Harapan kepada Anak Zaman


13431797811346050692Nak, jauh sebelum dirimu dihadirkan menjadi amanat Tuhan di keluarga kecil kita, bahkan sebelum Bapakmu yang lemah ini dipertemukan dengan Ibumu, terngiang di bawah kesadaran alam pikiran Bapakmu ini tentang sebuah harapan jauh di masa depan. Bumi akan terus berotasi dan berevolusi menjalani takdir atas penciptaannya. Roda zaman akan berputar, dan generasi akan terus berganti. Muda menjadi tua. Tua menjadi renta. Daun layu berguguran, dan tunas-tunas muda tumbuh bersemi.

Kesadaran bahwa hidup harus berjalan, estafet tegaknya peradaban manusia harus dipersiapkan untuk diberikan kepada generasi penerus, maka Bapak tanamkan benih kehidupan. Bapak sirami benih tersebut dengan doa, berharap akan kemurahan limpahan berkah dari Tuhan. Tumbuhlah tumbuh pohon kehidupan. Mekar-mekarlah bunga harapan masa depan. Itulah gambaran anak di mata seorang Bapak.

Nak, Tuhan menitahkanmu ke muka bumi lengkap dengan segala potensi, minat, bakat dan kecerdasan alamiah yang telah melekat. Bukan Bapakmu, Ibumu, gurumu, lingkunganmu, bahkan negaramu yang akan mampu mengasah, mendidik, serta menumbuhkembangkan segala potensi, minat, bakat dan kecerdasan itu, melainkan Tuhan sendirilah yang dengan kasih sayang-Nya, dengan kemurahan senyum-Nya, dengan kejernihan tatapan mata-Nya, dan dengan sifat rahmannirrahim-Nya akan melakukan dengan cara-Nya yang sangat pasti. Kami, Bapak-Ibumu, gurumu, lingkunganmu, dan negaramu ini hanyalah mendapatkan peran amanat untuk sebisa mungkin memberikan segala ruang dan potensi kemungkinan-kemungkinan bagi tumbuh-kembangnya dirimu dari waktu ke waktu dengan sebaik-baiknya.

Manusia dewasa sama sekali tidak berhak membentuk, mencetak, terlebih memaksakan kehendak kami akan dirimu dan hidupmu, karena sejatinya dirimu memiliki hak asasi untuk bertumbuh dan berkembang dengan segala potensi naluri, bahkan jiwa dan ragamu. Memang kami terlebih dahulu hadir di muka bumi, sehingga sudah pasti kami memiliki pengalaman dan kematangan hidup yang bisa jadi dapat bermanfaat bagimu. Namun itu semua, pengalaman dan segala kisah hidup yang pernah kami sampaikan kepadamu, sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah ancer-ancer cermin atau panduan yang tidak mutlak atas dirimu. Dirimulah sendiri yang harus mengembangkan analisa-analisa cerdas untuk menemukan tafsir-tafsir misteri hidup atas dirimu sendiri. Kami sekedar mengiringi langkah-langkahmu, hanya tut wuri handayani untuk memastikan dirimu selamat menjalani proses kehidupan ini.

13431806991348829611

Nak, hari demi hari akan terus berjalan. Hari baru akan terus datang dan meninggalkan hari-hari kemarin. Perjalanan masih akan teramat panjang di hadapanmu. Badai, topan, halilintar, dan segala kesulitan hidup sangat mungkin akan menghadang langkahmu. Gunung mesti kau daki untuk meraih segala harapan dan cita-citamu. Lembah dan jurang menganga di kanan dan kiri jalan yang kau tempuh. Globalisasi dan modernisasi, dengan segala fenomena keedanan jaman, akan siap menelan korban siapapun yang tidak eling, tidak waspada dan taat dengan nasehat agama dan orang tua. Namun ingatlah selalu doa dari Bapak-Ibumu! Jadikan itu sebagai spirit dan penguat diri! Yakinlah kami memberikan restu untukmu dan Tuhanpun melimpahkan ridza-Nya kepada-Mu. Hanya dengan keyakinan itu dirimu akan selamat menempuh kehidupan.

Nak, dirimu adalah pewaris kejayaan Nusantara. Bumi kita subur makmur dengan berjuta-juta keanekaragaman hayati yang tumbuh di atasnya. Di dalamnyapun terpendam seribu satu macam mineral dan kekayaan alam yang akan dapat menghidupi hingga puluhan anak cucu dari generasi ke generasi. Bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu adalah titipanmu kepada genarasi sebelum kamu. Nusantara adalah anugerah limpahan kemurahan alam yang dianugerahkan Tuhan untuk kita. Oleh karena itu, bersahabatlah dengan alam. Tanamkan dalam sanubarimu untuk bijak dalam mengelola alam. Cukup generasi kami, generasi sebelum kamu yang bisa jadi justru telah merusak kelestarian alam kita. Pastikan dirimu mengambil hikmah bijak dari kesalahan-kesalahan generasi kami.

Nak, ingatlah kebesaran Sriwijaya, ingatlah kemegahan Borobudur, ingatlah keperkasaan Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, hingga Republik Indonesia yang kita cintai ini. Semenjak dahulu kala, tanah air ini mewarisi kebesaran sebagai sebuah bangsa merdeka yang sangat dikagumi manusia di seluruh penjuru dunia. Dirimu memiliki keunggulan-keunggulan dan segala prasyarat untuk menjadi pemimpin dunia.

Nak, bangsa kita yang besar ini kini telah terpuruk dalam kegamangan jaman. Korupsi, kolusi, dan nepotsime masih mencengkeram kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ketidakjujuran, kedustaan, ketidak-amanatan, dan segala kerusakan moral telah nampak dimana-mana. Hukum belum lagi tegak di negeri ini. Kemakmuran belum terdistribusi merata dengan adil dan beradab kepada semua warga negara. Namun demikian, harapan untuk sebuah kebangkitan masih mengendap di relung jiwa kami. Namun jikapun kemudian takdir tidak mengizinkan perubahan itu berada di tangan kami, maka di tanganmulah kebangkitan itu harus ditegakkan. Di tanganmulah perubahan itu harus terus diperjuangkan.

Nak, perubahan menuju ke arah yang lebih baik memang mungkin mudah untuk diucapkan namun tidak gampang untuk diwujudkan. Bisa jadi justru ada burung yang terbang menelan bintang yang menjadi petunjukan arah langkahmu. Sangat mungkin hawa dingin mencekam akan menebarkan rasa ketakutan yang mendalam, atau bunga-bunga api menari-nari menghadang langkah kakimu ke depan sana. Waspadalah, karena itulah sebuah transisi jaman yang harus kau jalankan!

Nak, yakinlah hari baru akan datang! Percayalah perubahan itupun akan menjelang! Bunga-bunga masa depan akan bermekaran, dan kehidupanpun akan menjadi lebih baik.

Nak, dirimulah bintang-bintang kami. Dirimulah bunga masa depan negeri ini. Dirimulah penggenggam segala jaman. Dirimulah bintang-bintang anak zaman!

Ngisor Blimbing, 25 Juli 2012

Salah satu lima karya terpilih dalam Kompetisi Indonesia Mengajar – Hari Anak Nasional 2012