Kenangan TK ABA Polengan


TK Polengan1   TK Polengan1

Kala itu umur saya kiranya baru genap lima tahun lebih beberapa bulan. Suatu pagi, pagi-pagi sekali saya diantar ibu saya ke sebuah taman kanak-kanak. Lokasi sekolah pra-SD itu berada di tengah-tengah dusun tetangga. Di depan sekolah sederhana terbentang luas sebuah pelataran alun-alun sebuah bangunan joglo anggun. Konon bangunan joglo satu-satunya yang tersisa di desa kami tersebut milik Pak Lurah yang memerintah kala itu. Tepat di sisi barat laut berdiri dengan anggun sebuah masjid terbesar di desa kami. Itulah Masjid Al Ikhlas.

Nama bangku sekolah yang pertama kali saya masuki tersebut adalah TK ABA Polengan. Melihat kependekan ABA, mungkin diantara para sedulur ada yang langsung paham bahwa sekolah tersebut berada di bawah pengelolaan salah satu ormas terbesar di tanah air. Bagi yang masih belum nyambung, ABA merupakan kependekan dari Aisyiah Bustanul Athfal.

Hari pertama sekolah memang diantar oleh ibu saya, sekedar untuk mendaftarkan kepada guru sekolah semata. Hari-hari selanjutnya, sebagaimana umumnya anak-anak desa, kami berangkat ke sekolah bebarengan dengan teman-teman yang lain. Jadi tidak musim, anak sekolah di jaman itu pake diantar-antar oleh orang tua. Mungkin itu sisi kemandirian anak kecil yang sudah tergembleng semenjak usia sangat dini. Bahkan beberapa bulan berselang, saya harus sekolah sambil momong dua adik kembar saya yang umurnya dua tahun di bawah saya. Meski pada awal hanya meunggui saya di luar kelas, pada akhirnya adik-adik saya tersebut resmi diterima di kelas nol kecil. Sementara saya, semenjak pertama kali masuk langsung bergabung dengan kelas nol besar, meskipun umur saya di bawah teman-teman sekelas saya yang lain.

Kira-kira menjelang pukul setengah tujuh pagi pintu ruang kelas mulai dibuka. Biasanya yang membukakan adalah anak dari Kepala Sekolah yang memang tinggal tidak seberapa jauh dari sekolahan. Begitu pintu-pintu terbuka, beberapa perangkat permainan dikeluarkan dari ruang kelas untuk dipasang di sekitar halaman sekolah. Tak seberapa lama berselang, guru-guru kami mulai datang. Sebenarnya kami pada waktu itu hanya memiliki dua orang ibu guru. Adalah Bu Sri Umiyati yang bertindak sebagai guru kelas nol besar merangkap kepala sekolah, dan Bu Dalifah yang mengasuh kelas nol kecil.

TK PolenganSekolah TK, tentu saja sangat menyenangkan. Hari-hari kami senantiasa diisi dengan permainan yang memberdayakan otak kami. Pagi sebelum masuk kelas, di halaman sekolah telah tergelar berbagai perlengkapan permainan anak-anak. Ada ayun-ayunan di bawah pohon kamboja. Ada plosotan di samping masjid. Besi-besi rangka untuk panjat-memanjat dan tlusuban. Ada pula jungkat-jungkit di sebelah timur kelas, dan beberapa mainan anak-anak yang lain.

Begitu dentang lonceng dibunyikan, semua murid langsung masuk ke dalam kelas. Meskipun di dalam kelas, tetapi pola pengajaran yang diterapkan juga lebih banyak dengan metode belajar sambil bermain. Memasang passel, memancing ikan kayu, bongkar pasang balok-balokan kayu sering kami lakukan. Kadang-kadang kamu juga diberi kerta warna krem merah, kuning, hijau ataupun biru untuk dilipat-lipat menjadi berbagai bentuk karya yang inspiratif. Seni lipat inilah yang di kala dewasa baru saya tahu bernama origami dan berasal dari negeri sakura.

Bernyanyi dan menari tentu saja tidak pernah ketinggalan. Bahkan meski masih kecil pada beberapa kesempatan kami sudah diajari berdeklamasi. Menulis huruf latin, tentu saja mulai diajarkan dan kami sedikit-dikit baru mengenal nama-nama huruf tetapi sama sekali tidak menghafal. Angka juga mulai diperkenalkan cara penulisannya, namun belum sampai kepada operasional matematis.

Tentang seragam sekolah. Tentu saja kami hanya mengenal satu seragam. Warna kuning krem dengan bawahan dan rompi warna hijau lumut. Itupun hanya kami kenakan untuk hari Senin dan Selasa. Selebihnya, ya kami berpakaian bebas tapi rapi dan sopan.

Hari Sabtu merupakan hari yang lebih santai dan sangat menggembirakan. Hari Sabtu biasanya dimulai dengan aksi bebersih lingkungan. Istilahnya kerja bakti atau gotong royong. Menyapu halaman sekolah bersama-sama. Membersihkan rumput di beberapa sudut. Memangkas tanaman hias dan bunga-bunga. Bahkan membersihkan lumut di dinding-dinding pagar sekolah. Selesai dengan kerja bakti, semua murid diajari membasuh tangan dan menggosok gigi bersama-sama. Masing-masing kami telah memiliki sikat gigi yang dilengkapi dengan cangkir kaleng. Hari Sabtu barangkali memang dirancang untuk menanamkan pentingnya menerapkan pola hidup yang bersih dan sehat.

Masih di hari Sabtu. Selesai bebersih lingkungan dan bebersih diri, kami biasa makan bersama. Setiap Sabtu, satu per satu wali murid digilir untuk urunan menu makanan untuk disantap bersama. Biasanya mereka memberikan sumbangan dalam wujud beras dan gula jawa. Urusan masak-memasak biasa diurusi oleh keluarga ibu kepala sekolah. Sajian yang biasa kami santap mulai dari bubur kacang hijau, sego megono (nasi urap kelapa), juga kolak ketela atau pisang.

Hal yang paling unik dan menjadi kenangan yang tidak pernah terlupakan hingga kini pada saat kembul bujono atau makan bersama adalah tatkala para murid yang bertubuh besar menghabiskan jatah makanannya lebih cepat. Mereka kemudian bertanya bahkan saling teriak, “sopo sing ora entek?” Siapa yang tidak mampu menghabiskan jatah makanannya? Begitu ada murid yang biasanya bertubuh lebih kecil dengan nafsu makan yang tidak sehebat para murid besar, maka sisa makannya segera beralih ke piring si murid besar. Semua saling berbagi dengan ikhlas. Sebuah penanaman nilai kebersamaan yang sangat luar biasa.

Hari puncak yang menjadi kebanggaan kami semua adalah Hari Perayaan. Apakah Hari Perayaan? Hari Perayaan merupakan peringatan HUT Aisyiah (kalau tidak salah). Pada hari tersebut, TK ABA se-kecamatan biasanya dikumpulkan pada salah satu TK untuk memperingati Hari Perayaan yang biasa diisi dengan berbagai macam lomba anak-anak. Lomba yang biasa digelar seperti lomba bernyanyi, puisi, tari, dan beberapa cabang olah raga anak-anak. Uniknya, karena keterbatasan sarana transportasi, para murid seringkali digiring dalam long march yang sangat panjang ke suatu sekolah yang menjadi tuan rumah Hari Perayaan. Meskipun lelah tapi kami sangat bahagia, terlebih kami juga mendapat nasi bungkus daun pisang yang dilengkapi sekedar telur pindang serta sayur kentang, tempe krecek.

Setelah satu tahun duduk di TK ABA Polengan, saya digiring bu guru untuk pindah ke SD di belakang desa. Umur saya baru enam tahun lewat dua bulan. Sementara teman-teman sekelas saya pada umumnya berumur satu atau dua tahun di atas saya. Bagaimanapun, taman yang paling indah hanya taman kami. Taman yang paling indah taman kanak-kanak (ingat dengan lagu ini).

Ngisor Blimbing, 27 September 2014