Kerja Sama Antar Desa Antisipasi Situasi Merapi


Nur WidodoBeberapa minggu berlalu, Merapi menyandang status waspada. Meskipun tidak menunjukkan peningkatan aktivitas lebih lanjut yang dapat mengarah kepada peningkat status awas Merapi, namun ada salahnya kewaspadaan semua warga di lereng Merapi senantiasa ditingkatkan. Cemas, apalagi takut jelas tidak perlu, namun kehati-hatian serta kewaspadaan harus terus dijaga. Kita semua yakin masyarakat Merapi senantiasa belajar untuk senantiasa mengenali dan bersahabat dengan ciri-ciri dan karakter Merapi sebagai sebuah nilai kearifan lokal yang senantiasa berkembang secara dinamis.

Sebagaimana disampaikan oleh beberapa ahli kegunungapian, termasuk Mbah Rono, Merapi yang sekarang sudah berbeda dengan Merapi pra erupsi 2010. Akibat dari proses erupsi terakhir menyebabkan Merapi tidak lagi memiliki kubah lava. Letusan yang bersifat efusif masif pada waktu itu telah menggugurkan kubah lava sehingga kondisi jalur magma pada saat ini lebih terbuka. Hal tersebut menyebabkan gas-gas vulkanik hasil proses aktivitas dapur magma tidak lagi terjebak di dalam rongga kubah lava sehingga sering menimbulkan bunyi ledakan di puncak Merapi pada saat ini.

Dengan bukaan kawah yang lebar menganga ke arah sektor selatan, sudah pasti luncuran lava yang diserta dengan timbulnya wedhus gembel juga akan dominan ke arah tersebut. Namun demikian akibat tiupan arah angin yang juga sering mengarah ke sektor barat, maka terdapt juga potensi arah luncuran awan panas terkadang ke sektor barat. Berkaitan dengan hal inilah maka masyarakat Merapi di sektor barat, meliputi terkhusus di wilayah Kecamatan Srumbung dan Dukun harus senantiasa memantau informasi yang terpercaya dari para petugas maupun aparatur desa mengenai perkembangan-perkembangan yang terjadi berkaitan dengan aktivitas gunung Merapi.

Bercermin dari pengalaman erupsi besar Merapi pada akhir tahun 2010, perencanaan, pengorganisasian, penanganan pengungsi harus mendapat perhatian khusus. Perkembangan kondisi di lapangan yang terkadang sangat cepat juga memerlukan keputusan yang harus diambil secara cepat, tepat, terkoordinasi dan saling bersinergi. Pengalaman pahit yang cukup berharga untuk dipetik hikmahnya berkaitan dengan pelaksanaan pengungsian pada 2010 adalah situasi mendadak yang dihadapi karena perkembangan status Merapi berubah cepat dan juga ketidaksiapan, keogahan, bahkan ketidakpercayaan banyak warga bahwa mereka harus benar-benar mengungsi untuk menyelamatkan jiwa raganya. Hal ini menimbulkan terjadinya situasi caos dan panik, sehingga masing-masing warga “lari tunggang langgang” menyelamatkan diri dan keluarganya masing-masing. Mereka tidak tahu harus mengungsi kemana atau berkumpul dimana. Bahkan tidak sedikit diantara satu keluarga yang tercerai berai ke tempat pengungsian yang berbeda-beda.

Pada waktu situasi Merapi diperkirakan hanya berdampak pada radius yang masih terbatas, evakuasi warga hanya diberlakukan untuk desa-desa yang berada pada radius 10 km dari puncak Merapi. Titik pengungsian yang dipersiapkan untuk mereka hanya turun sedikit dan masih berada dalam radius 20 km. Kemudian ketika situasi tambah berbahaya, diumumkan bahwa pengungsian harus dilakukan untuk semua warga yang berada pada radius 20 km, terjadilah kepanikan yang luar biasa. Warga desa di radius 20 km yang semula dirasa aman, tiba-tiba juga harus segera ikut mengungsi. Bahkan pada suatu desa yang ditempati sebagai titik pengungsian pertama, warga tuan rumah telah lebih dahulu lari mengungsi sementara warga pengungsi di desa tersebut menjadi terbengkalai penanganannya.

Pengalaman-pengalaman tersebut di atas kini menjadikan aparatur desa di lereng Merapi harus memiliki perencanaan yang baik dalam rangka antisipasi koordinasi dan penanganan pengungsian. Salah satu arah kebijakan yang cukup baik dilakukan oleh Desa Polengan di Kecamatan Srumbung. Atas inisiatif beberapa perangkat dan para pemuka desa, Nurwidodo, selaku Kepala Desa yang baru saja terpilih membuat terobosan dengan membuat kerja sama antisipasi penanganan pengungsian dengan Desa Sriwedari di Kecamatan Muntilan. Inti dari kesepakatan kerja sama tersebut, apabila situasi Merapi meningkat menjadi awas Merapi dan warga Desa Polengan diperlukan untuk mengungsi, maka secara terkoordinasi warga Polengan akan diungsikan ke Desa Sriwedari. Untuk pengangkutan warga yang mengungsi, baik teknisnya secara mandiri dengan kendaraan bersama yang dikoordinir pemerintah desa akan mengarahkan pengungsi ke Desa Sriwedari. Dengan demikian kemana dan dimana titik kumpul warga pengungsi menjadi lebih jelas dan tidak lagi terjadi salang-tunjang yang membuat kebingungan yang seringkali menambah kepanikan warga.

Langkah koordinatif ini memiliki keuntungan strategis. Di samping tujuan pengungsian yang jelas, pendataan serta penanganan kebutuhan pengungsi juga lebih mudah diurusi. Pengorganisasian sarana transportasi dan akomodasi di tempat pengusian juga akan lebih efektif diselenggarakan. Dalam suasana yang serba terbatas di pengungsian, kenyamanan tempat hunian, kebutuhan sarana dan prasarana pendukungpun akan lebih memadai untuk dikelola. Apabila langkah kerja sama antar desa seperti di atas dapat dilakukan oleh semua desa di lereng Merapi dengan desa-desa di wilayah yang aman dari jangkauan tidak terdampak, sudah pasti akan memudahkan berbagai pihak. Kesadaran seperti ini harus terus ditingkatkan agar keberadaan masyarakat dan Merapi dapat senantiasa hidup berdampingan secara harmonis.

Merapi memang sahabat dan bagian hidup bagi warga di setiap sisi lerengnya. Antara manusia dan alam merupakan satu kesatuan sistem yang saling membutuhkan. Alam Merapi telah menganugerahkan berbagai kemurahan alam, mulai dari kesuburan tanahnya, material vulkaniknya, kesejukan, keasrian dan keindahan alam ciptaan Tuhan yang tiada terkira luar biasanya. Pada saat Merapi punya gawe dengan peningkatan aktivitas kegunungapiannya, maka manusia sebagai sahabat, sedulur sinarawedi, juga harus berlapang dada untuk menyingkir sejenak guna memberikan keleluasaan sang Merapi melaksanakan hajatannya. Inilah butir nilai kearifan lokal yang harus senantiasa dipupuk dan dikembangkan dengan subur dari generasi ke generasi warga lereng Merapi.

Ngisor Blimbing, 15 Mei 2014