Hikayat Penjual Cendol


HIKAYAT PENJUAL CENDOL

dawetAlkisah, sohibul hikayat Muhammad Ainun Nadjib pernah berkisah tentang hikayat seorang penjual cendol. Diceritakan Kiai Hamam Ja’far di Pesantren Pabelan akan kedatangan tamu agung dari Negeri Gajah Putih. Kedatangan tamu itu dalam rangka lebih mempererat persahabatan dan memupuk semangat toleransi diantara dua insan yang berbeda keyakinan.

Sebagai ulama karismatik yang memegang teguh nilai tradisi, maka Sang Kiai ingin menyuguhi tamunya dengan suguhan khas daerah. Maka semenjak hari pertama kedatangan tamunya sudah tersusun menu hidangan mulai dari gethuk, growol, wajik, lemper, sengkulun , ongol-ongol, dan sagon. Dan sebagai pelepas dahaga yang menemani pacitan tersebut akan disuguhi dengan legen, dawet ayu, dan sudah pasti wedang jahe.

Untuk membuat dawet, sudah pasti dibutuhkan santan kelapa dan cendol. Kelapa dapat dipetik langsung dari kebun di belakang pesantren. Adapun dawet tentu saja tidaklah praktis bila harus membuat sendiri. Disamping ribet tentu saja citra rasanya kurang dapat dijamin. Oleh sebab itu cendol sebagai bahan dawet lebih pas dibeli di tetangga batas desa.

Pagi buta selepas jago kluruk, Sang Kiai bergegas mengenderai vespa tuanya menembus keremangan kabut persawahan. Dengan berangkat demikian awal, diharapkan ia dapat memesan cendol lebih banyak untuk tamu-tamu yang jumlahnya mencapai puluhan. Lima kilometer jalan pematang dilalui dengan kebisuan, hingga akhirnya tibalah Sang Kiai di tepian jalan raya tempat dimana penjual cendol mangkal. Nampaknya dugaan Sang Kiai tidaklah salah bahwa dialah pembeli yang datang pertama kali. Dengan demikian didapatinya dagangan cendol yang dijajakan masih utuh.

Nuwun sewu, nderek nyuwun cendolipun Pak!”, sapa Sang Kiai. “Saya kebetulan lagi kedatangan tamu dari negeri sebrang, oleh karena itu kami ingin menyuguhkan minuman spesial berupa dawet ayu. Bila sampeyan berkenan saya bermaksud memborong seluruh dagangan sampeyan.” Demikian Sang Kiai memulai percakapan.

Diborong pripun Kiai?”, tanya Pak Cendol kurang mengerti.

“Ya diborong, saya beli semua cendol ini”, jawab Sang Kiai singkat.

Lho….lho…kok gitu. Kalau cendolnya Kiai borong terus yang lainnya bagaimana? Saya ini berdagang cendol je, ha kalau cendolnya habis terus saya jualan apa Kiai?”, Pak Cendol malah bertanya.

Sampeyan kan jualan cendol, kalau saya borong seluruh cendolnya kan malah untung tidak harus menjajakan cendol lama-lama”, Kiai berusaha menjelaskan.

“Saya ini berjualan cendol untuk orang-orang yang membutuhkannya Kiai. Kalau cendol Kiai borong seluruhnya, terus orang lain yang butuh cendol bagaimana? Kan kasihan Kiai!”, Pak Cendol beralasan.

Subhanallah……baik-baik. Maafkan saya Pak! Saya paham sekarang yang sampeyan pikirkan. Begini saja Pak, izinkan saya membeli cendol sebanyak yang sampeyan izinkan saja, biar calon pembeli lain yang sama-sama butuh juga kebagian”, seru Kiai manggut-manggut.

“Nah kalau begitu saya setuju Kiai. Sama-sama ridlo to?”, jawab Pak Cendol dengan sumringah.

Akhirnya Kiai pulang dengan sekantong cendol di gantungan vespanya. Dengan penuh ketakjuban dikendarainya vespa tersebut pulang kembali ke pondok. Sesampai di pondok, bungkusan cendol tersebut diberikannya kepada santri bagian pawon. Bergegas Kiai menuju padasan dan mengambil air wudlu. Di bilik pribadinya Kiai langsung bersujud kepada Sang Pencipta atas pelajaran berharga yang baru saja dialaminya.

Sang Kiai tenggelam dalam perenungan spiritualistiknya. Hmmm…ing atase di jaman semodern ini ada pedagang yang menolak diborong dagangannya. Bagaimana mungkin seorang sederhana semacam Pak Cendol sangat peduli dengan orang lain yang membutuhkan barang yang kebetulan dimilikinya. Ia tidak serakah apalagi rakus untuk mereguk keuntungan secara cepat. Ia berdagang untuk suatu pelayanan kepada orang lain. Ia berdagang bukan hanya untuk berdagang sebagaimana kebanyakan pedagang yang lain. Ia bukan hanya sekedar seorang pedagang. Ia adalah sesungguhnya menungso.

Sang Kiai terhempas lemas di sudut biliknya. Dirinya merasa kerdil dibandingkan Pak Cendol. Betapa ia meski menyandang pewaris nabi, belum mampu mencapai derajat keikhlasan sebagaimana penjual cendol yang sangat arif. Bagaimana dengan kesederhanaannya Pak Cendol mampu melepaskan nafsu serakah, tahan terhadap godane donya. Ia dengan logika nalarnya sendiri mampu bersikap narimo ing pandum. Ia benar-benar telah menemukan kesejatian hidup. Astaghfirulllah.…..ampunilah hambamu ini duh Gusti Kang Murbeng Dumadi.