Jurangjero Tepi Merapi


Jurangjero2Pada akhir tahun 80-an terdapat proyek besar di beberapa kali yang berhulu di puncak Merapi, termasuk daerah Jurangjero yang merupakan hulu Kali Putih dan Kali Blongkeng. Proyek tersebut bertujuan untuk membangun infrastruktur yang berguna meminimalisir risiko dampak aktivitas Merapi, baik erupsi atau letusannya, maupun efek sekunder berupa kemungkinan terjadinya banjir lahar dingin. Melalui proyek tersebut dibangunlah cekdam (aslinya mungkin check dump) di beberapa titik aliran sungai yang dilengkapi dengan pembangunan tanggul-tanggul di tepian sungai-sungai tersebut. Struktur cekdam konon diadopsi dari ahli sipil dari Negeri Jepang yang dikenal sebagai teknik sabo.

Proyek besar tersebut banyak menyerap tenaga kerja lokal. Banyak sekali penduduk di selingkaran Tepi Merapi yang bekerja di proyek sebagai tukang pecah batu, pengaduk semen, tukang batu, sopir bighoe, sopir traktor, sopir dump truck, operator molen, atau para mandor pengawas dan lain sebagainya. Proyek nasional di bawah Kementerian Pekerjaan Umum tersebut memang dirancang sebagai proyek padat karya yang bisa menampung dan mengikut-sertakan warga sekitar untuk menjadi tenaga kerjanya. Saking banyaknya warga di sekitar dusun kami yang terlibat dalam proyek tersebut, setiap pagi dan petang hari, beberapa truk jemputan hilir-mudik menjemput atau mengantar para pekerja. Saking banyaknya pula pekerja proyek yang berasal dari luar daerah, di seputarannya pertigaan Gejukan pernah didirikan barak tingkat semi permanen yang dipergunakan untuk menginap para pekerja tersebut. Desas-desus anak SD kala itu, justru bangunan triplek bertingkat tersebut kelak akan dikembangkan menjadi penginapan atau hotel. Akh……ternyata analisis pikiran anak-anak masa itu sama sekali tidak valid.

Melihat kesibukan para pekerja proyek yang sedang bahu-membahu melaksanakan tugas mereka masing-masing merupakan keasyikan tersendiri. Pada liburan hari Minggu, anak-anak sekolah dasar seringkali banyak yang dolan ke Jurangjero sekedar menonton aksi bighoe, traktor, bulldozer, ataupun dumptruck. Bagi kami, para bocah ndeso, peralatan-peralatan proyek tersebut tentu saja dianggap sangat canggih bin modern. Dengan demikian, kami sudah pasti senantiasa berdecak kagum saat menyaksikan aksi para sopir bighoe yang lincah mengendalikan peralatannya untuk mengeruk pasir ataupun memindahkan batu besar.

Jurangjero3Sekitar tahun 1993, mega proyek pembangunan check dump dan tanggul di sepanjang bantaran sungai-sungai di Jurangjero rampung. Peresmian proyek bahkan kala itu dilakukan secara langsung oleh Presiden Soeharto, didampingi Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moehtar. Acara peresmian diselenggarakan di Desa Kemiren yang terletak di pinggiran Kali Bebeng – Krasak. Bersamaan dengan acara peresmian, digelar pula simulasi penanggulangan bencana letusan Merapi. Banyak para warga, hansip, bahkan anak-anak sekolah dan pramuka yang dilibatkan dalam latihan tersebut. Sebagai bukti peresmian, Presiden Soeharto membubuhkan tanda tangan pada sebuah batu prasasti. Batu prasasti inilah yang kemudian ditempatkan di Jurangjero. (pada saat ini batu prasasti tersebut masih ada, tetapi prasastinya yang dilengkapi dengan tanda tangan Pak Harto sudah hilang)

Pasca selesainya mega proyek Merapi, ada sedikit perubahan dalam pola aliran lahar dingin dari puncak Merapi. Sebelum dibangunnya check dump dan tanggul di hulu sungai-sungai, banjir lahar dingin berupa pasir dan batu seringkali tidak tertahankan di bagian hulu. Dengan demikian aliran tersebut terus menuju ke bagian hilir yang menyebabkan terjadinya banjir di Kali Putih, Krasak, Blongkeng, Senowo dan beberapa sungai yang lainnya. Minimnya infrastruktur jembatan di berbagai sungai tersebut mengakibatkan akses perhubungan dan transportasi terputus pada saat keadaan banjir. Setelah proyek selesai, lahar dingin yang turun tertahan di check dump bagian hulu, sehingga banjir di sisi hilir tidak terjadi lagi. Hal ini tentu saja berdampak positif terhadap aktivitas masyarakat, seperti anak-anak sekolah yang tidak perlu lagi terganggu karena menunggu untuk sekedar menyebarang sungai apabila Kali Putih sedang banjir.

Di samping banjir kiriman dari hulu tertahan di bagian atas, material pasir dan batu juga tidak lagi turun hingga bagian hilir. Jika sebelum proyek selesai, penambangan pasir dan batu banyak dilakukan di sisi hilir sungai, maka penambangan semakin bergerak ke atas. Lambat laun penambangan menjadi terkonsentrasi di sungai pada kawasan hutan Merapi.

Jurangjero4Pada tahun 1994, Gunung Merapi kembali mengalami proses erupsi. Kejadian pada waktu itu juga diwarnai dengan turunnya wedhus gembel alias awan panas yang sempat sampai di kawasan Dusun Turgo di dekat Kaliurang. Kebetulan pada saat kejadian tersebut, terdapat acara hajatan pengantin di salah satu rumah warga Turgo. Akibatnya, terjangan wedhus gembel membawa beberapa korban jiwa penduduk, bahkan pasangan pengantin yang seharusnya menjalani masa bulan madu yang membahagiakan juga turut meninggal pada hari yang tidak bersamaan.

Erupsi 1994 menyisakan material pasir dan batu yang menumpuk di kepundan puncak Merapi. Tumpukan tersebut perlahan longsong ke bawah bersamaan terjadinya hujan di puncak gunung. Akibatnya check dump yang telah dibangun di hulu menjadi penuh dengan material hasil erupsi. Maka penambangan pasir dan batu bergeser ke sisi hulu. Tidak hanya terhenti pada penambangan tradisional yang dilakukan secara manual dengan mengandalkan linggis dan slenggrong, penambangan dengan alat berat mulai merambah sisi hulu. Bahkan pada tahun-tahun tersebut muncul PT Goro yang menambang di Merapi dengan berbagai perlengkapan alat modern, seperti bighoe, traktor, dan dump truck.

Kami tidak tahu persis apakah perusahaan tersebut murni perusahaan swasta atau badan usaha milik daerah, namun terdengar santer bahwa PT tersebut berkaitan dengan salah satu putra Cendana. Semenjak saat itulah, pelan namun pasti, para penambang pasir tradisional menjadi semakin terpinggirkan nasibnya. Untuk melindungi nasib para penambang pasir tradisional maka dibentuklah APPI, Asosiasi Perusahaan Penambang Merapi, yang diketuai Kyai Abdul Rozak dari Tegalrandu. Dengan adanya APPI, para penambang tradisional tetap diizinkan menambang pasir di kawasan sungai-sungai di Jurangjero di samping PT Goro yang menggunakan peralatan modern tadi.

Pergeseran pemerintahan dari orde baru menuju orde reformasi yang menimbulkan gejolak di berbagai daerah juga berdampak dengan operasional penambangan pasir Merapi di Jurangjero. Konon sempat terjadi gesekan bahkan benturan fisik antara massa penambang tradisional dan para pekerja PT Goro. Bahkan bentrokan tersebut sempat membawa korban jiwa yang hingga saat ini tidak bisa diungkap siapa dalang di balik peristiwa tragis tersebut. Diakui atau tidak, keberadaan penambangan dengan peralatan berat memang langsung maupun tidak langsung telah berdampak semakin terdesaknya nasib para penambang tradisional.

Ngisor Blimbing, 22 Juni 2014