‘Intip Buku’, Menebar Spirit Menulis


Berawal dari mengintip website Be-Blog, nyasarlah saya pada sebuah postingan Om Jay yang mengajak untuk bergabung di acara Intip Buku. “Intip Buku berbeda dan tak sama dengan bedah buku!” demikian Om Jay sempat menjelaskan panjang lebar mengenai konsep acara Intip Buku. Pada intinya Intip Buku memaparkan seluk-beluk dan proses kreativitas di balik lahirnya sebuah karya tulis menjadi sebuah buku. Dengan demikian dapat dipastikan di acara tersebut bertabur sekian narasumber para penulis buku yang terang benderang memaparkan pengalaman masing-masing dalam berkarya tulis. Pada deretan pembicara ada Kang Pepih Nugraha (wartawan Kompas), Imam FRK (mahasiswa penulis), Taufiq Effendi (Dosen muda UNJ), Prayitno Ramlan (purnawirawan TNI AU), Johan Wahyudi (pendidik), Iskandar Zulkarnain (Kompasiana), dan sudah pasti sang empunya gawe Om Jay.

Dengan dukungan penuh dari iB (Islamic Banking) yang digawangi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, acara Intip Buku berlangsung di Ruang Serba Guna Gedung Syafrudin Prawiranegara Lantai 3 Kawasan Perkantoran Bank Indonesia. Dukungan tersebut semakin mempertegas bahwa kalangan elit perbankan Indonesia-pun tak mau ketinggalan untuk turut mendukung pengembangan minat menulis di kalangan warga masyarakat (citizen reporter), terkhusus kalangan pendidik. Kenapa kalangan pendidik? Karena acara Intip Buku kepesertaannya didominasi oleh kalangan pendidik profesional alias para guru dengan jumlah sekitar 200-an. Sebuah jumlah yang fantastis, mengingat minat menulis di kalangan pendidik masih tergolong rendah saat ini.

Sesi pertama acara Intip Buku menampilkan tiga pembicara, masing-masing Kang Pepih Nugraha, Imam FRK, dan Taufiq Efendi, dengan moderator Amril Gobel.

Kang Pepih menyampaikan bahwa kunci untuk menulis adalah membaca. Ia, yang dibesarkan di tengah keluarga pendidik, semenjak kecil sudah sangat akrab dengan bahan bacaan. Sang ayah yang memiliki pandangan jauh terhadap masa depan anak-anaknya selalu “memarkirkan” terlebih dahulu buku baru yang diberikan ke sekolahannya, sebelum buku tersebut ditempatkan di perpustakaan sekolah. “Ini trik “licik”, tetapi kan niatnya baik”, tegas Kang Pepih.

Lebih jauh diungkapkan bahwa menulis bisa dimulai dengan hal yang kecil dan sederhana di sekitar kita. Modal utama untuk menjadi penulis adalah catatan harian. Dari catatan hari per hari bisa dirangkai sebuah kisah yang sangat menarik. Bisa juga bahan catatan harian tersebut dijadikan bahan penelitian atau analisis yang bisa memberikan pemikiran-pemikiran baru, original, dan solutif bagi sebuah permasalahan yang terjadi di tengah aktivitas kita sehari-hari. Karakteristik ini tentu sangat dekat dengan keseharian para guru, bahkan mungkin semua orang.

Sedikit membuka rahasia kenapa dirinya berhasil meraih profesi wartawan di harian yang bergengsi hari ini, Kang Pepih mengatakan bahwa semenjak remaja dirinya sudah memiliki opsesi dan cita-cita untuk menjadi wartawan. Dari sanalah spirit, komitmen, kedisiplinan, serta fokus langkahnya mantap menuju dunia jurnalistik yang hingga saat ini digelutinya. Lebih jauh menurutnya, dengan perkembangan media komunikasi, seperti blog, facebook, twitter dan lain-lainnya menjadikan menulis sudah menjadi hal yang common bagi semua orang. Menulis bukan lagi ekskusif milik para sastrawan, penyair, dan kaum jurnalist. Menulis sudah bisa dilakukan oleh semua orang awam. Menulis menjadi media untuk saling berbagi!

Khusus mengenai citizen jurnalism, Kang Pepih memiliki pendapat tersendiri. Baginya, merujuk dari bahasa Romawi, kata journal berawal dari makna catatan harian para senat di masa itu. Adapun jurnalistik merupakan ilmu menuliskan catatan harian. Dengan demikian seorang jurnalis harus menulis catatan harian setiap hari. Nah, inilah profesi yang dikerjakan oleh seorang wartawan. Kalau warga biasa apakah benar-benar bisa menuliskan catatan hariannya dengan penuh konsistensi? Istilah citizen reporter menjadi lebih pas daripada citizen journalism!

Manusia purba mati meninggalkan goresan tulisannya di batu dan dinding goa. Di masa kini manusia dapat menggoreskan tulisannya di kertas, bahkan di dunia maya. Macan mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, maka jadilah manusia meninggal yang meninggalkan karya tulisnya! Bahkan manusia mati akan meninggalkan “status”! Demikian Kang Pepih mengakhiri uraiannya.

Pembicara ke dua, Imam FRK, seorang mahasiswa yang bercita-cita menjadi penulis buku sebelum bergelar sarjana. Opsesi itu telah terwujud dengan terbitnya buku pertamanya “Jadi Jurnalis itu Gampang!” Pada awalnya ia sangat tertarik dengan perkembangan media blog. Dari dunia perbloggeran kemudian muncullah istilah citizen journalism. Merasa tertarik untuk tahu lebih mendalam mengenai citizen journalism, ia mencoba mencari referensi buku mengenai hal tersebut. Namun harapannya itu menjadi sebuah keniscayaan tatkala ia tidak bisa menemukan buku tersebut. Dari sanalah ia justru terdorong untuk menuliskan perspektifnya mengenai citizen journalism. Harapannya bukunya kelak bisa menjadi sedikit bahan rujukan.

Taufiq Effendi mendapat giliran menyampaikan pengalamannya di urutan ke tiga. Ia adalah seorang dosen muda pengampu bahasa Inggris di UNJ. Perjalanan hidupnya membawanya menjadi seorang tuna netra semenjak usia SMA. Dengan segala kekurangharmonisan hubungan keluarga yang dialaminya di masa lalu, ia banyak belajar bagaimana mendekati anak didik dari hati ke hati.

Selepas menyelesaikan pendidikan SMA, keluarga sempat menyarankannya untuk belajar menjadi tukang pijat. Ia sempat kecewa dengan hal itu. Singkat kata, akhirnya ia bisa diterima di UNJ Jurusan Bahasa Inggris. Dari sanalah ia memulai untuk mewujudkan mimpinya untuk dapat keliling dunia. Berawal dari menulis paper ilmiah ke sebuah international conference, ia mulai merambah luar negeri. Bahkan ia pernah mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan S-2 di London. Menulis kemudian menjadi bagian tidak terpisahkan dari kesehariannya.

Keterbatasan fisiknya memang sedikit menghambat minat baca tulisnya. Dapat dibayangkan, apabila ia ingin membaca sebuah buku, maka pertama kali ia men-scan buku tersebut. Setelah itu, hasil scanan dikonversi melalui sebuah software audio untuk dapat didengarkannya. Jika ia yang memiliki keterbatasan itu masih semangat tinggi untuk membaca, maka orang lain yang tidak memiliki kendala sepertinya harus lebih bisa mensyukuri karunia Tuhan dengan memanfaatkannya sebaik-baiknya. Membacalah untuk kemudian menuliskannya, demikian ia mengakhiri uraiannya yang disambut rasa haru para hadirin.

Acara Intip Buku menjadi semakin seru dengan kehadiran Bapak Prayitno Ramelan. Ia adalah seorang purnawiran perwira tinggi TNI AU. Jalan karirnya banyak melibatkannya di dunia inteligen. Segala seluk-beluk dan sudut perinteligenan dituangkannya melalui Kompasiana. Postingan-postingan tersebut telah diterbitkan dalam buku Inteligen Bertawaf. Banyak artikel dengan beragam tema telah dilahirkan melalui analisis-analisis dari sudut pandang seorang intel. Satu hal terpenting yang selalu dipegangnya adalah bahwa ia menulis untuk niat kebaikan. Apabila ada permasalahan di masyarakat, entah urusan politik, sosial, ataupun lainnya, ia berusaha mengkritisi dengan murni niat melakukan perbaikan. Bukan kritik asal kritik yang lahir dari sebuah ketidaksukaan, kebencian ataupun rasa permusuhan. Kritik dengan santun dan penuh solutif terhadap suatu persoalan akan lebih bermanfaat bagi masyarakat, demikian prinsip yang dipegangnya dengan teguh.

Masih menurut Pak Paryitno, negara kita saat ini tengah diwarnai berbagai konflik horisontal antar warga, antar kelompok masyarakat, maupun golongan. Hal yang paling mengkhawatirkannya adalah bila konflik itu berkembang menjadi konflik vertikal, antar rakyat dan aparatur negara. Tahapan ini bisa jadi memang sangat berat, tetapi harus dihadapi sebagai konsekuensi menjalani proses pendewasaan demokrasi. Oleh karena itu, ia merasa sangat berbahagia berada di tengah komunitas pendidik yang memiliki minat untuk menulis. Guru adalah harapan bagi terciptanya generasi penerus yang lebih cerdas, pandai, dan berakhlak. Dengan demikian, para guru juga harus terus belajar secara dinamis, diantaranya melalui menulis.

Setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya, termasuk melalui tulisan. Namun demikian, mantan jenderal ini mengingatkan bahwa di dalam menulis harus tetap memegang norma dan aturan yang berlaku. Koridor baik dan buruk, mana yang boleh dan mana yang dilarang harus dipahami agar kasus semacam Prita tidak terulang kembali.

Pemaparan sesi ke dua diisi oleh narasumber Johan Wahyudi, Iskandar Zulkarnain, dan Om Jay dengan moderator Agus Hermawan.

Johan Wahyudi, seorang guru pendidik di Sragen yang saat ini tengah merampungkan S-3 nya, adalah seorang penulis buku teks pelajaran yang telah menerbitkan puluhan buku. Melalui pemaparan berjudul “Tips Menulis Buku Teks”, Johan menguraikan mengenai kelebihan dan kekurangan menulis buku teks yang selama ini ditekuninya.

Dari sisi kelebihan, menulis dapat mendukung profesinya sebagai guru pendidik karena dengan menulis ia mengembangkan profesinya. Keuntungan lainnya bahwa pangsa pasar buku teks sebagai bahan ajaran di sekolah-sekolah sangat besar. Kebutuhan yang besar akan tersedianya bahan ajaran yang sesuai saat ini, belum diimbangi dengan jumlah penulis yang mencukupi. Dengan demikian persaingan antar penulis buku teks masih akan terus berkembang dan terbuka lebar bagi para pendatang baru. Diantara kelemahan menekuni menjadi penulis buku teks, misalnya kurikulum yang sering diganti-ganti yang mengharuskan buku yang pernah kita tulis harus direvisi atau digantikan dengan buku baru dari penulis lain. Kendala yang lain adalah bagaimana konsisten menulis sesuai kaidah bahasa yang formal kerana bagaimanapun tulisan buku teks adalah tulisan formal.

Di tengah para rekan sejawatnya, Johan juga membocorkan tips-tips di dalam menulis buku teks pelajaran, diantaranya perlunya calon penulis memahami SKKD yang berlaku, bagaimana membuat pemetaan kebutuhan muatan buku, mencari bahan, mengolah bahan tersebut, menuliskannya dan melakukan penyuntingan naskah. Semua dikupasnya secara gamblang dan jelas.

Secara filosofis, Johan Wahyudi menyimpulkan bahwa seorang penulis, khususnya penulis buku teks ajar adalah seorang guru yang baik, ia juga seorang pendengar yang baik, pembaca yang baik, dan tentunya pembicara yang baik.

Di urutan selanjutnya, Iskandar Zulkarnaen, seorang jebolan Pesantren Gontor dan FE UIN Ciputat ini mengisahkan bagaimana ia mengelola Kompasiana.com. Kompasiana merupakan situs citizen reporter terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Kompasiana adalah situs yang menampung tulisan warga dari berbagai segmen latar belakang dan profesi, serta dengan beragam corak maupun tema tulisan. Prinsip utama Kompasiana adalah menjadi media yang menampilkan buah pikiran, aspirasi, pendapat maupun gagasan warga untuk memajukan kehidupan bersama. Di sinilah wadah untuk pengembangan ketrampilan menulis (skill writing) tanpa terbatasi oleh aturan redaksional yang terlalu ketat sebagaimana media cetak.

Dan selanjutnya, selaku “pembesar” acara Intip Buku, Om Jay memuncaki acara dengan ajakannya untuk “Menulis setiap Hari dan Merasakan Apa yang Akan Terjadi”. Menulis bagi Om Jay sudah menyatu dalam gerak urat syaraf dan nadi tubuhnya. Menulis sudah menjadi sejajar dengan makan, minum, dan tidur. Menulis adalah kebutuhan hariannya. Melalui ketekunan, fokus dan disiplinnya dalam menulis setiap hari, Om Jay sudah menerbitkan beberapa buah buku yang menghasilkan nilai royalty yang sangat lumayan dibandingkan gajinya sebagai penjaga laboratorium komputer di sekolahnya.

Om Jay juga mengungkapkan bahwa sumber insipirasi menulis adalah membaca. Maka bila ingin menjadi penulis yang produktif dan kreatif jangan pernah pelit untuk membeli buku. Ia mengisahkan bagaimana seorang ustadz kenalannya dengan gaji 150.000, ustadz tersebut membelanjakan 50.000 diantaranya untuk membeli buku secara rutin. Dari ketekunannya membaca buku, ustadz tersebut memiliki ketajaman kecerdasan yang luar biasa sehingga ceramahnya menjadi berbobot, pengetahuannya menjadi luas, pikirannya berkembang, sehingga ia memiliki kesempatan luas untuk menunaikan haji dan lain sebagainya.

Sedikit dengan rasa bangga, Om Jay menyampaikan bagaimana dengan menulis yang diniatkannya untuk berbagi kebaikan kepada sebanyak-banyaknya orang, ia kemudian diberikan kesempatan untuk keliling provinsi di tanah air. Dari 33 provinsi, hanya tinggal Maluku dan Papua yang belum dikinjungi Om Jay. Bahkan dengan selorohnya, Om Jay mengatakan bahwa royalti yang diterimanya dari beberapa buku yang pernah ditulisnya, ia bisa mendapatkan limpahan rejeki yang luar biasa. Maka menulislah setiap hari dan rasakan apa yang akan terjadi! Demikian sekilas acara Intip Buku yang disponsori oleh iB Syariah, dengan organiser dari MeetPro.

Ngisor Blimbing, 28 April 2012