Klenteng Hok An Kiong Muntilan


Gong Xi Fat Chai! Itulah ucapan Selamat Tahun Baru China yang dirayakan sebagai Hari Imlek. Semenjak pemerintahan Gus Dur, Hari Raya Imlek diperingati secara terbuka oleh sedulur-sedulur etnis Tionghoa. Imlek kemudian dikenal secara lebih luas oleh kalangan masyarakat. Tradisi Imlek menjadi lebih inklusif. Imlek, selanjutnya sebagaimana Hari Raya Lebaran, menembus batasan ruang agama, suku dan ras. Imlek menjelma menjadi event budaya bersama. Perayaan Imlek menjadi penegas pluralitas masyarakat sekaligus menjadi penyatu dan tali perekat diantara anak bangsa suku pribumi dan Tionghoa, sehingga yang ada adalah kita, anak bangsa Indonesia.

KlentengMtl2

Muntilan, sebuah kota diantara Jogjakarta dan Magelang, merupakan sebuah pusat perekonomian yang ditopang dengan komoditas pertanian yang berlimpah. Hamparan wilayah yang membentang diantara kaki Merapi dan Merbabu hingga tepian Kali Progo merupakan kawasan pertanian yang sangat subur sebagai anugerah abu vulkanik gunung api teraktif di dunia. Selain sebagai daerah lumbung padi dan aneka macam sayur-mayur, wilayah di sekitar Muntilan juga menghasilkan komoditas tembakau dan klembak. Dua-duanya merupakan bahan dasar racikan rokok.

Lalu siapakah orang-orang yang berperan memperdagangkan tembakau dan klembak tersebut? Merekalah para saudagar keturunan etnis Tionghoa yang sudah secara turun-temurun menjadi bagian warga kota Muntilan. Tidak begitu jelas kapan asal-muasal keberadaan mereka di Muntilan, namun bisa diyakinkan mereka sudah tinggal di kota ini semenjak awal cikal bakal perkembangan kota. Maka seiring perjalanan waktu terjadilah pembauran dan akulturasi kehidupan sosial budaya, khususnya dengan warga suku Jawa.

KlentengMtl3Pembauran tidak hanya terbatas dalam hubungan perdagangan dan penyediaan jasa, bahkan banyak terjadi perkawinan campuran diantara penduduk lokal dengan warga keturunan China. Maka tidaklah mengherankan, jika dalam silsilah generasi yang lebih muda, mereka seringkali menggunakan dua nama dalam bahasa Tiongkok dan Jawa. Bahkan penulis di bangku SMP memiliki banyak teman anak keturunan yang memiliki nama Jawa, seperti Edi Saputro dan Broto. Mereka masih kerabat dan cucu dari Bah Tekek maupun Babah Liong.

Pada awalnya keberadaan masyarakat China di Muntilan bertempat tinggal pada satu jalur kawasan Pecinan yang kini dikenal sebagai Jalan Pemuda. Jalan ini merupakan jalan protokol yang membentang dari Kali Blongkeng hingga Kali Pabelan. Di sepanjang jalan inilah berderetan toko maupun tempat usaha penyedia jasa yang kebanyakan dimiliki warga China. Di pertengahan Jalan Pemuda, tepat di sisi kanan jika kita mengikuti jalur utamadari arah Jogja, akan dijumpai sebuah bangunan khas bernuansa merah ngejreng. Itulah bangunan ibadah untuk penganut kepercayaan Khong Hu Cu yang dikenal masyarakat luas sebagai klentheng.

Resminya klentheng yang berada di Muntilan tersebut bernama Klentheng Hok An Kiong. Dulu, di sekitar tahun 90-an, klentheng Hok An Kiang menyatu dengan area bioskop Kartika Theater yang menjadi sarana hiburan yang sangat ramai di masa itu. Bagi masyarakat umum di kala itu, klentheng merupakan sebuah bangunan yang sangat asing dan sangat tidak terjangkau bagi pengetahuan awam. Bahkan bagi masyarakat yang sering mengunjungi Kartika Theater, mereka kebanyakan tidak paham mengenai Klentheng Hok An Kiang. Masyarakat hanya berpikir bahwa tempat yang terjepit bangunan lain itu bernama klentheng dan menjadi tempat ibadah penganut agama Kong Hu Cu.

KlentengMtl1

Setelah bioskop Kartika Theater dibongkar, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Klentheng Hok An Kiang kini memiliki halaman yang sangat luas membentang di depan klentheng hingga tepian jalanan utama. Dengan gerbang pintu masuk berupa gapura besar dan gagah dengan dominasi warga merah membara menjadikan Klentheng Hok An Kiang nampak anggun, gagah dan bersahaja jika dilihat saat sekilas melintas di Jalan Pemuda.

Keberadaan halaman yang sangat luas memungkinkan tempat ini menjadi arena yang sangat ramai pada saat peringatan Cap Go Meh, beberapa hari pasca Tahun Baru Imlek. Di sana pulalah tempat digelarnya pentas barongsai dan liong. Kini setelah Imlek dan Cap Go Meh menjadi budaya milik masyarakat umum, maka pada waktu dilakukan pentas barongsai dan liong, halaman klentheng selalu menjadi lautan manusia yang ingin menyaksikan kelucuan dan ketangkasan sang barongsai maupun liongnya. Semua tumpah ruah mirip lautan cendol. Jika genderang gendang telah berkumandang dan diiringi dengan kemerincing kincring, semua masyarakat seolah ditarik magnet sangat kuat untuk segera hadir mengitari halaman klentheng. Bagi orang Jawa, barongsai dapat dipersamakan dengan barongan yang merupakan bagian dari kesenian janthilan khas Magelangan.

Bangunan utama klentheng memang masih mempertahankan arsitektur aslinya. Meskipun tentu saja sudah pernah dipugar beberapa kali, namun keaslian bangunan klentheng seolah tidak berubah, kekal sepanjang jaman. Dibandingkan dengan bentangan halaman yang luas, bangunan utama klentheng justru nampak mungil agak ke belakang, tepat segaris lurus dengan gerbang gapura utama. Jika ingin bangunan utama nampak gagah melengkapi kegagahan gapura gerbang utama, mungkin banguan utama perlu dipugar dan diperbesar lagi tanpa meninggalkan keasliannya.

Sampeyan tertarik dengan banguan bersejarah di kota Muntilan? Jangan pernah lupa untuk mengunjungi Klentheng Hok An Kiang. Kita akan dibawa kepada nuansa alam yang dilingkari dengan kemasyuran negeri Tirai Bambu.

Ngisor Blimbing, 14 Februari 2013