Dua Abad GPIB Magelang Menuju Persaudaraan Sejati


Melihat bangunan yang satu ini, anak-anak langsung berfantasi tentang istana sang raja, pangeran, Putri Cinderella. Anak-anak yang akrab dengan dunia kartun ala pangeran dan putri kerajaan tentu sangat lekat dengan bentuk arsitektural sebuah istana atau kastil. Bangunan berkeliling benteng tinggi, dengan banyak menara yang meruncing dengan bendera berkibar di puncaknya. Kemudian para pengawal dan prajurit yang mondar-mandir, kereta kencana, dan lain sebagainya. Mungkin bangunan Istana Anak di kawasan Taman Mini Indonesia Indah dapat merepresentasikan angan-angan anak-anak kita tentang sebuah istana gaya Eropa.

Tidak perlu jauh-jauh ke TMII apalagi ke Eropa, di kawasan nol kilometer Kota Magelang sejatinya juga terdapat sebuah bangunan yang mencirikan arsitektural gaya istana atau kastil di Eropa. Tepat di sisi utara Alun-alun Kota Magelang, berdampingan dengan supermarket Trio Plaza, Nampak anggun bangunan yang saya maksudkan. Bukan menjalankan peran sebagai istana sebagaimana gambaran di atas, bangunan yang satu ini justru memerankan diri sebagai tempat peribadahan ummat Kristen Protestan. Ya, bangunan tersebut adalah Gereja GPIB Beth-EL Magelang.

Berdiri dua abad silam, tepatnya pada tahun 1817, gereja yang satu ini tentu saja warisan dari era Kolonialisme Belanda. Kemunculan agama Kristen di Eropa yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia tetap mengusung sentralisasi asal-usul, termasuk pada arsitektur bangunan tempat ibadahnya. Gaya gothik yang khas dengan pola bangunan tinggi menjulang yang dipuncaki dengan menara berbentuk kerucut ataupun segitiga meruncing inilah yang diadopsi pada arsitektural bangunan gereja GPIB Magelang.

 

Semenjak awal pembangunannya, GPIB Magelang secara sengaja sudah dirancang sebagai satu kesatuan tata ruang pusat kota yang ditandai dengan keberadaan alun-alun. Alun-alun dari segi tata ruang dan tata kota adalah sebuah simbol atau landmark yang menandai keberadaan sebuah wilayah. Bersama dengan Water Torn yang legendaris di sudut barat laut, Masjid Agung di sisi barat, klenteng di sebelah tenggara, hadir dua buah bangunan gereja di sisi utara. Masing-masing adalah Gereja Kristen GPIB dan Gereja Katholik. Dulunya di kawasan ini juga hadir bangunan pusat pemerintahan yang pada saat ini sudah dipindahkan.

Di samping memenuhi unsur arsitektural dalam sebuah tata ruang tata kota, kehadiran empat bangunan peribadatan di seputaran alun-alun juga memiliki makna dan pesan simbolis yang sangat dalam. Ada simbolisasi Islam, Kristen, Katholik, dan ada pula Khong Hu Chu. Ada pesan kuat tentang harmoni dan toleransi dalam interaksi diantara sesama warga kota sebagai saudara sebangsa dan sesama manusia. Bagaimanapun perbedaan agama dan keyakinan tidak boleh mengendorkan semangat persatuan dan kesatuan sebagai sesama anak bangsa dan anak manusia.

Mengamati dan mencermati tata arsitektural penataan alun-alun pada sebuah kota di Jawa, Alun-alun Magelang menjadi Nampak sangat istimewa dengan keberadaan empat banguan peribadatan sekaligus di sekelilingnya. Fenomena ini mungkin satu-satunya yang ada dan tersisa di Jawa ataupun mungkin di seluruh dunia. Para pendahulu dan perancang kota pada dua abad silam sudah menyadari tentang pluralisme sehingga melalui tata ruang tata kotanya menanamkan pesan yang sangat kuat untuk bertoleransi antar ummat beragama. Pesan kedamaian dan persatuan ini bisa menjadi teladan bagi daerah. Satu-satunya kota dengan alun-alun yang dikeliling empat tempat peirbadatan sekaligus.

Sebagai bangunan yang merupakan bagian dari sebuah arsitektural tata ruang suatu kota, GPIB Magelang bukan lagi semata-mata menjadi “kepemilikan” pengurus gereja dan ummat yang beribadah di dalamnya. GPIB sebagai salah satu ikon kota sejatinya telah menjadi milik bersama semua warga kota tanpa memandang agama ataupun keyakinannya. Arsitektur, para pelestari sejarah, kalangan pemerintah, bahkan wisatawanpun turut memiliki setiap bangunan cagar budaya, termasuk GPIB Magelang. Menyadari bahwasanya banguan GPIB Magelang adalah milik dan warisan sejarah bersama, maka dalam rangka pelestariannya juga menjadi tanggung jawab bersama siapapun yang merasa turut memilikinya tersebut.

Dalam rangka pelestarian spirit kebersamaan dalam harmoni dan toleransi inilah, peringatan dua abad Gereja GPIB Magelang kali ini dikonsep untuk membuka diri kepada kalangan masyarakat yang lebih luas. Bangunan gereja yang tidak lagi sekedar menjadi milik ummat yang beribadah di dalamnya, membuka pintu lebar bagi siapapun untuk mengunjunginya, untuk mencermati dan mempelajarinya secara lebih dekat. Hal inilah yang diagendakan sebagai bulan Dua Abad Bangunan Cagar Budaya de Protestant Kerk Magelang, mulai 22-27 Oktober 2017.

Salah satu agenda acara yang diikuti banyak peserta adalah Jelajah Arsitektur Bangunan GPIB Magelang yang berlangsung atas kerja sama Komunitas Kota Toea Magelang dan pengurus gereja. Menghadirkan ahli arsitektur Ir. Priyo Praktino, M.T., seluk-beluk arsitektural bangunan GPIB dibedah secara tuntas. “Ciri bangunan bergaya gothic adalah bangunan yang dirancang secara ramping dan menjulang vertikal ke atas. Hal ini merupakan wujud peran agama dengan Yesus sebagai perantaranya untuk berinteraksi dengan langit dan Tuhan,” demikian poin penting yang disampaikan Pak Priyo.

Dalam acara jelajah arsitektur kali ini, peserta berkesempatan mengelilingi dan mencermati setiap sudut serta sisi bangunan gereja. Di samping ciri bangunan yang tinggi menjulang, di sisi samping bangunan gereja juga dilengkapi dengan beberapa relung jendela besar yang dihiasi dengan ornamen kaca patri yang melukiskan berbagai fase perjalanan kerasulan Yesus. Jendela tinggi besar dengan kaca patri adalah satu konsep untuk menghadirkan cahaya ke ruang dalam gereja sehingga penerangan dari sinar matahari dapat dioptimalkan. Beberapa ornament di sisi kanan kiri jendela menampakkan bentuk buah pala yang merupakan komoditas rempah utama yang secara langsung maupun tidak langsung telah menghantarkan kedatangan bangsa Portugis dan Belanda yang kemudian turut menyebarkan agama Kristen di wilayah Nusantara.

Selepas mencermati dan mendapatkan penjelasan tentang gaya arsitektural sisi luar bangunan, bahkan peserta berkesempatan masuk ke ruang utama di dalam gereja. Terpasang dua lapis pintu utama dari arah depan. Karena mengadopsi bangunan Eropa yang bersifat tertutup dikarenakan keberadaan empat musim, terutamanya musim dingin, maka keberadaan dua lapis pintu utama tersebut tidak lepas dari asal-usulnya di Eropa. Lapis pintu luar lebih bersifat sebagai pengaman, adapun pintu sisi dalam hanya sebatas penutup ruangan dari hawa dingin yang biasanya juga dipasang kaca sehingga cahaya luar tetap bisa masuk ke dalam ruang utama.

Kami sungguh beruntung dapat turut mengapresiasi sisi-sisi arsitektural bangunan GPIB Magelang. Dalam sebuah pesan singkat, salah seorang pengurus gereja mengungkapkan bahwasanya sekian lama sebagai sesama warga Magelang kita hidup berdampingan, namun satu sama lain kurang begitu saling sapa. Melalui peringatan Dua Abad Bangunan Cagar Budaya GPIB Magelang, semoga terjalin saling sapa yang lebih intens antar ummat beragama. Tahun ini di GPIB, tahun depan di Masjid Agung, kemudian di klenteng, ke gereja Katholik dan seterusnya. Dari sana diharapkan keberadaan bangunan tempat peribadatan di seputaran alun-alun tidak hanya terhenti peran sebagai tempat ibadah bagi ummatnya masing-masing dan ikon landmark sebuah tata kota, namun lebih daripada itu bisa menjadi jembatan perekat ummat dan masyarakat untuk menuju persaudaraan yang sejati.

Tepi Merapi, 23 Oktober 2017