuk menjadi modal penentuan arah haluan kapal menuju masa depan. Hanya dengan mengenal secara baik asal-usul, sangkan, kesejarahan, darimana kita berasal dan lahir, maka manusia akan dapat merumuskan dan mengarahkan langkah kaki ke masa-masa yang akan datang, kepada paraning dumadi. Darimana, dimana, dan kemana langkah perjalanan hidup ini akan kita bawa.

Dalam konteks carut-marutnya tatanan kehidupan Negara Indonesia yang semakin ruwet ini, melalui berbakai usaha dan ikhtiar kita memang terus melakukan upaya-upaya membangkitkan kembali jatidiri Nusantara sebagai bangsa yang besar. Namun tatkala justru para pemimpin, penguasa dan tokoh elit negeri ini semakin pongah serta lupa daratan, maka diperlukan spektrum kesadaran untuk mengungkapkan inna lilallahi wa inna ilaihi raji’un. Segalanya berasal dari Allah dan segalanya akan kembali juga kepada-Nya.

Mahasraddha banawa sekar semoga bisa menjadi titik refleksi perjalanan Nusantara. Dari titik inilah bisa jadi perubahan yang nyata bagi bangsa ini justru akan dimulai. Semoga.

Lor Kedhaton, 23 Mei 2014