Lima Gunung Turun Gunung Berkenduri Cinta


Lima Gunung KC3Indonesia memang dikenal sangat kaya dengan gunung-gunungnya. Ada sebagian diantara yang masih aktif, ada pula gunung-gunung dalam fase istirahat. Ada satu daerah yang terkenal dikelilingi oleh beberapa gunung yang melingkar bagaikan rangkaian gelang raksasa maha gelang. Daerah itulah yang kini bernama Magelang, sebuah wilayah dataran tinggi yang di lingkupi lima gunung, meliputi Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan pegunungan Menoreh. Di lingkungan yang penuh aura energi alam inilah terbentuk Komunitas Lima Gunung.

Komunitas Lima Gunung merupakan paguyuban para seniman di lereng dan pucuk-pucuk gunung yang mengelilingi wilayah Magelang. Tanah yang subur, air yang melimpah, hawa udara yang sejuk, serta limpahan abu Merapi menjadikan wilayah ini menjadi sentra pertanian yang utama di Jawa Tengah. Maka tidaklah mengherankan jika sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Komunitas Lima Gunung memang merupakan komunitas para petani gunung yang berkesenian.

Lima Gunung KC2Adalah nama seniman Sutanto Mendut yang mandegani terbentuknya Komunitas Lima Gunung. Dengan naluri seninya ia menggandeng beberapa seniman lokal yang masing-masing mewakili tokoh di penjuru lima gunung. Ada Sitras Anjilin dari Padepokan Tjipto Budoyo di lereng Merapi, Sujono dari Sawangan dan Riyadi di kaki Merbabu, Supadi dari Mantran di tepi gunung Andong, Pangadi wakil dari lereng Sumbing, Ki Jowongso Sumimpen, beberada tokoh seniman yang lain.

Pertanian dan kesenian bagi Komunitas Lima Gunung merupakan satu kesatuan jiwa raga, jasmani ruhani, fisik dan psikis, sekaligus antara makhluk dan sang khaliknya. Talenta dan naluri para petani gunung tersebut sesungguhnya lahir dari kandungan anugerah alam yang tiada terkira. Seni dan tradisi telah menjadi bagian hidup sehari-hari. Hal inilah yang menjadikan mereka adalah para manusia yang tetap menjadi manusia sejati ditengah terpaan jaman edan globalisasi yang telah mengikis habis identitas maupun karakter dan jatidiri banyak kelompok masyarakat.

Lima Gunung KC4Secara rutin pada setiap tahun Komunitas Lima Gunung menggelar Festival Lima Gunung yang telah dimulai tahun 2002. Dalam festival ini dipentaskan kreasi seni karya para seniman lima gunung. Ada seni kethoprak, wayang orang dan wayang kulit, jathilan, soreng, topeng ireng, dan pementasan berbagai tarian khas lima gunung. Seniman Lima Gunung memang terus dinamis dalam menjalani proses kreatif seninya. Melalui tangan-tangan cekatan mereka telah lahir berbagai tarian kreasi baru dengan nilai cita dan cipta rasa yang sangat tinggi sebagaimana tingginya gunung yang melingkari wilayah tinggal mereka. Sebut saja diantara ada tari kembang gunung, warok hiphop, sekar kipas, soreng, jaran kepang, juga geculan bocah. Tarian-tarian itulah yang sempat menggebrak panggung pelataran Taman Ismail Marzuki pada pagelaran HUT Komunitas Kenduri Cinta ke-14 pada Senin malam, 16 Juni 2012 yang lalu.

Persahabatan Budayawan Emha Ainun Nadjib dan Ki Jowongso Sumimpen alias Sutanto Mendut yang telah terjalin sekian lama nampak semakin menemukan momentum kehangatannya tatkala keduanya duduk berdampiang di sudut panggung sambil menghantarkan sajian satu per satu tarian khas dari Lima Gunung.

Lima Gung KC1Adalah Cak Nun yang senantiasa mengajak setiap jamaah Maiyyah yang hadir untuk tidak hanya sekedar terbuai menikmati ketakjuban sebuah sajian karya seni yang dipentaskan pada malam itu. Setiap hal, setiap peristiwa yang dilihat, dirasa dan dijalani harus dipetik makna untuk ditadaburi. Setiap gerak, nafas, serta ekspresi para penari dicoba untuk diurai satu per satu spirit dan maknanya. Hanya dengan cara demikian manusia dapat belajar untuk menemukan kesejatian nilai dalam setiap sisi kehidupan di dunia.

Di tengah jeda pementasan beberapa tarian, Cak Nun mengajak beberapa penari dan hadirin melakukan workshop serta tanya jawab sederhana. Satu per satu dari masing-masing jenis tarian diurai unsur gerak, mimik wajah, bahkan ekspresi secara keseluruhan. Dalam tari warok hiphop, ditampilkan pasangan remaja dan anak-anak yang menari dengan membusungkan dada serta mulut mecucu (menggelembungkan pipi). Ada pula adegan adu muka dan badan dua bocah terkecil dengan penuh keberanian. Dalam ekspresi demikian, hadirin banyak yang menyampaikan pendapat soal kejantanan, kepercayaan diri, teguh dalam pendirian, juga menantang jaman. Inilah ekspresi manusia ksatria.

Lima Gunung KC5Hal yang serupa juga ditunjukkan dalam gerakan tari soreng yang menggambarkan kegagahan para perwira muda yang gagah perkasa. Tubuh yang kekar, perawakan yang tegar, kumis yang mbaplang, serta gerak tubuh yang micara benar-benar menghadirkan sosok prajurit ksatria yang siap hidup mati membela nilai keadilan dan kebenaran. Inilah sesungguhnya jati diri bangsa Indonesia. Sifat dan sikap ksatria adalah karakter utama bangas Nusantara. Sayangnya pada masa-masa sekarang justru nilai-nilai ksatria itu telah dilupakan, dipinggirkan, dibuang, bahkan dicampakkan. Maka tidaklah mengherankan jika yang tersisa adalah manusia-manusia yang serakah, korup, culas, licik dan segudang sikap yang semakin merendahkan martabat ataupun derajat kemanusiaan.

Di Bawah Bayang-bayang Ksatria, itulah tema yang diangkat dalam edisi HUT ke-14 Kenduri Cinta yang sekaligus menjadi momentum untuk kembali menakar derajat ksatriaan para anak bangsa. Jika masyarakat di puncak-puncak gunung masih teguh memegang nilai dan tradisi luhur yang mencerminkan pengamalan sifat dan sikap ksatria sejati justru di kalangan masyarakat kota, kaum elit dan kaum terdidik nilai-nilai itu dianggap kuno atau bahkan usang. Jargon ksatria hanya dipolitisasi untuk strategi pencitraan dalam rangka meraih kursi kekuasaan.

Lima Gunung KC6Maka tatkala kursi kekuasaan itu benar-benar telah diduduki para ksatria palsu, apakah akan terjadi perubahan yang membawa kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Nusantara ini? Ah…yang realistis saja to kita ini! Bukankah kita hanya terus dibohongi dan kembali dibohongi lagi dari masa ke masa? Dengan demikian, di tangan akar rumput, di pelosok-pelosok kesunyian gunung-gunung yang menjulang tinggi dimana para ksatria sejati bersemayam, sebagaimana Komunitas Lima Gunung tinggal, bukan tidak mungkin perubahan akan benar-banar terjadi melalui perantara mereka pada saatnya mereka turun gunung untuk memberantas keangkara-murkaan di muka bumi ini. Monggo merenung kembali sebagaimana gunung yang melengkung.

Ngisor Blimbing, 18 Juni 2014