Seorang kakek berkisah sebuah dongeng kepada cucunya tentu saja sesuatu yang lumrah dan wajar. Dongeng memang dipaido keneng, bisa sesuatu yang memang hanya sebuah cerita rekaan namun bisa juga merupakan sebuah kisah yang memang nyata-nyata pernah ada. Antara rasa penasaran ini pulalh yang dirasa Bre tatkala kakeknya mengurai cerita tentang Bulan Merah.
Bulan Merah konon merupakan sebuah kelompok musik keroncong eksis secara misteris di paruh jaman pergerakan nasional tatkala republik ini masih digenggam kekuasaan kolonialis Belanda. Adalah Bumi dan Siti, keponakan Rawi yang mewarisi segala bakat dan darah seni pamannya yang sepanjang umur hidupnya digeluti dalam dunia musik keroncong. Mereka sebenarnya anak dari Said, seorang tokoh pembawa pesan perjuangan, alias mata-mata atau telik sandi. Ketika pada suatu ketika aksi mereka dipergoki patroli Belanda, berondongan peluru memberondong tubuh Said dan istri hingga menjadikan Bumi dan Siti yatim piatu hingga untuk selanjutnya ia diasuh oleh Rawi.
Demi tekad untuk melanjutkan perjuangan ayahnya sebagai pembawa pesan perjuangan, Bumi dan Siti dibantu oleh Ratna Melati membentuk sebuah grup musik keroncong keliling yang kemudian diberi nama Bulan Merah. Turut menggawangi Bulan Merah adalah Sumo, Sastro, Kusno, Priambodo, dan Ku Chen. Bertindak selaku biduan atau vokalis adalah duet Siti dan Ramas Suryo.
Berbeda dengan umumnya kelompok keronrong yang eksis pada jamannya, Bulan Merah merupakan kelompok legendaris yang misteris. Dikarenakan sejak awal pendiriannya diniatkan untuk menjadi pembawa pesan rahasia, maka kelompok ini juga bergerak secara kucing-kucingan untuk menghindari mata-mata maupun patroli pasukan Belanda. Gerak Bulan Merah menjadi sangat rahasia dan hanya diketahui secara persis oleh para pejuang terpercaya. Inilah yang menjadikan nama Bulan Merah hanya sempat terngiang dari mulut ke mulut tanpa setiap orang yang membicarakannya pernah menyaksikan pentas kelompok ini dengan mata kepalanya sendiri. Tidak mengherankan jika Bulan Merah kemudian dianggap antara ada dan tiada. Ya, sangat misterius antara realita atau sekedar mitos.
Dalam pelaksanaan pentas Bulan Merah justru menyelenggarakannya bersamaan waktu dengan pentas-pentas lain yang berlangsung terbuka. Hal ini merupakan sebuah strategi khusus agar orang-orang yang datang ke Bulan Merah benar-benar orang yang berkaitan dengan perjuangan anak bangsa dan sekaligus untuk menghindari kecurigaan patroli Belanda. Pada pagi buta sehari sebelum Bulan Merah naik panggung, mareka menyebar selebaran gelap dengan kalimat singkat. “Ini Malem. Pertoendjoekan Boelan Merah. Bermaen di Kebon Djati. Djam 7.30” Demikian kira-kira pesan singkat yang mereka tempelkan di pohon-pohon pinggiran jalan.
Lalu bagaimana Bulan Merah menyampaikan pesan rahasia perjuangan? Tentu tidak secara terbuka dengan menyampaikan pidato, tentu saja menyampaikan pesan lewat syair lagu. Lewat syair lagu? Ya, justru disinilah kecerdasan Bumi selaku pimpinan dalam menggubah setiap syair dengan sisipan pesan-pesan berita perjuangan yang disampaikan secara berantai kepada para pejuang yang hadir dalam pertunjukan Bulan Merah.
Pentas Bulan Merah biasa diawali dengan sapaan lagu Boelan Menjapa Kawan. Puncaknya adalah pesan yang dikemas dalam gubahan Krontjong Padhang Mboelan.
Pada kesempatan pertujukan di Batavia, justru patroli Belanda berhasil mengendus gerak Bulan Merah. Untunglah sebelum patroli menangkap para personil Bulan Merah, potongan kertas-kertas pesan rahasia sempat dimusnahkan dengan cara dibakar. Interogasi mendalam yang dilakukan tetap tidak bisa menguak hubungan Bulan Merah dengan gerakan para pejuang. Merekapun lolos dari penjara.
Kejadian di Batavia mengharuskan Bulan Merah harus lebih berhati-hati dalam bergerak. Demi keamanan, merekapun memutuskan untuk pindah dari markas lama yang merupakan rumah milik Paman Rawi. Tidak tanggung-tanggung, mereka menyingkir hingga jauh ke pedalaman Boyolali yang asri. Namun demikian, Bulan Merah terus saja berpentas keliling menyampaikan pesan rahasia untuk memperjuangkan kemerdekaan Nusantara. Hingga akhirnya kemerdekaan itu benar-benar tergenggam di tangan rakyat, merekapun mendendangkan pesan kemerdekaan.
Apakah misi pembawa pesan perjuangan berkahir tatkala kemerdekaan benar-benar teraih? Bulan Merah yang lahir dari akar penderitaan rakyat tidak pernah berhenti berjuang atas nama rakyat. Tatkala perjuangan melawan penjajah asing berakhir, ternyata tidak secara otomatis menjadikan rakyat benar-benar merdeka dan sejahtera. Justru ada saat-saat dimana rakyat justru menderita di bawah kekuasaan bangsa sendiri. Inilah kira-kira situasi di masa orde lama yang semakin melenceng dari amanat penderitaan rakyat. Bulan Merahpun kembali bergerak memberikan pesan kritikan kepada pemerintah.
Di masa akhir pemerintahan orde lama, terjadi pembunuhan terhadap beberapa jenderal. Sebagai pihak pengkritik pemerintah yang dianggap berseberangan, Bulan Merah dianggap terlibat turut mendukung kelompok yang dicurigai sebagai dalang pembunuhan tersebut. Melalui sebuah operasi tentara, pengejaran terhadap Bulan Merah dilakukan hingga tepian hutan Wonolelo di batas Merapi-Merbabu. Dalam peristiwa tersebut semua personil Bulan Merah dihabisi. Namun sejarah kemudian mencatat ada satu personil yang lolos dari maut, itulah Ku Chen yang kemudian dipertemukan dengan kakek Bre. Akhirnya teka-teki di benak Bre terjawab bahwa Bulan Merah bukan sekedar mitos yang didongengkan kakeknya.
Rangkaian kisah perjalanan Bulan Merah, sebuah kelompok musik keroncong pembawa pesan rahasia, ini merupakan kisah novel heroik yang dikemas sangat apik oleh Gin alias Ginanjar Teguh Iman. Dalam beberapa kesempatan saya memang pernah bertemu dengan Gin. Akan tetapi obrolan panjang lebar dengan salah satu penggerak Komunitas Nulis Buku Magelang ini sering kami lakukan melalui chatting di media online. Sekian lama buku ini terbit, namun baru di awal April ini saya dipertemukan novel Bulan Merah ini di sebuah toko buku. Tanpa pikir panjang tentu saja langsung memboyongnya pulang dan segera membacanya.
Alur yang dibangun Gin dalam Bulan Merah ini memang unik. Kisah digali dari sebuah kisah yang tengah dikisahkan oleh seorang kakek kepada Bre, cucunya. Meski kisah dibeber melalui kisah flashback namun justru membuah cerita seolah-olah benar-benar hidup dan membawa pembaca tenggelam ke dalam suasana haru-biru perjuangan di masa pergerakan merebut kemerdekaan.
Membaca di bagian awal buku ini saya justru menjadi terkesima dengan pengetahuan penulis yang cukup mendalam mengenai seluk beluk peralatan musik keroncong. Bagaimana Gin menyinggung asal-usul kata keroncong yang berasal dari bunyi “crong” ukelele cuk menjadi sebuah pengetahuan baru bagi pembaca. Demikian halnya uraian masing-masing fungsi peralatan mulai ukelele cak dan cuk, biola, celo, kontrabas, hingga fluite sungguh meyakinkan seolah-olah berasal dari seorang penggelut musik keroncong profesional.
Buku setebal 250-an halaman ini meski diukir pada kertas coklat yang seringkali melelahkan mata, namun dengan pilihan font dan jarak spasi yang pas tetap nyaman di mata. Akan tetapi ada sedikit rasa penasaran yang tidak sempat tertemukan jawab oleh kebanyakan pembaca novel ini, yaitu hadirnya kata-kata voorspel, tussenpel, dan kadensa yang seolah menjadi pembatas buku yang mungkin terbagi menjadi tiga bagian besar.
Buku ini sangat unik di tengah novel populis yang ditulis umumnya penulis muda dewasa ini. Novel dengan latar perjuangan sudah saatnya hadir kembali di tengah masyarakat yang kini justru semakin terkoyak rasa nasionalismenya dan justru terdesak oleh sikap individualisme. Kahadiran buku ini mungkin bisa menggali kesadaran kebangsaan, khususnya di kalangan generasi muda.
Sebagai penulis kelahiran dan hingga kini tinggal di Kota Tidar Magelang, Gin sungguh patut diacungi jempol dengan mengangkat beberapa nama tempat yang ada di Magelang, seperti Wonolelo, Sawangan, menjadi bagian setting lokasi novelnya. Hal ini tentu saja menjadi sebuah kesan tersendiri bagi pembaca yang asli orang Magelang maupun orang-orang yang pernah memiliki kenangan di Magelang. Langkah ini sekaligus bukti komitmen seorang Gin untuk turut menggaungkan nama Magelang agar lebih dikenal lagi oleh saudara sebangsa setanah air di belahan wilayah yang lain.
Melalui novel Bulan Merah ini, Magelang harus turut bangga. Diantara sekian banyak para penulis dengan segudang karya tulisnya, Gin termasuk penulis yang telah membuktikan bahwa karyanya layak dibukukan untuk dibaca banyak orang. Tidak hanya pembaca di Magelang, tetapi tentu saja pembaca di seluruh pelosok tanah air. Mudah-mudah rintisan Gin dan juga beberapa penulis Magelang yang telah berhasil membukukan tulisannya ini semakin menggugah tumbuh kembangnya kesusastraan di Bhumi Tidar tercinta.
Ngisor Blimbing, 11 April 2015
RESENSI:
Judul Buku: Bulan Merah – Kisah Para Pembawa Pesan Rahasia
Penulis: Gin
Penerbit: Qanita, Mizan Group Bandung
Cetakan I, Agustus 2014
ISBN 978-602-1637-33-3
256 h; 20,5 cm